APOLOGY 3

4.4K 673 16
                                    

       Hal yang susah sekali untuk dikendalikan adalah, perubahan sikap Shasa. Dia memang masih terlalu kecil untuk selalu bisa memahami keadaan kami orang tuanya.
Terkadang dia sangat dewasa, mengerti kenapa kami semua sibuk bekerja, tapi terkadang dia suka merengek, terlebih setelah mendapat ejekan dari temannya yang barang kali berniat bercanda.

       Lain kali aku akan mencoba menjelaskan dengan cara lain jika dia tidak bisa menerima penjelasanku sekarang. 

       "Shasa tunggu Bunda dan Papa di depan, ya, Ibuk. Shasa sambil mewarnai."

       Aku mengangguk seraya tersenyum pada Shasa ketika dia hendak menunggu Bundanya datang setelah aku mengatakan jika Mbak Hani akan kesini mengantarkan guling yang tidak bisa terpisah darinya saat tidur di malam hari. Guling berbentuk gajah, yang sebenarnya sudah rusak tapi tidak bisa kami buang. Pernah sekali, kami lupa membawa guling itu ketika menginap di Surabaya. Alhasil Shasa tak bisa tidur dan hanya menangis semalaman mencari gulingnya.

       "Shasa bisa bawa tasnya sendiri?"

       "Bisa!" jawabnya yakin.

        "Hati-hati, Sha. Bilang kalau butuh bantuan Ibu, ya."

       "Iya, Ibuk."

      Setelah punggungnya tak lagi terlihat dibalik pintu kamar, aku kembali sibuk berkutat dengan daging yang hendak kumasak.
Mas Tama dan Mbak Hani suka sekali sup daging dengan sambal cabe hijau yang biasa kumasak jika kami sedang berkumpul. Aku berencana membuatnya lagi sewaktu Mbak Hani mengatakan akan datang, kebetulan aku masih punya stock daging segar.

     Beberapa menit kemudian, suara gelak tawa Shasa membuatku menduga kalau Mbak Hani dan Mas Tama sudah datang.
Benar saja, ketika aku menyusulnya kedepan, Shasa tengah berada digendongan Mas Tama sembari tergelak karena digelitiki Papanya. Sementara Mbak Hani mengeluarkan barang dari bagasi mobil.

      "Papa, geli." tanpa sadar senyumku tercetak tipis melihat interaksi Shasa dan Mas Tama.

     "Bunda, Papa nakal." adunya ketika Mbak Hani berjalan ke arah kami sembari membawa satu kantong plastik dan satu paper bag yang lumayan besar.

     "Sudah, Papa. Shasanya jadi nggak doyan makan nanti." ucap Mbak Hani memperingatkan Mas Tama.

     Shasa masih tergelak, malahan kini Mas Tama juga ikut tertawa saat Shasa mengigit pipi Mas Tama gemas.

       "Mbak bawa apa?" tanyaku setelah membantu Mbak Hani mengambil alih plastik yang dia bawa.

      "Oleh-oleh dari Mas Tama. Besok bawa ke sanggar, ya. Bagi ke yang lain, ya. Mas Tama dapat baju Bali banyak banget dari tamannya."

     Melihat besarnya plastik yang Mbak Hani Bawa, aku yakin jika isinya lebih dari selusin, "Mas Tama beli, Mbak?"

       "Enggak, temannya ada usaha konveksi gitu di sana. Pas pulang malah dibawain segini banyak," jawab Mbak Hani, "Ini orang cateringku udah kebagian semua, Dek."

       "Sebanyak itu?"

         Mbak Hani mengangguk, kemudian bibirnya membentuk garis lurus, "Hampir tiga lusin,"

        Mendengar jawaban Mbak Hani aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, "Gratis?" beoku tanpa sadar dan membuat Mbak Hani mengangguk singkat, "jadi dulu usahanya sempat bangkrut, dibantu Mas Tama dia mulai bangkit dan sekarang dia punya lima distro di Bali."

Oh, Pantas saja dia sebaik itu pada Mas Tama.

       Selesai meletakan bawaan Mbak Hani, aku kembali berkutat dengan masakan. Kini dengan bantuan Mbak Hani, sementara Shasa sepertinya melanjutkan mengambarnya dengan ditemani Mas Tama. "Oh, Iya, Dek. Kata Mami besok sehabis antar Shasa sekolah, kamu disuruh ke rumah. Mami mau alihin beberapa kerjaan ke kamu karena  Papi ngajak Mami pulang akhir bulan ini."

       "Pulang ke Riyadh atau Jerman, Mbak?"

      "Riyadh, semua keluarga Papi sudah pindah kesana setelah grandpa meninggal. Belakangan ini Papi mimpiin adiknya yang lagi sakit di sana. Papi nggak tenang banget kayaknya"

      Sejujurnya aku tidak tahu banyak tentang silsilah keluarga Papi. Selain katanya Papi adalah warga negara Jerman tapi Ibunya berdarah Saudi. Yang kutahu semenjak Papi mengajukan pensiun sebagai pilot, Beliau memutuskan menetap di Jogja dan jarang sekali kembali ke Jerman.

       Lucunya, sekarang  menantu dan anaknya mengikuti jejak papi bekerja dibidang maskapai penerbangan. Sedang Mbak Hani, dia memiliki usaha catering dan restoran.
Jadilah tidak ada yang meneruskan usaha Mami padahal usaha sanggar dan WO Mami memiliki nama besar dan legendaris.

       Dua tahun yang lalu, Mami menyerahkan sanggar padaku, sesekali beliau mengambil tawaran jika acara tersebut berbarengan dengan kerjaan yang kuambil di luar kota. Selain itu alasan kesehatan Mami membuat Beliau tak lagi bisa turut serta mengawasi dan memimpin sanggar lagi seperti dulu.
Lima tahun ini aku belajar banyak dari Mami tentang adat, make up dan segala hal yang berkaitan dengan acara wedding.

      ***

              Seperti yang sudah dipesan pada Mbak Hani. Pagi harinya setelah mengantar Shasa ke sekolah, aku langsung memutar kemudi menuju rumah Mami. Benar saja, Mami menyerahkan satu pekerjaan yang katanya adalah acara pernikahan anak sahabatnya, --Tante Tria.

        "Foto prewedding dulu, Rin. setelah itu acara pengajian, siraman dan midodareni mulai tanggal lima, ijab kabul tanggal enam jam sembilan pagi di rumah tante Tria. Tanggal tujuh dari jam sepuluh siang sampai jam sembilan malam, resepsi dibagi dua sesi," kata Mami menjelaskan rentetan acara yang harus ku handle tersebut, "anaknya ini reporter TV sembilan. Dulu dia teman main Lucas, tapi Mami lupa namanya siapa."

          Aku melihat jadwalku ditanggal tersebut, kemudian napasku terhembus pelan membaca deretan jadwal yang sudah tersusun sampai awal bulan ini, "Aku dan tim Mas Arman baru selesai resepsi di Sleman tanggal tiga malam, Mi. Artinya aku harus pakai tim Mas Aris buat handle acara midodareni sampai ijab kabul."

         "Tenang aja, Mami udah bicara sama Aris tentang ini. Selesai bongkar yang di Sleman, nanti tim Arman persiapan untuk resepsi di hotel."

       Jujur ini pasti sangat menyulitkan, sebab, aku benar-benar tak diberi waktu jeda. Tetapi aku juga tak ingin mengecewakan Mami, terlebih ini adalah acara sahabatanya. Seperti kebaikan Mami, aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk sanggar dan Mami tentu saja.

        Sore hari setelah mengantar Shasa pulang ke rumah Mbak Hani, aku kembali ke kantor. Aku ada janji dengan salah satu desainer untuk memesan beberapa kebaya ijab kobul karena koleksi kami akan berganti setiap tiga bulan sekali.

       Sampai kemudian dering ponsel membuatku mengalihkan pandang dari tumpukan kertas desain tertuju pada layar ponsel yang masih berdering.

       “Assalamualaikum, Mas."

       "Wallaikumsalam, kamu dimana, Sayang? Rumahmu masih gelap."

       Dahiku mengeryit, kemudian aku meletakkan gambar yang tengah kupegang bersama tumpukan yang lain. Sedikit kebingungan apa yang sedang dilakukan Mas Lucas di sana tanpa memberitahuku lebih dulu.

       “Di kantor, Mas. Ngapain Mas di sana?"

       “Di kantor?"

        Aku mengangguk, padahal Mas Lucas tidak akan tahu jawabnku.

        "Rin, jangan bilang kamu lupa dengan janji kita, ya?"

       Rasanya dahiku kian mengeryit tebal mendengar ucapan Mas Lucas barusan, "Rin, kita udah sepakat malam ini pergi, loh."

Astaga, bagaimana aku bisa melupakan janjiku pada Mas Lucas?






*Maaf untuk typo, di revisi besok, ya. Ngatuk aku tuh.

Love
Rum

       

      

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang