APOLOGY 2

4.7K 666 14
                                    


         Belakangan ini Jogja sering sekali hujan, terlebih kalau sore. Seperti sore ini misalnya, aku terbangun lalu melihat langit sudah mendung, kemudian aku memilih segera bergegas untuk bangun dan mengangkat jemuran yang berada di halaman belakang.

        Selesai memindahkan jemuran, aku mengambil jelly yang sempat kubikin untuk Shasa sebelum mengajaknya tidur siang tadi.

        Shasa mempunyai jam rutin tidur dan makan tiap harinya. Bangun tidur siang, biasanya dia akan makan Snack seperti biskuit, bolu, jelly atau terkadang buah, lalu sore sekitar jam 5 dia baru akan makan nasi lagi.

          Baru hendak memotong Jelly, aku langsung lari kedalam kamar sewaktu terdengar suara tangis yang melengking dari kamar dibarengi dengan suara petir yang lumayan keras.

       Melihat Shasa yang duduk di kasur dengan tangisan kencang, aku langsung memeluknya agar dia tenang. "Shasa, udah, ya, ada Ibu."

Dia masih menangis keras sembari memeluk tubuhku erat sekali.
"Sha, tenang. Tarik napasnya, ya."

       Napasnya masih tersengal, membuatku tak berhenti mengusap pungungnya.
"Shasa takut, Ibuk." akunya, setelah lama terisak.

       "Kan, ada Ibu, Sha." ucapku sembari memeluk Shasa kian erat. Biar Shasa tahu, kalau dia tak perlu takut terhadap apapun jika masih ada aku, Ibunya.

       Masih sembari menyembunyikan kepalanya di dadaku, napasnya sedikit tersengal meski tak sekepayahan tadi.

      "Shasa, takut Ibuk ninggalin, Shasa," rengeknya sembari membalas pelukanku dengan tak kalah erat.
"Shasa, takut ada petir, terus pas Shasa bangun, Ibuk, nggak ada."

      "Ibu angkat jemuran di belakang, Sha. Baru ibu mau siapin Jelly kesukaan Shasa kalau bangun nanti."

      Aku mengusap kepalanya, lalu, sesekali mengecup dahinya supaya dia semakin merasakan keberadaan ku di sini.

      "Shasanya takut Ibuk tinggal kerja."

      Kali ini aku hanya bisa diam. Dalam hati dadaku bergemuruh hebat. Aku sebenarnya ingin mencurahkan semua waktuku untuk mendampingi Shasa sepenuhnya. Tapi tentu itu tidak bisa, karena meski Shasa sudah diasuh oleh keluarga mbak Hani tapi untuk pendidikan Shasa adalah tangung jawabku sepenuhnya.

       Kami sudah melakukan perjanjian diawal pengasuhan Shasa dulu, aku meminta tidak melepaskan tangung jawabku membiayai sekolah Shasa hingga nanti.
Bersyukurnya Mbak Hani maupun Mas Tama mengijinkan tanpa banyak perdebatan.

      Aku tidak bisa berhenti, karena kalau aku berhenti, Shasa akan menjadi korban. Lagi pula mengantikan Mami sebagai manager  wedding organizer Sekar Atma adalah salah satu cara membalas kebaikan keluarga Mbak Hani selama ini.

      Setelah Shasa sedikit tenang, aku langsung mengendongnya menuju dapur. Dengan badan yang masih menempel di dekapanku, aku mengambil segelas air putih untuknya.
"Minum dulu, Nak."

       Setelah kami duduk di bangku ruang makan, aku sedikit membuat Shasa sedikit mengurai pelukannya.
"Minum, ya, biar tenang hatinya Shasa."

        Shasa mengangguk patuh, kemudian mengambil alih gelas yang kupegang untuk diminumnya sendiri.

        "Masih pingin nangis?" tanyaku ketika Shasa sudah meminum setengah dari air yang kusediakan,
"Ibu akan tunggu kalau Shasa masih pingin nangis."

       Shasa mengeleng, tangan kecilnya mengusap pipinya lagi saat air mata kembali jatuh.

       "Sekarang kalau Ibu mau ngomong, Shasa mu dengarkan, Ibu?"

     "Iya,“ jawabnya pelan kemudian menunduk.

       Melihat reaksi Shasa, aku membawa tanganku yang tadinya memeluk pinggangnya, kini kugunakan untuk menangkap pipinya, hingga pandangan kami bertemu.

       "Shasa sudah besar sekarang, sudah sekolah TK sebentar lagi. Kebiasaan menangis Shasa kalau bangun bobok harus dikurangi, ya. Shasa kan tahu, kalau Ibu mau kerja pasti pamitan ke Shasa, kan?"

     Kepala kecilnya mengangguk perlahan, "Shasa kalau bangun bobok berdoa dulu, terus bangun cari siapa yang ada di rumah Oma. Kan, Shasa disana bobok ditemani Mbak Ami, kan?"

       "Shasanya takut Ibuk tinggalin, Shasa. Shasa, mimpi Ibuk pergi lama-lama."

       "Ibu tidak akan tinggalin Shasa, kalau toh Ibu nggak bisa sama-sama setiap hari sama Shasa, itu karena Ibu kerja, Sayang," aku menyelipkan anak rambutnya yang hampir menutupi wajahnya.
"katanya pingin seperti papa Tama dan Papa Lucas biar bisa terbangin pesawat  di langit. Ibu harus kerja kan supaya bisa mewujudkan impian Shasa?"

         "Kalau gitu Shasa nggak mau jadi pilot, Ibuk. Shasa jadi kayak Ibuknya Darel aja biar bisa jemput. Kata Darel, Ibuk sama Bunda sama Papa-papa nggak sayang sama Shasa. Karena kalau sayang, Shasa nggak mungkin dijemputnya sama Pak Sis terus."

Ya Allah anakku.









Happy birthday Ibuk

Happy birthday Ibuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mayesha Haftama

Mayesha Haftama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*Maaf untuk typo

Love
Rum

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang