APOLOGY 5

4K 654 53
                                    

             "Dia mudah sekali tertidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

             "Dia mudah sekali tertidur."

           Aku menoleh pada Shasa yang duduk di bangku penumpang belakang. Kami berangkat ke Surabaya pukul enam pagi untuk menghindari macet.

         Mungkin karena setelah salat subuh aku melarangnya tidur dan langsung mandi, jadi barang kali itu yang membuatnya cepat tidur. Mendengar ajakan Mas Lucas untuk berkunjung ke zoo Shasa girang bukan main, bahkan dia langsung meminta Mbak Hanimembacakan nama-nama hewan, supaya tidak lupa katanya.

        "Kamu masih marah?" pertanyaan Mas Lucas hanya kujawab dengan gedikan bahu, sedikit kesal sebenarnya. Tapi, mana mungkin aku bisa benar-benar marah dengan orang baik di sekelilingku?

 Tapi, mana mungkin aku bisa benar-benar marah dengan orang baik di sekelilingku?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



        "Aku minta maaf," sambung Mas Lucas kemudian, saat aku menoleh ke samping, dia juga menoleh padaku dengan sedikit senyuman tipis.
Mas Lucas ini adalah tipe orang yang tidak bisa marah, setidaknya itu kesan yang kurasakan ketika pertama kali mengenalnya dan itu tidak pernah berubah hingga sekarang, "Mas cuma bercanda, Rin."

        "Tapi bercanda Mas itu nggak lucu. Mas sengaja kan bikin aku nggak bisa nolak di depan Tante Diah dan keluarga Mas?"

       Mas Lucas malah tertawa, padahal aku sudah memasang muka marah. Semantara jariku tak bisa berhenti melilin cincin yang sudah melingkar di jariku. Masih tidak percaya kalau semalam Shasa yang memasangkan cincin ini. Dia merengek ingin aku memakainya, itu adalah akhirnya menjadi alasan kenapa aku menerima cincin ini tanpa menjawab 'iya atau tidak' lamaran itu.

        "Seberapa waktu yang kamu butuhkan, aku akan memberi itu, Rin. Jangan kan waktu, hatiku kamu minta semua juga aku kasih."

       Mendengar ucapan Mas Lucas entah kenapa membuat telingaku mendadak geli, "aku baru tahu, orang buta bisa jadi pilot."

       Suara tawa Mas Lucas semakin keras, bahkan ketika  aku menyuruhnya berhenti tertawa, dia malah kian terbahak, "Kenapa sih? aku serius, Rin."

        "Mas, apa yang kamu lihat dari aku sih? Mas Lucas itu pria mapan, di kerjaan Mas juga banyak perempuan single, cantik dan yang jelas bukan perempuan single tapi punya anak diluar nikah seperti aku gini."  ucapku yang seketika membuat Mas Lucas berhanti tertawa. Bibirnya tertarik lurus dan memandangku dengan tatapan kecewa, "Kita sudah sering membahas masalah ini, Rin. Sampai kapan kamu terus-terusan insecure sama diri sendiri? Aku nggak pernah masalah sama status kamu, tapi kamunya yang sering menganggap diri nggak pantas," ucap Mas Lucas kemudian, "Rin, kamu bukan tidak pantas, tapi kamu sendiri yang menganggap itu. Orang lain nggak pernah menganggapmu rendah, tapi kamu yang bikin dirimu sendiri tidak pantas mendapat kebaikan dari orang lain."

        Mendengar ucapan panjang Mas Lucas seketika membuat bibirku bungkam, aku mendadak diam dan mengalihkan pandangan keluar. Melihat beberapa kendaraan yang berhasil tersalip oleh Mas Lucas.

Kegagalanku dimasalalu benar-benar berdampak tidak baik, aku sadar itu.

Hingga rasanya aku lebih baik diam dengan mata terpejam, mengenyahkan rasa sesak yang tiba-tiba menelusup dalam dada tanpa menimpali argument Mas Lucas.

       Sepanjang perjalanan hanya suara radio yang memecah keheningan kami. Penyiar perempuan dan laki-laki yang membuat dunia mereka berdua terdengar asik setiap paginya. Hebatnya suara mereka bisa membuat moodbooster untuk menemani perjalanan semua orang sepanjang pagi.

        "Yes, jadi seperti yang kita janjikan tadi. Pagi ini kita akan membuat pagimu kian miris karena apa? Sepagi ini ketika kamu uring-uringan karena macet di jalanan, atau suntuknya deadline, kalian akan semakin dibikin panas karena di studio kita sudah hadir pasangan paling bikin iri di sepanjang tahun 2020. Bara Alkafi Nugraha dan Victoria Rebecca!"

      Telingaku langsung terpasang waspada mendengar salah satu penyiar itu membuka obrolan setelah dua lagu berakhir dan diiringi suara tepuk tangan.

        "Bar!" suara penyiar laki-laki itu memanggil Bara, "Kamu ada rencana putus nggak, Bro?"

        Tidak ada jawaban apapun selain tawa renyah lelaki itu, aku masih mengingat jelas suara tawa itu milik siapa.

         "Bangsul, mereka mau tunangan! bisa-bisanya kamu tanya begitu sama Bara." Barusan suara penyiar perempuan yang ikut menimpali.

       "Iya kan aku cuma nanya. Kalau mereka putus kan kamu juga nggak jadi patah hati, pria paling tampan se Indonesia nggak jadi sold out. Aku jadi tempat pelarian Rebecca juga ikhlas lahir batin." 

      Tidak ada suara apapun selain gelak tawa mereka, hingga beberapa detik, tanpa sadar tanganku terkepal diatas pangkuan mendengar tawa lepas dari Bara. Refleks aku langsung melihat Shasa dari kaca depan kemudi. Gadis kecilku masih tertidur dengan pulas, di wajahnya polos tanpa beban yang selama ini kusembunyikan sendirian. Mungkin nanti dia akan membenciku jika tahu apa yang terjadi di masalalu kami dulu.

        "Tunggu Boy, kamu punya apa? Barang kali sebelum bulan depan aku bisa berubah pikiran untuk mempertimbangkanmu." Kini suara perempuan terdengar sangat lembut memecah tawa mereka.

       "Aku punya anak dua, Re. setidaknya mereka adalah aset berharga. Bukankah terdengar menarik, karena kamu hanya perlu menikah denganku lalu langsung mendapat dua anak sekaligus."

      "No, itu bukan menguntungkan Boy. Itu terdengar seperti beban." Tak tahan untuk mendengar tawa mereka, aku langsung bergerak mematikan radio dengan gerakan cepat.

       "Tidur saja, nanti dibangunin kalau sudah keluar tol." 

        Aku mengangguk mendengar perintah Mas Lucas. Mataku terpejam  dengan perasaan tidak nyaman. Sesungguhnya semenjak memutuskan pergi dari Jakarta, aku sudah melepaskan Bara, aku tidak ingin mendengar apapun tentangnya lagi. Termasuk ketika media memberitakan kedekatannya dengan model cantik Victoria Rebecca. Dari dulu semasa kita bersama, dia berkali-kali dibicarakan dekat dengan lawan mainnya. Sialnya dia selalu meyakinkan jika hubungan yang terjalin diantara mereka adalah profesional kerja.

        Tidak ada masa depan dari hubungan kami, aku sadar itu, tapi bodohnya aku justru melakukan kesalahan yang membuatku tidak bisa serta merta melupakan Bara. Shasa, gadis kecilku itu benar-benar menuruni wajah ayahnya, sehingga ketika melihat wajahnya saja aku seperti melihat Bara.

       "Ibuk," Suara cicitan Shasa seketika membuat mataku terbuka sempurna. Saat aku menoleh ke belakang, Shasa sudah bangun dengan wajah hampir menangis.

      "Sha, ini Ibu." aku berusaha mengapai tangan Shasa, supaya dia tenang dan menyadari kehadiranku.

       "Sini kedepan sama Ibu, sayang." suara Mas Lucas membuat Shasa melepas baby car seat yang dia pakai.

      Aku langsung membantu Shasa, untuk pindah ke pangkuanku. Kebiasaannya bangun dan harus diusap bagian punggungnya membuatku seketika memangkunya yang langsung memelukku dan meletakan kepalanya di dadaku.

       "Sha, nanti jika kamu tau kebenaran itu. Tolong jangan marah apa lagi jauhin Ibu, ya. Ibu cuma punya kamu. Nanti Ibu tidak lagi punya siapa-siapa, Nak. Kalau kamu membenci Ibu." Batinku sambil membalas pelukan Shasa, "Biarkan ayahmu bahagia di sana dengan kehidupannya, karena kamu tidak butuh apa-apa selagi ada Ibu."






*Maaf untuk typo

Love
Rum

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang