A P O L O G Y 42

2.9K 734 188
                                    

Hallo, Aku nggak tahu sebanyak apa pembaca yang kecewa karena berharap ending cerita ini Mas Lucas berjodoh dengan Rindu lalu berhenti membaca. Jika boleh, aku ingin sekali yang masih mau membaca sampai bab ini kirim aku emotion love, di sini.

Terima kasih dan selamat membaca...

Harusnya memang aku sedari awal tidak terlalu nyaman dengan keadaan yang biasa kujalani selama lima tahun terakhir ini. Aku terkadang hilang kepercayaan diri saat teringat ucapan Mami waktu itu. Aku sedang tidak menyesali ucapan Mami yang hendak memindahkan kekuasaan sanggar pada Kirana setelah dia menikah dengan Mas Lucas, tidak sama sekali. Toh, aku memang tidak berhak. Tapi, nyatanya meski sekarang Kirana sudah aktif membantuku di sanggar, tentang keputusan apapun semua masih aku yang mengatur, Mami memintaku tidak  mundur sebagai petanggung jawab sanggar. Malah justru sekarang Mami terkesan lepas tangan, hanya saja dalam keadaan tertentu aku seakan ingin mengontrol diri dan memasukan Kirana dalam setiap keputusanku.

Kepercayaan diriku untuk terus di sini hanya karena dua hal; Shasa dan amanah Mami yang kuanggap caraku membalas kebaikan mereka. Mungkin jika nanti aku yakin Kirana sudah bisa memegang kendali untuk sanggar, aku pelan-pelan akan mundur dan mencoba usaha sendiri.

"Mbak, kalau bunga ini harus kita ganti tiap acara pernikahan?"

"Kalau yang untuk pelaminan ada bunga asli ada yang untuk plastik untuk hiasan, Na. Kalau bunga asli biasanya beda tempat bunganya baru, karena biasanya mereka layu. Kecuali beberapa bunga di pot yang memang kuat dan nggak mudah rusak jadi bisa kita pakai berkali-kali bahkan hitungan tahun."

Kirana mengangguk pelan, kemudian dia ikut naik bagian pelaminan untuk menata bunga yang akan di hias di depan kursi pelaminan membantu tim dekorasi menata bunga, "Pantas di depan sanggar banyak bunga, Mbak. Jadi tinggal angkut aja ya kalau kita butuh?"

"Bunga itu kian banyak karena Riska hobi merawatnya, dia yang cari dan rawat setiap hari, yang masih kecil-kecil hasil tunas semuanya ditanam di belakang sanggar."

Selama tidak ada job yang di kerjakan bersamaan, aku mengajak Kirana untuk bergabung denganku. Perlahan sikap pendiamnya juga mulai berkurang dan dia akan menanyakan sesuatu yang mungkin ingin dia pelajari.

Dering ponsel membuatku bergerak cepat mengambil  ponsel di dalam tas, lalu memberikan kode Kirana untuk mengangkat telepon sebentar.
Nama yang tertera di layar ponsel membuatku mengembuskan napas pelan.

Sejujurnya ada beberapa hal yang membuatku yakin ada yang di tutupi oleh Bara. Terakhir kami bertemu, dia belum juga mau mengaku siapa orang yang sudah melukainya, justru dia mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain sambil mengajakku bercanda.
Aku tahu Bara bukan orang yang nyaman menceritakan masalah pribadinya sejak kami mengenal. Bara tipe lelaki yang tidak akan berhenti bertanya tentang hidupku dan kalau aku balik bertanya, dia hanya akan jawab, "Biasa aja, nggak ada yang seru. Serunya justru pas udah kenal kamu."

Kalau sudah begitu aku malas lagi menanggapinya.

"Hallo?"

"Rin?"

Mendengar dia memanggilku lagi aku kemudian menyahut, "ada apa?"

"Rame banget di sana, kamu kerja?"

Aku mengangguk padahal Bara tidak akan tahu juga anggukanku.

"Besok kamu Free?"

"Aku ada kerjaan, mungkin dua hari lagi baru free."

"Lama banget," gerutunya ketika mendengar jawabanku.

"Kerjaanku ngurusin event wedding, Bar. Pernikahan orang sini nggak selesai sehari. Memang kenapa?"

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang