A P O L O G Y|44

3.2K 659 60
                                    

Doubel update!

Dalam perjalanan ke Jakarta Shasa nampak gembira. Dia terus saja berceloteh panjang meski di dalam pesawat, sehingga penumpang yang duduk di sebelahku juga ikut tertawa melihat keceriaan Shasa.

Sejak mengatakan pada Shasa kita akan ke Jakarta menghadiri pernikahan Bintang, dia terlihat tidak sabaran. Bahkan semalam susah tidur dan aku lelah membujuknya.

"Jakarta kan rumah Yayah, ya, Ibuk?" tanyanya entah untuk keberapa kali.

"Iya, tapi kan kita mau ke pernikahan Om Bintang sama Tante Gendis."

"Tapi tetap sama Yayah, kan?"
Begitu aku mengangguk, dia langsung tersenyum. Lalu melihat awan dari jendel kaca.

"Yang bawa pesawatnya bukan Papa Tama?"

"Bukan, dong. Tadi kan Papa yang antar kita. Papanya lagi libur."

"Lucu banget anaknya, Mbak," ucap penumpang di sebelahku, "umurnya berapa?"

"Besok Shasa umur enam," sahut Shasa mendahuluiku, "Iya kan, Ibuk?"

Aku mengangguk dan itu membuat Shasa tersenyum puas.
Besok memang ulang tahun Shasa dan Minggu depan dia sudah masuk sekolah, waktu memang terasa cepat, sangat cepat sampai terkadang aku masih merasakan sakitnya melahirkan Shasa dan membesarkannya dengan batin yang tertakan tapi bahagia.

Menjadi seorang Ibu dengan keadaanku yang seperti ini mungkin menjadi sesuatu yang masih tabu terjadi. Tidak ingin mencari pembelaan, hanya saja jika aku diberikan kesempatan berbagi pengalaman, untuk kalian yang masih muda, yang hatinya masih dipenuhi bunga ketika jatuh cinta. Ingat beberapa hal salah satunya menjaga diri dari sesuatu yang harusnya tidak boleh di lakukan.

Memang benar, rasa takut kehilangan membutakan logika dan melumpuhkan akal. Tapi, di balik rasa takut kehilangan itu, ingatlah tidak mudah menjadi orang tua. Bukan hanya soal materi tapi juga mental, ya kalau seseorang yang katanya akan bertanggung jawab itu benar-benar bertangung jawab atas dirimu, jika tidak?
Kamu akan kehilangan masa depanmu, melepas mimpimu dan parahnya akan kehilangan dirimu sendiri.

Menjadi orang tua adalah tangung jawab seumur hidup, ketika aku dituntut mengajari Shasa perihal kebaikan aku selalu merasa tertampar jika melihat cermin diriku sendiri. Untuk itu aku selalu berusaha untuk membuat Shasa tidak melihat sisi kelam masa lalu Ibunya.

"Ibuk, Yayah masih lama jemputnya?" tanya Shasa terlihat tidak sabaran. Kami sedang menunggu Bara di pintu keluar Bandara. Tadi dia berpesan agar aku menunggu di luar karena dia tidak mungkin turun dari mobil mengingat keadaan Bandara pasti ramai.

"Tunggu, ya, Kak. Yayah sebentar lagi datang katanya, udah antre buat ke sini."

Benar saja, sekitar sepuluh menit kemudian dia datang menggunakan mobil yang berbeda dari yang kutahu dulu, hanya saja nomer kendaraannya masih sama.

B 4124 AN

Aku tidak membawa barang terlalu banyak, hanya satu koper berisi pakaianku dan Shasa, tas kecil milikku dan Shasa yang juga membawa tas punggungnya yang berisi dompet kecil dari Mami.

Setelah memastikan Shasa aman, aku juga turut masuk ke dalam bangku penumpang depan.

"Shasa tadi rewel nggak di pesawat?" tanya Bara begitu Shasa mencium pungung tangan Bara.

"Nggak, Shasa jadi anak baik," jawab Shasa kemudian kembali duduk.

"Kita mau istirahat di mana? Acara ijab qobul ya udah selesai, kan?"

Bara menoleh padaku, dia terlihat berpikir kemudian menerikan jawaban gila, "Di apartemenku aja gimana?"

"Nggak!" Sahutku cepat.

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang