Jejak Langkah (4)

4.8K 593 27
                                    

Kalau kalian masih baca bab yang judulnya jejak langkah, artinya itu chapter flash back, ya.

Cerita ini bergenre mature. Ingat, ya, bijaklah dalam memilih bacaan.




Happy reading

         Aku mengigit bibirku, berulang kali mataku terpejam lalu terbuka hanya berharap jika garis yang tercetak di alat test kehamilan ini akan berubah atau barang kali aku salah lihat. Tapi, nyatanya meski sudah lewat dari tiga puluh menit, dua garis biru kemerahan itu tak juga berubah warna.

       Mataku tak bisa lagi menahan tangis saat mengingat apa yang sudah terjadi pada kami beberapa minggu yang lalu. Bara tidak jadi pulang malam itu karena hujan semakin deras dan diiringi dengan petir. Alih-alih tak mau meninggalkanku yang memang takut petir, kami justru melakukan kesalahan yang harusnya tak kami lakukan.
       
       Hasilnya, aku sekarang positif hamil. Padahal aku tengah berjuang untuk mengikuti PTN setelah lulus nanti . Sembari duduk dengan perasaan gamang, aku akhirnya menumpuk sisa kewasaranku dengan segera menghubungi Bara.

      Sayangnya sampai panggilan ketiga, panggilanku tak juga berjawab.
Aku semakin takut, terlebih setelah aku mengiriminya pesan, tak ada satupun yang dibalas.

      "Untuk itu saya menawarkan kamu masuk perguruan tinggi negeri tanpa repot ikut seleksi," ucap perempuan yang kini duduk anggun di depanku ini,"Serta biaya mengugurkan kandungan itu, berikut uang yang bisa kamu gunakan untuk bekal kuliah. Tapi jangan meminta pertangung jawaban sama Bara dan pergilah sampai kamu tak terlihat lagi. Karir anak saya masih bagus, bayi itu hanya akan mengganggunya nanti."

      "Tidak bisa, tante."

       "Kenapa? karena dari awal kamu memang menginginkan Bara, bukan?"

      Aku memberanikan diri untuk terus menatap Tante Ajeng yang wajahnya sudah memerah mungkin karena menahan kesal padaku. Sebab, aku bersikeras menolak tawarannya.

        "Ini bukan soal tangung jawab Bara atau keinginan saya masuk universitas negeri. Lebih dari itu, saya sudah sangat berdosa melakukan ini diluar pernikahan. Akan lebih berdosa jika saya mengunggurkan anak ini, Tante."

        "Omong kosong, itu hanya akal-akalanmu saja supaya bisa menumpang hidup dengan Bara!"

       Hal seperti ini sudah kuprediksi sebelumnya. Aku pasti akan mendapat penolakan dari keluarga Bara, karena sedari awal Bara memperkenalkanku pada keluarganya. Mereka terlihat tak menyukaiku, apa lagi Tante Ajeng -Mamanya Bara- dia menentang keras hubungan kami.
Dengan alasan aku tidak sejajar dengan mereka.

        Yang membuatku sangat kesal dan tak bisa menyembunyikan kekecewaanku adalah, saat setelah aku memberi tahu Bara, dia seperti menghilang tak ada kabar sampai hari ini.
Sekarang justru Mamanya yang menemuiku menawarkan ide gila.

     "Dengar Rindu, kamu hanya punya dua pilihan. Gugurkan kandungan itu dan jangan menemui Bara lagi atau saya akan membuat Mamamu tak akan kembali."

       Aku meremas tali tas yang berada disisi tubuhku, dengan masih memakai seragam sekolah Bakti Nusa, aku menemui tante Ajeng yang mengajakku bertemu di kedai yang tak begitu jauh dari sekolah.
Beliau mengutus satu supir agar menjemput dan membuatku tak lagi bisa menghindar.

       "Jangan lakukan itu, tante. Saya cuma punya Mama," pintaku mengiba.

       "Artinya opsi pertama kamu ambil?" Aku menelan salivaku kasar. Sebab aku bingung apa yang harus kulakukan jika mendapat pertanyaan seperti ini. Aku tidak ingin kehilangan Mama, tapi tak mau juga kehilangan bayi ini.

         Bodoh sekali kamu Rindu! Tidakanmu yang ceroboh itu harus kamu tanggung sendirian, kan?

 
         "Rindu?"

      Aku mengangguk pelan sembari mengelus perutku yang masih datar.

       "I.Iya, Tante. Saya akan pergi dan tidak akan meminta pertangung jawaban dari Bara. Tapi tolong, jangan melakukan apapun terhadap Mama." ucapku gemetar karena menahan diri agar tak menangis dihadapan Tante Ajeng yang sedang tersenyum penuh kemenangan.

         "Nanti kamu akan diantar supir ke klinik aborsi dan ini bekalmu setelah ini."

       Aku menunduk dengan air mata yang semakin sulit kutahan, hatiku remuk redam melihat amplop berwarna coklat yang terletak diatas meja sejak kepergian Tante Ajeng.





Untukmu yang merayakan pergantian tahun dengan perasaan hampa dan kehilangan. Dengar ini, ya.

Senyummu berharga untuk beberapa orang tanpa kamu sadari. Tidak penting alasan apa yang membuatmu enggan sekali membuka hati untuk ikhlas. Tapi yang jelas Tuhan tidak akan menciptakan kebahagiaan dengan instan.
Kamu beberapa kali akan bertemu dengan orang yang salah, sebelum dipertemukan dengan orang yang baik dan mau menerima segala apa yang ada di dirimu.
Menganggap kekuranganmu adalah kepingan yang dia cari untuk mengisi puzzle hatinya, lalu melihatnya sebagai kelebihan.





*Maaf untuk typo.

Love
Rum

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang