A P O L O G Y|45

2.9K 671 63
                                    

Happy reading love...

"Ibuk,"

Aku mengulas senyum tipis karena begitu membuka mata, di hadapanku Shasa menyambutku dengan senyuman hangatnya. Kami saling berhadapan, aku benar-benar baru membuka mata sementara Shasa lebih dulu bangun tapi tidak beranjak dari kasur malah memandangku yang tadi masih tertidur.

Kami berada di hotel, tempat Gendis melangsungkan resepsi semalam.

"Shasa bangun duluan kenapa nggak bangunkan Ibu?" Suaraku purau, malah malas sekali rasanya membuka mata.

"Shasa suka lihat Ibuk bobok, Ibuk cantik."

Aku tidak lagi bisa menyembunyikan tawaku, lalu merentangkan tangan untuk memeluk Shasa.

"Apa Shasa lagi merayu Ibuk karena hari ini ulang tahun?" tanyaku tanpa menghilangkan senyum di wajah.
"Selamat ulang tahun anak baik. Shasa mau minta kado apa dari Ibu, Hm?"

Merasakan gelengan Shasa, aku mengurai pelukan kami dan menatapnya penuh tanya.
"Shasa nggak minta apa-apa. Soalnya udah ada Ibuk, Papa, Bunda dan Yayah. Apa yang Shasa mau, Shasa tinggal bilang saja," jawabnya dengan wajah amat serius.

Entah, aku bahkan hanya bisa diam. sebab, begitu kaget dengan ucapan Shasa ini. Mungkin maksudnya, dia sudah mendapatkan apa yang dia punya dari kami, seperti mainan, makanan dan apapun mudah dia dapatkan.
Hanya saja, aku sungguh tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti ini.

"Ibu mau bilang sesuatu sama Shasa, Shasa mau dengar nggak?"

Begitu Shasa mengangguk, aku kemudian membawanya duduk dan saling berhadapan. Tidak langsung berbicara, aku memilih mengenggam tangan kecilnya sembari kuusap pungung tangannya pelan.

"Shasa sudah besar sekarang, Shasa juga sudah tau betul sebesar apa rasa sayang Ibu dan Bunda, kan?"

Di hadapanku, Shasa mengangguk. Tapi, wajahnya sudah memerah entah karena apa.
"Ibu senang sekali Allah baik dan kasih Shasa buat jadi anaknya Ibu. Tapi, terkadang Ibu juga sedih karena Ibu sering sibuk dan nggak bisa selalu jaga Shasa."

Demi Allah, aku tidak merencanakan akan mengatakan ini selama hidupku. Aku tidak menyangka cukup berani mengakui kesalahanku pada Shasa, "Ibu, Bunda dan Papa serta Yayah harus sibuk kerja. Shasa susah ketemu kami, tapi itu bukan pilihan, Kak."

Shasa tidak menyela sama sekali, tapi dia juga terlihat beberapa kali mengelengkan kepala seakan tidak setuju dengan ucapanku.

"Kami semua kerja untuk kebutuhan kita sehari-hari, untuk sekolah kakak nanti dan untuk bekal semisal kita nanti ada yang sakit. Makanya, Shasa nggak boleh nggak punya cita-cita. Apapun cita-cita Kakak pasti kami dukung, supaya nantinya kalau kakak dewasa, kakak punya tujuan, kenapa kakak harus sekolah dan mengusahakan kesukaan Kakak."

"Iya," jawabnya lirih, kali ini wajahnya kian sendu, "Kan kata Ibuk, kalau Ibuk nggak kerja Shasa juga nggak bisa beli mainan, nggak bisa sharing sama teman."

Aku mengangguk dengan perasaan yang amat bangga pada Puteri kecilku ini.
"Kakak udah mau punya adik, kan? Sebagai kakak nanti harus selalu bisa kasih contoh baik buat adik, nggak boleh mudah marah juga. Karena kalau biasanya Shasa sering sharing makanan sama teman, sekarang harus bisa sharing bunda dan Papa sama adik, ya?"

Kepalanya mengangguk mantap, tapi air mata tiba-tiba lolos dari mata kecilnya. Tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku yakin gadis kecilku tengah menutupi kesedihannya yang entah karena apa.

"Sekarang, Ibu boleh nggak tanya ke Kakak, apa yang kakak nggak suka dari Ibu?"

"Nggak ada, " balas Shasa cepat, "Shasa suka Ibuk. Kalau Ibuk marah pasti Shasa karena nakal."

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang