A P O L O G Y|36

2.9K 701 50
                                    


Runaway-Bobby

Selamat malam Minggu dan selamat membaca, love...

Satu jam kami menunggu, akhirnya keadaan Shasa sudah stabil dan kini sudah dipindah ke ruang rawat inap biasa. Dokter mengijinkan kami menemaninya karena Shasa terus menangis mencariku dan Mbak Hani.

Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri karena rasa khawatir ini, sampai kemudian aku masuk ke kamar Shasa, dia tampak lemas di atas brankar dan itu membuat egoku seketika runtuh.

"Bunda," Suara Shasa mencicit lemah, sementara Mbak Hani langsung menghampiri Shasa dan kuikuti bersama Mami.

"Yang dirasa apa, Kak?"

"Mau.dipeluk.bunda," suara Shasa sudah mulai terbata, hingga membuat mbak Hani langsung duduk di pinggiran brankar dan membantu Shasa untuk duduk.

Mbak Hani mengikuti kemauan Shasa, dia membawa Shasa kepelukannya sembari sesekali mengusap kepala Shasa penuh kasih sayang.

"Jangan takut, nggak apa-apa, Shasa sudah di sembuhin sama Pak dokter."

Tidak ada balasan dari Shasa selain suara tangisnya mulai tersengal, dia bahkan enggan melihatku yang kini juga ikut duduk di tepian brankar bagian bawah samping kakinya sembari memijit ringan kaki Shasa. 

"Masih gatel nggak badannya?" bisikan Mbak Hani dijawab gelengan oleh Shasa, tapi tidak membuat Mbak Hani berhenti mengusap lengan Shasa yang memerah, tidak hanya  itu, pipi Shasa sudah menunjukan ruam yang pastinya sangat gatal kalau tidak dibantu oleh obat dari dokter.

"Shasa kenapa sih mau diajak Yayah makan kepiting? Kan, Shasa tau kalau nggak bisa makan seafood. Lihat ini, merah-merah gini badannya, kan?"

"Shasa pengin, Nda."

Mbak Hani sempat melihatku dengan kedua alis yang terangkat, "Shasa lupa Bunda pernah bilang apa? Bukan Bunda dan Ibu nggak bolehin, tapi Shasa nggak bisa makan itu."

"Dikit aja Shasa makannya, Yayah juga pesan satu aja. Shasa cuma makan Saosnya sedikit, sisanya Yayah yang habiskan."

Tepat Saat Shasa mengatakan itu, pergerakanku memijat kaki Shasa terhenti. Ingatanku langsung tertuju pada Bara yang juga tidak bisa memakan seafood. Aku ingat dulu sewaktu kami belum lama mengenal, aku sempat memasakannya nasi goreng seafood. Dia tidak pernah jujur jika punya alergi binatang laut, sehingga selesai makan dia langsung sesak napas dan di rawat di rumah sakit beberapa hari.

"Yayah makan seafoodnya juga, Sha?" tanyaku kemudian. Melihat Shasa mengangguk membuatku menahan napas.

Ya Tuhan, di mana dia sekarang?

"Mbak aku tinggal dulu, ya."

"Mau kemana, Rin?" tanya Mami saat aku berpamitan.

"Cari Bara dulu, Mi. Dia juga alergi seafood, aku khawatir dia nggak langsung ke dokter."

"Minta maaf juga sama dia kalau sudah ketemu," ujar Mami ketika aku sudah mulai berdiri, "Kamu sudah keterlaluan tadi bentak-bentak dia di depan umum seperti itu, dia nggak sepenuhnya salah, harusnya kalian yang bilang ke Bara apa yang boleh dan nggak boleh Shasa makan. Bara memang ayahnya tapi bukan berarti dia selalu punya ikatan batin sampai hapal betul tentang Shasa padahal jelas mereka belum sedekat itu."

Ucapan Mami menyadarkanku bahwa tindakan refleksku tadi salah, aku ingat bagai mana wajah khawatir Bara selama menunggu Shasa di tangani dokter. Hanya saja aku terlanjur panik dan takut karena pengalamanku ketika Shasa alerginya kambuh pernah sangat mengkhawatirkan. 

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang