APOLOGY 9

3.7K 721 85
                                    

Terima kasih sudah berkenan ramein part 8. Sayang kalian banyak-banyak. Dan, maaf karena baru sempat update jam segini.

Yang nunggu novel Flower, sabar sedikit lagi, ya. Besok baru akan mulai dipacking, selamat membaca dan terima kasih sudah menjadi bagian dari Flower.



Happy reading.

Sepanjang kami dekat dulu, yang ku ingat ucapan Tante Ajeng kurang menyukaiku karena status keluarga kami yang berbeda jauh.
Berkali-kali Bara mencoba membuat kami dekat dan saling menerima, Tapi, Tante Ajeng tidak pernah mau melakukannya. Aku sadar, jika percuma saja kita berupaya menjaga hubungan jika restu dari keluarga kami saja tidak kami dapatkan.

Waktu itu umur kami masih sangat muda, aku tidak terlalu mengambil pusing hal itu. Bahkan berulang kali aku meminta kami putus, tapi Bara selalu bersikeras menolak. Hidup Bara tidak sebebas remaja pada umumnya, itu yang kutahu.
Di manapun Bara pergi, dia harus meminta ijin manager dan harus dengan pengawasannya. Jadilah kami memanfaatkan Alana jika ingin bertemu di luar dan Alana tidak pernah keberatan untuk itu.

"Mbak, ucapan Tante Ajeng tadi jangan diambil hati," pergerakan ku yang tengah memakaikan kain jarik Alana di kamar mendadak berhenti. Sebab sedari tadi dia hanya diam dan aku juga bingung mau bicara apa.
"Tante Ajeng kan memang begitu, Mbak."

Aku berusaha tersenyum saat pandangan kami bertemu dalam jarak yang begitu dekat.

"Aku enggak apa-apa, kok, Al.“ balasku tanpa menghilangkan senyum, "Al, aku tahu kamu juga kecewa sama apa yang sudah kulakukan dulu. Tapi kalau boleh aku memohon, tolong dengarkan aku."

Bersamaan saat aku memakaikan kebaya berwarna putih untuk di pakai Alana sungkem, aku memegang  kedua lengannya agar fokusnya tertuju padaku, "Hari ini adalah hari bahagia kamu, Al. Meski kamu sangat membenciku sekarang, tapi tolong hilangkan rasa itu sebentar saja, karena kecantikanmu akan terpancar dari apa yang kamu rasakan sekarang."

Yang membuatku tak menyangka, Alana justru berubah sendu, matanya berair bahkan siap menumpahkan air matanya, kemudian membawaku ke dalam pelukannya. Menerima hal ini membuatku tidak bisa lagi menahan keterkejutan, tapi perlahan aku membalas pelukannya, setidaknya biar dia tenang.

"Susah banget buat marah sama Mbak Rindu," akunya sembari mengencangkan pelukan kami, “Kak Bara sangat terpuruk dulu. Dia kehilangan Mba Rindu."

Bara, kehilanganku?

Apa tidak salah?

Sebab semenjak aku meninggalkan Jakarta, Bara tidak pernah mencariku sama sekali.

"Sekarang, aku enggak suka sama pacar Kak Bara."

Saat Alana menyebutkan kata 'pacar'
Seperti ada yang mencubit hatiku.
"Alana enggak suka, tapi mereka akan menikah sebentar lagi."

Kali ini usapan tanganku di punggung Alana terhenti. Kabar ini bukan kabar pertama yang kudengar, bahkan berita online sudah banyak yang memberitakan rencana pernikahan Bara dan kekasihnya. Hanya saja aku merasa tidak terlalu menyukai ini, karena Alana yang mengucapkannya secara langsung "Al, setiap orang punya masalalu, aku dan Bara pernah sama-sama diposisi itu. Dan, untuk beberapa hal, kalau memang tidak bisa bersama, apapun yang kita upayakan tidak akan terjadi."

Benar bukan? Perkara jodoh itu bukan hanya kehendak kita. Lagi pula, aku sudah mengikhlaskan itu sejak lama. Aku tidak butuh apa-apa selain Shasa.

***

Prosesi sungkem dan midodareni sudah selesai pukul delapan malam. Beberapa kali aku sempat bertemu dengan Tante Ajeng, tapi aku sama sekali tidak mau menyapanya, begitu juga dengan beliau.
Kami saling tak acuh meskipun beberapa kali aku merasa tengah diawasinya.

Selesai prosesi tersebut, dekorasi kembali di ubah untuk acara ijab kabul. Aku menyarankan Alana agar tidur cukup karena besok acara akan padat Sampai malam.

Pukul sebelas malam, aku memutuskan untuk langsung ke hotel. Tempat resepsi pernikahan Alana besok pagi hingga malam. Meski sudah ada Mas Ardi tapi aku juga perlu mendampingi mereka saat gladi resik.

Hotel yang akan dipakai resepsi sudah di sterilisasi dari pengunjung. Hall dan kamar hotel juga sudah di kosongkan dan berencana menjadi tempat para tamu yang dari Jakarta serta kota lain menginap, terlebih ini akhir pekan. Mereka diberikan fasilitas liburan dan sudah di sediakan mobil untuk keliling Jogja sampai hari Minggu.

Wajar saja, hotel yang berada di pusat kota Jogja ini adalah hotel milik keluarga Andreas.

" Delapan puluh persen, Rin. Tinggal tempat prasmanan dan bikin panggung."

"Catering, Mas Ardi janjian sama Mbak Hani, ya. Mbak Hani selesai salat subuh akan kesini."

"Tenang, Rin. Mending kamu istirahat, kamu kurang tidur dari kemarin. Besok subuh sudah mulai lagi, kan?"

Aku mengangguk setuju, karena persiapan sudah nyaris rampung. Aku akhirnya mengambil kartu untuk menuju ke salah satu kamar hotel yang sudah disiapkan.

Mungkin tidur dua jam cukup mengembalikan energiku besok.

***

"Al, semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku."

Aku mencoba menenangkan Alana yang terlihat gusar menjelang menit-menit ijab kabul. Dia benar-benar gugup dan aku memaklumi itu.

Terlepas dari itu, Alana tampak cantik dengan kebaya berwarna putih serta bawahan jarik sidamukti solo yang membuatnya kian berbeda. Sebab, selama ini aku tidak pernah melihat perempuan cantik berdarah Indonesia-Amerika mengenakan sanggul dan kebaya lengkap.

Dari layar TV yang terpasang di kamar, terlihat Andreas sedang duduk di antara keluarga dan penghulu.

Saat Andreas menjabat tangan sang penghulu, Alana sudah terlihat hampir menangis, serta tangannya tidak melepas gandenganku.

Dengan sekali tarikan napas, Andreas sudah melafalkan ijab dengan lancar. Bahkan ketika suara saksi mengatakan kata "SAH!" Secara serentak, dadaku ikut bergetar.

"Ayo keluar, Al." Bisiku pada Alana, kemudian dia berdiri dan kutuntun untuk keluar.

"Pelan-pelan" bisikku sembari mengandeng lengannya.

"Deg-degan, Mbak, Mi." Tante Liana yang berada disisi kanan Alana ikut tersenyum, "kamu cantik banget, jadi jangan rusak kecantikan mu ini dengan tangisan, ya. Sudah sah sekarang."

Aku tak bisa menahan senyumku mendengar ucapan Tante Liana. Sampai kemudian kita melewati beberapa tamu dan kerabat yang menjadi saksi, mataku terkunci pada sosok mata kelam yang menatapku tajam dengan rahang terkatup rapat.

Dia tampak berbeda dengan setelan kemeja berwarna putih cream dengan paduan sedikit batik di bajunya.

Senyumku perlahan memudar, berganti dengan perasaan aneh yang tak kusukai. Sebab di sampingnya duduk perempuan dengan baju yang bermotif sama hanya dia bermodel dress pendek.

Secepat mungkin aku menghindari tatapannya dan fokus pada Alana yang sudah mengambil posisi duduk di samping Andreas.

Saat mereka tengah melakukan prosesi tukar cincin, aku memilih sedikit mundur, untuk memberikan mereka waktu berfoto dan melanjutkan menandatangani berkas.

Namun, sebuah bisikan dari belakang membuatku kian merasa jika aku sudah salah memilih tempat.
"Yang di samping Bara itu calon istrinya, kamu lihat kan seberapa sempurnanya dia jika dibandingkan kamu?"

Entah kenapa pandanganku malah teralih pada mereka yang kini duduk tepat di seberangku, "Jadi jangan berharap Bara akan tertarik padamu lagi," Sambung Tante Ajeng sembari terkekeh pelan, "Karena selain kamu kalah dalam penampilan dan karier, Bara tidak akan menyukaimu karena dibandingkan membuktikan perasaanmu, kamu lebih memilih mengugurkan kandungan itu."

"Kamu tidak akan pernah menjadi sebagian dari keluarga Nugraha, Rindu."




*Maaf untuk typo

Love
Rum

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang