"Ibuk?"
"Ya?"
"Ibuk, sakit?"
Kepalaku mengeleng sembari membelai kepala Shasa. Kami tengah tidur berhadapan kemudian saling pandang dalam jarak yang begitu dekat. Hanya Shasa yang membuat kemarahan dan kekhawatiranku mereda.
Tadi, aku meminta Mas Lucas mengantarkan Shasa ke kamar yang disediakan pihak hotel untukku dan tim perias. Selagi mereka di bawah, aku memilih tidur di sini agar tidak bertemu dengan Bara dan Tante Ajeng lagi. Terlebih di sini ada Shasa.
Aku takut, takut jika Tante Ajeng mengetahui kalau sebenarnya Shasa masih hidup lalu melukai gadis kecilku.
Tante Ajeng sangat membenciku, aku tidak ingin Shasa mendapatkan imbas dari kesalahanku dan Bara dulu.
Tempat ini sangat berbahaya untuk Shasa sekarang, dan aku hanya berpikir bagaimana caranya keluar tanpa terlihat oleh siapapun. Karena aku tidak bisa memperkirakan sedang di mana mereka sekarang, sedangkan aku tidak bisa mengandalkan siapapun untuk melindungi kami. Untuk acara, aku sudah menyerahkan semua pada Riska dan Mbak Dian.
Aku meminta bantuan mereka untuk menunggu acara resepsi selesai karena sungguh aku tidak ingin turun sekarang."Ibuk sakit, Iya?" saat Shasa mengulangi pertanyaannya, aku sadar jika sedari tadi aku hanya melamun.
"Enggak, Ibu sehat, kok. Kenapa Shasa tanya gitu?"
Bibir kecil Shasa cemberut, lalu tanpa kuduga, tangan kecil yang sedari tadi memelukku, berpindah membelai pipiku.
"Kata Bunda, Ibuk cepek, jadi harus ketemu Shasa. Makanya tadi Shasa minta ikut Papa ke sini."Bagaimana aku tidak menyayangi puteriku jika dalam beberapa hal dia seperti punya magic yang bisa membuat hatiku berubah-ubah, "terima kasih, Shasa udah bikin Ibu enggak capek lagi," ucapku tanpa berhenti membelai kepalanya, "Soalnya cuma ketemu Shasa Ibu jadi enggak capek lagi."
"Shasa juga senang ketemu Ibuk. Shasa suka sedih kalau Ibuk enggak ketemu Shasa lama-lama."
Bibirku tanpa sadar tersenyum kian lebar, "kan, ada bunda, Sha. Kalau Ibu kerja, Shasa sama bunda juga boboknya."
"Iya, Shasa juga suka sama bunda lama-lama. Tapi bunda juga kerja, pulangnya pas Shasa sudah bobok. Jadi, Shasa sedikit ketemu Bunda."
"Maksud Shasa ketemu Bundanya sebentar?" aku mengoreksi ucapan Shasa, yang dijawab anggukan oleh Shasa.
"Tapi, enggak apa-apa, Ibuk. Shasa sudah jelasin ke Deren, kalau Ibuk, bunda dan papa-papa kerja supaya Shasa bisa jadi kayak Papa, pintar terbangin pesawat. Shasa juga bilang, kalau Ibuk, bunda dan Papa kerja biar bisa beliin Shasa lolipop banyak-banyak biar bisa dibagi ke teman-teman."
Ini salah satu kebiasaan Shasa, dia suka sekali beli lolipop atau terkadang snack bar banyak untuk dibagikan ke teman sekelasnya. Kami tidak mengajari itu secara langsung, tapi karena pernah suatu hari ada temannya yang menangis lalu Shasa kasih lolipop temannya tersebut menjadi diam dan tidak menangis lagi, jadilah dia selalu membeli lolipop banyak untuk dibagi-bagi. Kami tidak melarang, justru kami membantunya untuk membeli apa kemauannya agar sifat pengasihnya tidak pernah hilang.
Terkadang, kita tidak hanya perlu memaknai hidup dari orang dewasa, bukan? pelajaran bisa kita ambil dari manapun termasuk dari cara membahagiakan orang lain versi anak-anak.
***
Beberapa jam kemudian aku menelpon Mas Tama agar menjemput Shasa di kamar. Setelah sekian lama aku berpikir mungkin lebih baik, aku tidak keluar bersama Shasa. Barang kali jika kami berpisah saat keluar tidak akan membuat mereka curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
APOLOGY [TERBIT]
ChickLit[Selesai, beberapa part sudah di unpublish] Kata Maaf rasanya tidak lagi akan cukup -Bobby A.k.a Barra- Rank 1 in #chicklit 11 maret 2021