A P O L O G Y| 20

3.8K 721 63
                                    

"Sha?"

Tidak ada jawaban apapun dari Shasa, tangannya masih memelukku erat. Meski tidak lagi menangis, tapi napasnya masih sedikit tersengal.

Aku tahu dia sedang menahan marah pada Bara yang belum sepenuhnya tuntas. Terlebih selama ini kami selalu menjauhkan Shasa dari hal apapun yang berbau kekerasan maupun ucapan kasar. Di depan Shasa, keluarga Mas Mbak Hani sangat hangat. Mungkin itu yang membuatnya kaget dan trauma sekali melihat perkelahian.

Saat terakhir ketemu dengan Bara, dia memintaku untuk memberitahu jika dia ayah kandungnya. Aku menyanggupi, hanya saja aku meminta waktu mengingat Shasa belum bisa melupakan kejadian itu.

Kepada Mbak Hani dia juga meminta maaf atas kekacauan tersebut, dan berjanji tidak akan memaksa Shasa untuk menerimanya dalam waktu dekat.

"Shasa, Ibu tahu Shasa sedang marah dan takut. Tapi Shasa tolong dengarkan Ibu, ya?"

Sembari mengusap punggungnya, aku berusaha untuk merangkai kata yang baik dan mudah diterima oleh Shasa.
"Memukul atau melukai orang lain itu nggak boleh. Bunda dan Papa sering ajarkan Shasa begini, kan?"

“Iya," jawab Shasa lirih.

"Tapi, menyimpan marah di hati lebih dari tiga hari, itu juga nggak boleh. Allah nanti marah, terus hati Shasa jadi nggak tenang."

Mudah sekali memang perihal menasehati, karena pada dasarnya manusia memiliki sisi ego yang membuatnya tidak mudah menerima kesalahan orang lain dan ikhlas memaafkan semudah itu.

"Shasa nggak marah," Kini Shasa melepas pelukan kami, dia sedikit mengeser badannya ke belakang untuk melihatku. Aku cukup kaget dengan wajah Shasa yang memerah dan matanya sembab sekali karena terlalu banyak menangis.

"Shasa cuma nggak suka, Shasa takut dekat-dekat Om jahat."

Mencoba mengerti, aku memilih tersenyum, lalu menghapus pipi Shasa, karena ketika dia berkedip, Setetes air matanya kembali jatuh.

"Kalau gitu, besok kalau ketemu Ayah, kasih tahu dia, nggak boleh pukul-pukul kalau lagi marah. Ibu yakin Ayahnya Shasa pasti dengarkan nasehat Shasa," ucapku sembari membawa Shasa kembali ke pelukanku, "karena Shasa anak baik."

Tak lama setelah mengatakan itu, Shasa tersenyum dan mengangguk.

"Ibuk?"

"Ya?"

"Yayah kerjanya jauh, ya?"

"Kerjanya nggak pasti tempatnya, kadang pindah-pindah," jawabku sekenanya.

"Naik pesawat, Ibuk?"

"Hm," di dalam pelukanku, tangan Shasa tidak berhenti memainkan rambut, sementara aku juga tidak berhenti mengusap punggungnya, agar dia tidur.

Sayangnya, meski aku memintanya untuk segera tidur, dia terus saja bertanya tanpa henti.

"Ibuk, kenapa Yayah nggak pernah pulang ke sini?"

Ya Allah ini apa lagi?

Keingintauan Shasa sepertinya sudah terlanjur kuat, dia kini malah mengurai pelukan kami, lalu menatapku ingin tahu.

"Ayah rumahnya di Jakarta. Ibu di sini, jadi Ayah pulangnya ke sana."

"Nggak bisa sama-sama?" tanya Shasa semakin penasaran.
Aku sampai bingung hendak merespon apa. Rasanya ini lebih mendebarkan dibandingkan sidang kelulusan.

Tidak bisa, Sha. Ayahmu sudah akan menikah dengan perempuan pilihan mamanya.

Tapi tentu aku tidak bisa menjawab seperti itu. Aku hanya menjawab pertanyaan Shasa dengan gelengan sembari tersenyum kecil.

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang