A P O L O G Y 16

4K 833 80
                                    

Happy reading, Love.



"Rin, please?"

Meski suara Bara terdengar mengiba, tapi aku tetap bersikeras untuk menolak bicara dengannya.

Apa dia pikir, aku akan tega melihat Shasa ketakutan dari pada menuruti kemauannya?

"Nggak, Bar. Apa kamu nggak dengar, dia mau kamu pergi?"

"Aku nggak akan pergi sebelum kamu bilang siapa Shasa sebenarnya, ucapnya bersikeras, "Itu nggak sulit, Rin?"

Riska yang masih berdiri diantara kami, akhirnya memilih pamit untuk masuk ke dalam sanggar. Sementara Shasa, masih menangis di pelukanku.

"Aku cuma mau tahu, siapa__"

"Iya terus kalau sudah tahu dia siapa, kamu mau apa lagi?" tanyaku dengan suara meninggi, "Sudahlah, lebih baik kamu pulang. Aku nggak bisa ketemu kamu lagi!" tungkasku kemudian memilih meninggalkan Bara.

Sampai Kemudian langkahku sudah melewatinya, dalam jarak yang tidak terlalu jauh, aku kemudian berhenti dan kembali berucap, "Kalau kamu merasa dirugikan karena waktumu habis untuk menemuiku kemarin, bilang saja aku mesti bayar kamu dan Rebecca berapa sebagai gantinya. Aku hampir lupa kalau waktumu sedetik saja adalah uang untuk Tante Ajeng. Jadi aku akan membayarnya."

***

Selepas hari itu. Bara benar-benar tak menampakan diri, sedangkan berita pemukulan yang melibatkan Bara dan Mas Lucas sudah mengemparkan  banyak situs berita online, televisi maupun media cetak. Sejauh yang kukenal dulu, Bara nyaris tidak pernah mendapat berita negatif apa lagi tindakan kekerasan. Sehingga ketika berita itu muncul di publik, bukan hanya Bara yang kesusahan, melainkan Mas Lucas juga.

Kemarin dia sempat dipanggil oleh pimpinan perusahaan penerbangan tempatnya kerja. Tapi sejauh itu, dia berkata agar tidak mengkhawatirkannya. Untung saja tidak ada namaku atau Shasa yang ikut terseret di dalam berita tersebut. Karena jika itu terjadi, aku yakin masalahnya akan semakin rumit saja.

"Mbak Rindu, sore ini jadi berangkat ke Bogor jam berapa?"

Pertanyaan Riska membuatku yang tadinya sedang mengemasi alat make up dan peralatan pengantin, akhirnya berhenti, lalu menoleh padanya.

"Satu jam lagi.“

Aku memang ada rencana ke Bogor sore ini. Lusa, jasa make-up ku di pakai untuk acara ijab dan resepsinya.

"Mbak, sejak jasa sanggar kita di pakai nikahan Alana dan Andreas itu, banyak banget customer baru yang hubungi kita untuk pakai jasa Sekar atma, tau, Mbak? gimana nggak mendunia secara dari acara ijab sampai resepsi disiarkan di televisi swasta."

Ucapan Riska membuatku mengangguk setuju, "Yang penting jangan sampai salah lihat jadwal kita, ya. Dahulukan yang pesan duluan supaya nggak bentrok nantinya."

"Siap, Mbak. Aku nggak kebayang kalau kita jadi pegang pernikahan Bara dan Rebecca. Itu bakalan jadi pernikahan termegah di tahun ini."

"Jangan takut dengan rezeki, Ris," ucapku meyakinkannya, "Rezeki udah ada yang atur."

Riska tersenyum seraya mengangguk,"Iya, sih. oh, iya, Mbak. Aku udah bilang belum. Mbak Dania menolak ganti rugi buat Bara dan Rebecca, katanya perjanjian itu baru aja dimulai. Jadi dia masih ada kesempatan cari WO lain."

"Baguslah!" Jawabku kamudian.

Dering panggilan di ponsel Riska membuatnya mengalihkan padangan dari koper yang sedang kami siapkan.

Nama Setya di ponsel Riska, membuatnya sedikit menjauh dan mengambil jarak dariku. Kurasa aku juga tidak perlu tahu, kenapa wajah Riska sedikit berubah kaku saat pandangan kami bertemu. Tak lama setelah panggilan itu berakhir, kemudian dia berkata "Mbak, Bara datang lagi,"

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang