Seperti ucapanku, dua hari aku memberi waktu diriku sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Aku mulai menata apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin mulai kembali mencari keberadaan Ibu dan meminta bantuan Mas Tama.
Dari kemarin aku lebih banyak kerja di rumah, misalpun ada pekerjaan di luar aku mewakilkan Riska. Lagi pula kerjaan merias baru akan dimulai akhir pekan ini.
Sejujurnya aku merindukan Shasa,
tapi hatiku masih belum siap kalau dia tau Ibunya sedang tidak baik-baik saja. Selalu ada rada bersalah yang luar biasa tiap kali melihat wajahnya.Kita hidup memang tidak bisa larut dalam penyesalan, melainkan bagaimana kita memperbaiki kesalahan dan melanjutkan hidup dengan pelajaran baru. Hanya saja penyesalan yang kualami ini tidak bisa begitu saja kulupakan. Aku sudah membawa banyak derita untuk Shasa, bahkan aku tidak yakin Shasa akan memaafkan ku jika tahu ini setelah dewasa nanti.
Sore ini aku berencana ke rumah Mbak Hani, Mas Lucas mengirimiku pesan jika hari ini Shasa terus merengek mencariku, Selain itu mereka juga hendak mengajakku makan malam keluar karena hari ini ulang tahun Mas Tama.
***
Suasana rumah Mbak Hani nampak sepi ketika mobilku masuk ke halaman rumahnya. Saat aku bertanya pada Mba Tati, katanya mereka sedang berkumpul di ruang keluarga sembari nonton TV.
"Ibuk..." Tanganku seketika merentang ketika Shasa lebih dulu menyadari kedatanganku. Kemudian Mas Lucas dan Mas Tama langsung menoleh begitu Shasa berteriak memanggilku. Ternyata mereka berdua sedang menemani Shasa menonton kartun.
"Shasa kangen," katanya setelah berhasil kugendong, "Ibuk sudah nggak sibuk?"
Aku mengelengkan kepala setelah menciumi wajah Shasa, "sudah selesai dong sibuknya," jawabku berbohong.
Shasa tergelak di gendonganku, lalu aku membawanya duduk diantara mereka dengan posisi kami saling berpelukan.
"Shasa kangen Ibuk," ulangnya sekali lagi. Aku gemas bukan main melihat wajah Shasa yang memerah, "Ibuk kangen juga sama Shasa?"
Aku pura-pura berpikir, dan itu cukup membuat Shasa terdiam.
"Kangen nggak, Ya?"Melihat Shasa mendadak diam bahkan hampir menangis membuatku akhirnya memeluk Shasa lagi, kali ini lebih erat.
"Ibu kangen, kangen banget sama anak baiknya Ibu." Baru ketika aku mengucapkan kalimat itu, Shasa kembali tertawa.
"Mbak Hani mana, Mas?" tanyaku menoleh pada Mas Tama.
"Nyiapin air mandinya Shasa."
Aku refleks menunduk untuk melihat Shasa yang masih memelukku, "Shasa belum mandi?"
Kepalanya kurasakan mengeleng, "Ayo Ibuk mandikan Shasa."
"Mandi sama Papa aja, yuk, Sha!" ucap Mas Lucas mengoda Shasa, tapi berhasil membuat Shasa mengeratkan pelukannya padaku. "Nggak boleh, Pa! Shasa girls Papa Boys."
"Memang kenapa kalau mandinya Sama boys?" tanya Mas Tama dan itu membuat Shasa mengurai pelukan kami, lalu menatap papanya.
"Kata Bunda kalau sudah nggak baby nggak boleh mandi dan nggak boleh ganti baju sama boys. Harus sama girls aja!" jelas Shasa dan memicu senyum diwajah Mas Tama.
"Shasa kan masih kecil, Papa sudah dewasa."
"Tapi Shasa sudah nggak baby, iya, kan, Ibuk?" tanya Shasa meminta persetujuanku, aku mengangguk untuk menjawab Shasa.
"Shasa... Ayo mandi, Nak!" Suara teriakan Mbak Hani membuatku menaikan kedua alisku.
"Sudah dipanggil Bunda, ayo kita mandi!" Ajakku lalu mengajak Shasa berdiri."Papa ikut, ya, Sha?" Sahut Mas Lucas masih mengoda Shasa.
"Nggak boleh!" jawab Shasa berteriak kemudian lari meninggalkanku untuk menyusul bundanya.
Air hangat sudah disiapkan Mbak Hani, dia juga sudah siap dengan handuk di leher dan mulai membuka lemari baju Shasa.
Melihatku yang muncul di belakang Shasa membuat Mbak Hani seketika tersenyum."Sudah egoisnya?" Tanyanya sembari tersenyum kecil.
"Mbak, aku cuma butuh waktu buat sendiri, kok. Lagian aku nggak tahan juga lama-lama nggak ketemu Shasa."
jawabku lalu menyalami Mbak Hani dan kami saling menempelkan Pipi."Menenangkan diri tapi nggak ingat kalau obatmu itu orang yang kamu hindari. Jangan terus menerus hidup dengan membenci diri sendiri, Rin!"
Aku mengangguk lalu duduk di pinggiran ranjang. Sementara Mbak Hani sudah selesai melepas pakaian Shasa. "Mandinya nggak boleh lama-lama, Shasa masih hangat badannya." ucap Mbak Hani sembari mengikat rambut Shasa.
Mendengar Mbak Hani bilang Shasa masih hangat badannya, aku refleks berdiri lalu menempelkan pungung tangan di dahi Shasa.
Kenapa aku baru sadar Shasa badannya sedikit demam?
"Sudah dari kemarin, tapi udah dikasih vitamin sama obat, kok. Dari kemarin nggak mandi, tadi merengek mau mandi jadi ya udah pakai air hangat dulu," ucap Mbak Hani dan itu cukup membuat hatiku tiba-tiba sakit.
"Maaf, ya, Mbak."
"Nggak apa, kata Lucas Ibunya Bara keterlaluan banget bicaranya. Aku pikir kalau kamu butuh waktu untuk lebih menyalahkan dirimu sendiri nggak apa-apa."
Setelah mengatakan itu, Mbak Hani mengandeng Shasa untuk ke dalam kamar mandi.
Aku sama sekali tidak tersingung, jujur malah merasa kian bersalah pada Mbak Hani. Dulu aku selalu menutupi masalahku sendiri, lalu mengurung diri di kamar. Tidak mau makan dan hanya menangis jika moodku sedang buruk sewaktu hamil Shasa. Mbak Hani maupun Mami nggak berhenti bujuk aku meski aku kekanak-kanakan.
Dering ponsel membuatku sadar dari lamunan, ada panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Masalahnya ini adalah nomer pribadiku bukan nomer kantor, sehingga aku memilih untuk tidak langsung menjawab.
Begitu panggilan itu kembali masuk, aku kemudian mengeser ikon warna hijau dan menempelkan ponselku ke telinga."Hallo?"
Napasku langsung tertahan mendengar suara ini.
"Kenapa nomerku di block?"
Pertanyaan itu membuatku akhirnya mengembuskan napas, "karena aku lagi nggak mau bicara sama kamu. Aku sudah kasih nomer mbak Hani, kan? Kamu bisa tanya kabar Shasa lewat Mbak Hani."
"Aku sudah telepon Mbak Hani dari kemarin kalau soal kabar Shasa, yang aku khawatirkan sekarang kabar kamu, Rin." jawabnya dengan suara berat, "Mama ke Jogja. Apa yang dia lakukan, dia melukaimu?"
"Bukannya dia pasti akan melukaiku? Tidak mungkin kan dia datang untuk mengajakku berdamai, kecuali ada niat untuk membunuhku setelah itu."
"Aku tidak akan membiarkan mama menyakitimu dan Shasa. Aku janji." Sahutnya kemudian, "sampai akhir pekan ini aku ada kerjaan ke luar kota. Sabtu pagi baru balik ke Jakarta. Tapi aku pengin jemput kamu dulu ke Jogja. Kamu jadi datang ke pernikahan Lala kan?"
"Jadi," jawabku tenang, "tapi nggak perlu dijemput, aku datang sama Mas Lucas."
Patah hati lagi. Udahlah, Bar. Sama aku aja.
*Maaf untuk tipo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
APOLOGY [TERBIT]
ChickLit[Selesai, beberapa part sudah di unpublish] Kata Maaf rasanya tidak lagi akan cukup -Bobby A.k.a Barra- Rank 1 in #chicklit 11 maret 2021