A P O L O G Y|12

4.1K 682 86
                                    

"Sakit?"

Pertanyaan itu yang pertama kali muncul saat Bara menjauhkan kapasnya dari sisi wajahku. Sementara aku memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tidak perlu membalas tatapan Bara.

"Maafkan Mama."

Aku yang tadinya mengalihkan pandangan ke arah lain, langsung menoleh pada Bara dengan tatapan bingung, "Maaf untuk yang mana?"

"Tadi Mama menamparmu itu yang kutahu, tapi aku yakin sebelum itu dia sudah mengatakan banyak hal yang menyakitimu."

Tanpa sadar aku tersenyum miring, kenangan yang dulu pernah sama-sama kita lewati akhirnya seperti kaset yang terputar ulang. Dihina bukan hal mengagetkan lagi bagiku, terlebih yang melakukannya adalah Tante Ajeng.

"Tidak perlu meminta maaf, sudah banyak hal yang lebih menyakitkan dari pada ini. Aku yakin kamu juga tidak lupa dengan hal itu. Mamamu berulang kali menghinaku, ibu dan Ayah, bukan? Aku sudah menganggap itu bukan hal penting lagi."

"Jangan bicara seakan Mama adalah orang yang paling buruk, apa kamu lupa? Uang yang di kasih Mama ke kamu cukup besar. Kamu nuduh Mama perempuan tidak berperasaan sedangkan kamu lebih dari itu. Setidaknya, Mama tidak pernah berniat membunuh anaknya!" ucap Bara dengan wajah merah seperti tengah memendam amarahnya. Aku bahkan kaget karena nada bicaranya yang keras dan membentak padaku.

Gigiku rasanya semakin ngilu karena aku terlalu keras mengertakannya.
Tapi tidak, aku tidak boleh terpancing. Dan, sebelum amarahku kian tidak lagi bisa dikuasai aku berpikir untuk pergi saja.

"Buka pintunya!" ucapku sambil mengalihkan pandangan keluar.

Setelah beberapa detik tak ada jawaban, amarahku rasanya kian susah kukendalikan, "Kamu tuli? Buka kuncinya?"

Tak sampai dua detik suara kunci mobil terbuka, tanpa menunggu waktu lama, aku segera membuka pintu untuk keluar dan menutupnya dengan cukup keras.

Hubungan kami sudah berantakan, hancur dan aku tidak lagi ingin mengingatnya. Sebab, mengingat Bara dan keluarganya hanya akan membuatku terpuruk dan terus menerus merasa Shasa adalah kesalahan. Padahal letak kesalahannya bukan ada pada Shasa melainkan pada diriku seniri yang tidak bisa mengendalikan nafsu sesaatku. Nafsu yang membuatku merasa jika aku adalah serendah-rendahnya seorang perempuan dan Ibu.

Saat aku mulai kembali ke bagian Hall hotel, Mas Lucas sudah menungguku sembari membawa tas yang kutinggalkan tadi. Beberapa tamu sudah mulai pamit bahkan hotel sudah sepi hanya tinggal beberapa orang, sehingga aku hanya menunggu waktu untuk menemani Mas Ardi dan timnya selesai membongkar dekorasi karena besok hotel akan beroperasi seperti biasa.

Aku berusaha menampilkan wajah baik-baik saja ketika langkahku sudah mulai dekat dengan Mas Lucas dan Mas Ardi, tidak terlalu sulit bagiku karena perihal berpura-pura tentu aku sudah ahli.

"Sudah ketemu Riska?" 

Aku mengangguk seadanya menanggapi pertanyaan Mas Lucas, kurasa itu lebih baik dari pada aku jujur dan mengatakan sekarang jika Ayah kandung Shasalah yang menemuiku. Sebab, aku tidak yakin Mas Lucas akan diam saja jika tahu jika lelaki yang melukaiku dulu serarang berada di sekitar kami.

Sayangnya, anggukan yang kuberikan justru membawa masalah lain. Karena suara Riska yang muncul entah dari mana membuat Mas Lucas seketika menoleh padaku dengan dahi mengeryit.

"Mbak Rindu! ih, aku cariin ke atas nggak ada, ternyata di sini."

"Tadi aku cari kamu ke parkiran, ponselmu juga nggak bisa dihubungi."

"Habis baterai, Mbak," jawabnya dengan wajah lelah. Aku langsung memberinya kunci mobilku karena tak tega, dia butuh istirahat. Biasanya jika selesai acara aku akan memberikan mereka jatah libur satu atau dua hari.

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang