"Mas, maaf."
"Hm,"
"Aku beneran lupa tadi, padahal jam tiga aku dari rumah antar Shasa pulang."
Mas Lucas menoleh sebentar kearahku tanpa menjawab apapun, kemudian kembali fokus pada jalanan. Setelah aku mengatakan jika aku masih di kantor, Mas Lucas langsung berkata hendak menyusulku.
"Kamu kalau udah kerja suka lupa sama waktu. Aku marah bukan karena kamu lupa sama janji kita. Tapi kata Riska kerjaanmu banyak hari ini, padahal besok kamu mau ke Surabaya," ucap Mas Lucas tanpa menoleh padaku, "kamu butuh istirahat, Rin. Nggak semua tawaran harus diiyakan tanpa memilah mana yang paling penting dan yang kamu sanggupi."
"Besok aku cuma nemuin calon customer, Mas."
"Tapi nyetir sendiri, kan?" pertanyaan Mas Lucas sukses membuatku mengatupkan bibir, sebab dia benar.
Aku sudah sangat bisa menebak reaksinya sebenarnya, dia akan sangat marah kalau aku sampai lupa waktu ketika bekerja, sama seperti seseorang.Aku mendengus sinis, untuk apa juga aku mengingatnya?
"Besok aku yang nyetir, kita sekalian ajak Shasa jalan-jalan." mendengar usulan Mas Lucas aku langsung menoleh dengan perasaan terkejut yang tak bisa kusembunyikan,"kan Shasa sekolah, Mas," sahutku kemudian, "lagipula Mas Lucas libur, capek nanti nyetir pulang pergi Surabaya-Jogja."
"Kita bisa ambil penginapan di sana kalau sekiranya capek," jawab Mas Lucas kemudian, "bulan-bulan ini kamu bakalan sibuk, kan? nggak ada salahnya kita sempetin liburan dulu sama Shasa, Rin."
Tidak ada yang salah juga dengan usulan Mas Lucas, karena memang sebulan ini banyak wedding yang harus kutangani, terlebih tambahan satu jadwal dari Mami yang ternyata membutuhkan waktu yang lumayan menyita.
"Baiklah, nanti aku ijin sama pihak sekolahnya Shasa."
***
Sebenarnya hubunganku dengan Mas Lucas memang dekat.
Aku tidak mau menyebutnya pacar karena rasanya melihat masalaluku, aku selalu merasa ketakutan untuk memulai hubungan. Terlebih dengan statusku sekarang yang pasti akan membuat banyak orang melihatku rendah. Meski sejauh ini aku merasa tak ada penolakan sedikitpun dari keluarga besarnya.
Barang kali itu yang membuatku nyaman berada di Jogja.Dulu di Jakarta aku tak punya siapa-siapa kecuali Bara.
Itupun aku jarang diajak kumpul dengan keluarganya karena nyaris semua keluarganya tidak menyukaiku. Dia tahu aku tak akan nyaman kumpul dengan keluarga besarnya. Sehingga ketika kami sama-sama bosan, kami hanya habiskan waktu di rumahku.
Nonton Tv, main game dan masak, karena disisa kesibukan kami, yang sama-sama kami butuhkan adalah istirahat. Sesekali aku diajak Bara berkumpul dengan temannya di tempat yang cukup aman. Salah satunya kedai milik Juni yang menjadi pilihan, itupun kami harus datang malam setelah kedai tutup. Alasannya tentu mengindari kecurigaan orang lain.Oh, No. Ini kenapa aku jadi menginggatnya lagi?
Kenapa aku suka sekali membandingkan Mas Lucas dengan Bara. Padahal jelas dari segi apapun Mas Lucas mempunyai semua yang kuinginkan. Aku selalu menginginkan keluarga dan lingkungan yang bisa menerimaku. Dan, dari keluarga Mas Lucas pula aku bisa mendapatkan itu.
"Rin, ayo dong makannya yang banyak" ucapan tante Diah kujawab dengan anggukan sopan.
Kalau dipikir Mas Lucas membawaku dinner di luar, kalian salah. Dinner ala-ala kami ya pasti makan bersama keluarga atau minimal ada Shasa yang kami ajak. Seperti sekarang, kami tengah makan malam bersama tante Diah yang merayakan ulang tahun anak keduanya yang ke delapan tahun. Tidak ada pesta meriah, kami hanya akan makan bersana-sama seperti pertama kali aku masuk dalam lingkup keluarga Mas Lucas.
KAMU SEDANG MEMBACA
APOLOGY [TERBIT]
ChickLit[Selesai, beberapa part sudah di unpublish] Kata Maaf rasanya tidak lagi akan cukup -Bobby A.k.a Barra- Rank 1 in #chicklit 11 maret 2021