APOLOGY 8

3.5K 663 100
                                    

Hallo, kalau komentarnya rame Rum kasih doubel update.

Gimana?

Ramaikan semua paragraf, ya.

Happy reading, Love.

Sebenarnya, ketika aku memilih berbohong pada Alana, artinya aku harus siap segala resikonya termasuk Alana yang bersikap jauh lebih diam dibandingkan dia yang dulu kukenal. Dia seperti menjaga jarak dariku selama foto prewedding kemarin. Tidak masalah, jika aku sekarang terlihat sangat buruk di depan keluarga Bara, itu memang tujuanku.

Aku tidak ingin mereka menggangguku dan Shasa.

Seperti segala proses wedding yang lain, aku tidak lagi bisa lari dari waktu, meskipun ketakutanku bertemu dengan mereka semakin besar menjelang hari-hari pernikahan. Aku bahkan merasa tidak pernah segugup ini sebelumnya perihal mengurusi pernikahan customer. Sejauh ini aku melakukannya dengan senang dan bahagia, berbeda dengan customerku yang sekarang.

Satu hal yang sepanjang jalanan tadi membuatku sangat pusing, bagaimana caranya meminimalisir kemungkinan bertemu dengan tante Ajeng dan Bara. Tentu itu nyaris tidak mungkin, karena mereka pasti hadir dan terlibat dalam acara.

"Pengajian sudah selesai, Ris?"aku mengandari mobil sendiri dari Sleman, karena waktu sudah mepet. Selama menungguku dan pengajian selesai, semua acara di handle Riska, Mas Satya dan Mas Aris.

"Sudah Mbak."

"Oke, jam setengah empat kita mulai sungkem lalu siraman, ya. Tujuh keluarga Alana yang kan ikut sudah dikasih tahu, kan?" tanyaku, laku diangguki oleh Alana.

"Mas Aris, kembang setaman ada di bagasi mobil, bantu aku siapin, ya."

Mas Aris adalah salah satu karyawan Mami yang bekerja untuk mengkoordinasi segala persiapan yang berada di tim Mas Satya, selain itu dia juga banyak bermain tentang dekorasi dan persiapan pernak pernik adat. Dia kemudian langsung bergerak cepat, membuka bagasi dan mengambil perlengkapan untuk siraman.

"Rin, cek lagi perlengkapan kita. Seingatku, semua sudah, tapi cek sekali lagi deh, karena detailnya kamu dan Mami paling tahu."

Aku mengangguk untuk menjawab permintaan Mas Aris, kemudian membuka pintu mobil penumpang belakang untuk mengambil alat make up dan kain yang akan digunakan Alana. 

Kesibukanku menjelang siraman dan midodareni membuatku perlahan melupakan kemungkinan besar akan bertemu tante Ajeng. Riska membantuku menyiapkan sajen siraman sementara aku mempersiapkan perlengkapan siraman.

Beberapa alat mulai kutata dalam wadah klenting dan bejana di atas klasa bangka, atau tikar  yang terbuat dari pandan, tidak lupa mencatat hal-hal yang sudah siap dan yang belum.

Upacara adat seperti ini adalah hal yang paling sulit kupelajari dulu, menghapal banyak perlengkapan dan tidak boleh tertinggal satupun membuatku lumayan pusing. Kembang setaman yang sudah jadi hal pasti saja susah kuhapal, bersyukurnya Mami punya langganan peralatan siraman, sehingga aku lebih mudah mempersiapkannya. 

"Mbak, calon pengantin sudah siap. Acara sungkem di mulai jam berapa, ya?" aku yang tengah menata perlengkapan mendongak dan menemukan Satya yang berdiri sembari memegang kameranya. 

"Kamu mau ambil foto bagian ini, Sat?" aku menunjuk perlengkapan siraman, biasanya Satya akan mengambil beberapa foto untuk dokumentasi.

Setelah Satya mengangguk, aku memberikannya ruang untuk mengambil foto.

"Aku persiapkan calon pengantinnya untuk sungkem dulu,"

Satya memberiku jempol tangan sebagai tanda jika dia mengerti maksudku, sementara dia kembali membidik fokus kameranya.

Di bantu oleh keluarga Tante Tria, aku ditunjukan ruangan yang digunakan untuk Alana dan orang tuanya menunggu. Mbak Dian yang merupakan salah satu periasku sudah di sana untuk merias orang tua Alana dan seluruh keluarga perempuan untuk di rias adat jawa guna mengikuti prosesi siraman.

Saat kemudian aku di persilahkan masuk, aku tak bisa melakukan apapun selain menahan napas, sebab di antara deretan perempuan yang sudah di rias, ada tante Ajeng dan beberapa saudara Bara. wajah beliau terlihat terkejut, sedangkan aku masih berusaha untuk tenang.

Aku hanya melempar senyum ramah sembari menunduk pada mereka, meskipun balasan yang kuterima adalah bisik-bisik keluarga Bara, entah membicarakan aku apa.

"Mbak Dian, butuh aku bantu? berapa lagi yang belum di rias?" Sungguh, tidak ada yang bisa kulakukan selain berdiri tegak di saat kakiku rasanya sudah sangat gemetar mendapatkan hujaman tajam dari mereka.

"Rin, ini kamu? Rindu?" Salah satu dari mereka bersuara membuatku seketika menunduk, menaruh hormat pada Mama Alana, "Iya, tante Liana, saya Rindu."

Sampai kemudian tante Liana berjalan ke arahku, tanganku masih gemetar setelah membuka alat make upku, "Tante apa kabar?"

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat tante Liana menyalamiku lalu manarikku dalam pelukannya, "Baik, kamu juga, kok, bisa di sini?"

Saat pelukan kami terurai, aku berusaha tersenyum agar terlihat baik, "Saya kerja, tante. Saya perias di wedding organizer ini."

"Cuma perias!" napasku tertahan di tenggorokan saat mendengar ucapan yang keluar dari Tante Ajeng, "memang mentoknya jadi perias, nggak ada keahlian, padahal sudah kuliah jauh-jauh."

Suasana menjadi tegang dan hening, sementara aku masih berusaha untuk tersenyum meski tengah dipermalukan di depan keluarga Bara dan beberapa tim periasku.

Mbak Dian yang sedang merias Alana bahkan sampai berhenti, lalu menatapku penuh tanda tanya.

"Jeng, sudah." leraian tante Liana sama sekali tidak didengar oleh tante Ajeng, Beliau malah semakin berani merendahkanku, "Untung saja Bara sudah menemukan perempuan yang baik dan sepadan. Yang tentunya tidak akan menjebaknya hanya untuk menumpang hidup saja."

Aku lupa kapan mendengar tuduhan ini, sialnya rasanya masih sama.

Sakit.

"Tidak apa-apa, tante," aku mengeser badanku agar bisa menghadap tante Ajeng yang duduk di soffa ruang tamu. Beberapa keluarga Bara sekarang juga menatapku dengan tatapan aneh, "Saya bahagia dengan kerjaan saya, kok. Syukurlah kalau Bara sudah menemukan perempuan seperti yang tante mau, karena saya juga sudah bahagia dengan apa yang saya miliki."

Aku mengatakannya dengan tenang, tanpa nada bergetar meski hatiku rasanya tertampar. Aku tidak lagi dan tidak akan mengiba, sebab benar, aku sudah bahagia dengan Shasa dan kehidupanku sekarang.

Sayangnya Ibuk, Mayesha Haftama

Sayangnya Ibuk, Mayesha Haftama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





*Maaf untuk tipo

Love

Rum



APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang