APOLOGY 10

3.9K 707 90
                                    


Dibandingkan meladeni Tante Ajeng, aku memilih pergi dan mencari tempat lain untuk menunggu prosesi foto dan tanda tangan dokumen selesai. Kurasa dibandingkan mengunggulkan ego untuk membalas, sisa kewarasanku masih ingin untuk diam agar tidak merusak kebahagiaan Alana. Namun meskipun begitu, tatapan tajam dari seseorang di seberang sana tidak lagi bisa kuhindari. Rahangnya terkaup rapat dan itu membuatku tak nyaman.

Hal seperti ini sudah kuperkirakan sebelumnya, aku tidak lagi bisa menghindari Bara dan keluarganya, tapi aku juga tidak ingin terus sembunyi. Aku ingin mereka tahu jika aku baik-baik saja meski tidak bersama Bara. 

Usai melakukan sesi foto, aku langsung bergegas menuju hotel bersama rombongan. Acara resepsi sebenarnya dimulai pukul satu siang, hanya saja mulai pukul sepuluh pagi kami harus mulai merias bridesmaid dan menganti pakaian keluarga besar Alana.

"Mbak, bareng pengantin apa gimana?" tanya Riska yang sudah bersiap memindahkan alat make up ke dalam koper. 

Aku baru selesai membantu Alana menganti baju, sedangkan beberapa keluarga besar tengah menikmati makan sebelum pindah ke hotel.

"Aku duluan, tunggu, Ris. Kamu pakai mobilku aja bareng. Aku mau cek persiapan terakhir di hotel."

"Mbak enggak bareng aku?" tanya Alana setelah berganti kemeja. Aku menjawabnya dengan gelengan sembari tersenyum, "Kamu makan dulu aja, nanti ke sana bareng keluarga besar dan keluarga tante Tria. Nanti acara sampai malam jadi isi tenagamu dulu, oke?"

Alana mengangguk setuju, kemudian aku langsung menyeret koper untuk berpindah lokasi sementara tim perias yang lain sudah lebih dulu ke hotel saat semua keluarga sudah selesai dandan. Kebiasaan melakukan pekerjaan dengan cepat dan penuh kejaran waktu membuatku sering mengabaikan makan dan istirahat. Suatu hari aku pernah drop hingga harus dirawat di rumah sakit karena penyakit maag dan tipus. 

Aku melebarkan langkah agar cepat sampai hotel dan kembali memastikan bahwa semua sudah siap. Banyaknya keluarga dan pendamping pengantin membuatku akhirnya menurunkan lima jasa perias dari Mbak Dian. Tidak tahu bagaimana jika kami tidak dibantu oleh tim yang lain, pasti kami sudah banyak mengecewakan orang.

Dering ponsel membuatku berhenti melangkah, melihat nama yang tertera di layar ponsel, bibirku tercetak senyum tipis. Aku meminta Riska pergi ke mobil lebih dulu, agar aku bisa menganggat telepon gadis kecilku.

"Assalamuallaikum sayangnya Ibu." panggilan telepon berubah menjadi panggilan video. Tampaklah wajah Shasa yang tersenyum sambil melambaikan tangan ke kamera.

"Wallaikumsalam, Ibuk," jawab Shasa ceria.

Sebelah tanganku masih menarik koper, sedang tangan kananku berusaha untuk memegang layar lebih dekat supaya suara Shasa terdengar jelas, seluruh ruangan sedang penuh keluarga yang sedang berkumpul. Dan, aku melewati keluarga Bara begitu saja tanpa permisi.

"Lagi apa, Sha?"

"Shasa lagi gambar, Ibuk. sama Mbak Tati. Ibuk lagi sibuk, Iya?"

Bibirku terkedut melihat Shasa yang menyangga wajahnya dengan tangan, menunggu jawabanku dengan sabar, "Iya, Sha. Ibu mau ke hotel, pindah tempat kerja sama Bunda." jawabku kemudian, "Shasa di rumah jangan nakal ya, sama Mbak Tati harus jadi anak baik. Besok Shasa boboknya di rumah Ibuk kalau Shasa nurut."

"Iya, Ibuk. Shasa jadi anak baik. Tadi Shasa habiskan sarapan, Iya kan Mbak?" Kepala Shasa menoleh ke samping, sepertinya meminta persetujuan Mba Tati.

"Iya, Shasa jadi anak baik, Ibu." sahut Mba Tati.

"Pintar sekali sayangnya, Ibu," pujiku tulus, "Ibu kerja__"

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang