Jaga emosi, gaes! Berdoa dulu biar ditenangkan hatinya.
Keberadaan Mas Lucas di sini membuatku yang tadinya hendak pamit menjadi mengurungkan niat. Sebab, dia jadi ngobrol banyak hal dengan Mbak Dania dan Rebecca. Sementara aku masih setia memeluk Shasa seakan takut jika seseorang mengambilnya.
"Ibuk?" Shasa berbisik pelan di pelukanku, membuatku akhirnya sedikit mengurai pelukan kami.
"Iya, Shasa mau apa? lapar, ya?" tanyaku saat kembali sadar Shasa sudah memelewatkan jam makan siangnya.
Saat kepalanya mengangguk, aku langsung mengalihkan pandangan untuk memanggil pegawai resto.
"Shasa mau makan?" tanya Mas Lucas saat menyadari aku kesulitan mencari pegawai resto.
"Dia lapar, ini sudah lewat jam makan siangnya," jawabku kemudian.
"Biar aku yang pesan, kamu makan sekalian, ya. Mau apa?"
ehm!
Suara deheman Bara membuat kami serentak menoleh padanya. Sejujurnya aku bukan tak sadar sedari tadi Bara menyoroti kami dengan pandangan tak suka, hanya saja aku lebih suka menganggapnya tak ada di sini.
"Kamu kenapa, sayang?" Rebecca yang duduk di samping Bara langsung menoleh sembari menyentuh lengan Bara.
"Lapar!" jawabnya, "mau makan, beb." Bara melepas topinya, hingga memperlihatkan rambutnya yang di warnai ungu.
"Baiklah, sekalian saya minta daftar menu," Tungkas Mas Lucas kemudian berdiri untuk mengambil buku menu yang berada di kasir.
Selagi menunggu, Shasa tahu-tahu bergerak. Dia yang tadinya hanya menempel di dadaku, kini memberi jarak sembari mengusap wajahnya. Melihatnya yang kini tak lagi tersengal, aku akhirnya mengambil air mineralku dan mengangsurkannya pada Shasa.
"Minum dulu, ya?" ucapku sembari membuka tutup botol, "atau nangisnya belum selesai? Ibu akan tunggu kalau Shasa masih mau nangis."
Kepala Shasa mengeleng pelan, lalu mengambil botol yang kupegang. Dia mengesapnya pelan sembari melihatku.
"Kalian berdua kayaknya sayang banget sama Mayesha ya, Rin. Dia sampai panggil kamu Ibu dan semalam juga panggil Lucas Papa."
Aku tersenyum canggung sembari mengangguk pada Mbak Dania, "Sudah kebiasaan dari dia bayi, Mbak. Dulu dia cuma bisa bilang bubu, Nda dan Papa. Jadi sampai sekarang dia biasa panggil kami begitu."
"Nggak apa-apa, sembari latihan nanti kalau udah beneran punya anak. Sudah ada rencana menikah kalian?"
"Kami sudah tunagan, Mbak. Tapi untuk menikah, dia masih suka ngurusin pernikahan orang dulu katanya."
Ya Tuhan, Bisa-bisanya Mas Lucas menjawab seperti itu. Apa dia tidak sadar seseorang sudah menghujaminya dengan tatapan membunuh. Mas Lucas kembali duduk di sampingku dan diikuti seorang pegawai resto di belakangnya yang siap mencatat pesanan kami.
"Aku bawa Shasa ke toilet dulu, Mas. Buat Shasa pesankan sayur, ya. Aku samain aja sama makanan, Mas."
Aku pamitan pada Mas Lucas, karena rasanya aku tidak bisa bernapas di sini.Dengan menuntun Shasa ke toilet yang berada di luar resto, aku sengaja memelankan langkah agar sedikit lama jauh dari mereka.
"Cuci muka, ya, Sha. Wajah Shasa sembab begini." Aku mengendong Shasa, lalu menghadapkannya pada kaca besar.
"Wajah Shasa merah, ya, Ibuk?"
Aku mengangguk, sambil mendudukan Shasa di wastafel. Sedikit kesusahan karena wastafel cukup tinggi dibandingkan badan Shasa. untung saja Wastafel mempunyai sisi samping yang bisa digunakan Shasa untuk duduk. Aku membuka tas dan mengambil peralatan Shasa, hanya sabun pencuci muka untuk anak, sikat gigi dan handuk kecil yang selalu kami bawa jika bepergian.
KAMU SEDANG MEMBACA
APOLOGY [TERBIT]
ChickLit[Selesai, beberapa part sudah di unpublish] Kata Maaf rasanya tidak lagi akan cukup -Bobby A.k.a Barra- Rank 1 in #chicklit 11 maret 2021