A P O L O G Y 31

3K 741 93
                                    

Dikasih doubel update, tolong jangan lewatin vote chapter 29, ya.

"Jadi menurut mereka, kontrak ibu udah habis dari tujuh tahun lalu, tapi akhirnya diperpanjang karena butuh uang untuk biaya kuliah kamu, tapi ini di tempat yang berbeda," terang Mas Tama kemudian.

Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Tujuh tahun lalu, artinya saat itu aku sedang kelas tiga SMA. Ibu tahu sekali jika aku ingin kuliah di universitas negeri, tapi misalnya tidak lulus jalur SNMPTN aku akan menempuh jalur mandiri dan Ibu berpesan aku harus berhasil.
Nyatanya, aku justru hamil di luar nikah dan Ibu tiba-tiba tidak ada kabar.

"Kalau nggak salah tempat ini nggak jauh dari rumah adiknya Papi. Cuma Mas belum bisa lanjut karena masa libur Mas tinggal tiga hari, Hani udah nyuruhin pulang."

Aku mengeleng dengan senyum yang nggak bisa kututupi lagi, "dengan Mas sudah simpan alamat Ibu, ini lebih cukup. Apa lagi Mas simpan nomer temen ibu di sana, aku jadi tahu mesti kemana sekarang."

Mas Tama mengangguk, kemudian menyerahkan alamat yang dia dapatkan dari pencariannya.

"Jangan ke sana sendiri, tunggu Lucas libur lagi atau kamu ajak anak sanggar."

Kali ini aku mengangguk dengan senyum kian lebar, jika dari dulu aku berani jujur pada mereka pasti masalah akan selesai sejak lama.

"Mami kan mau pulang, Rin. Sama Lucas aja sekalian jemput Mami di Riyadh. Nanti aku hubungi Mami biar tunggu kalian aja." Usul Mbak Hani ketika datang menyusul kami ke ruang keluarga.

Mbak Hani membawa dua gelas teh dan beberapa cemilan. Nampaknya kehamilan Mbak Hani tidak membuatnya berubah, dia masih suka memasak dan sepertinya tidak berpengaruh dengan nafsu makannya sepertiku dulu.

"Mas Lucas kan baru masuk kerja lagi, Mbak. Mesti nunggu beberapa Minggu lagi."

Begitu Mbak Hani duduk di samping Mas Tama, aku turut tersenyum melihat bagaimana Mas Tama tidak berhenti mengelus perut Mbak Hani yang masih datar. Kelihatan sekali jika Mas Tama bahagia sekali dengan kehamilan Mbak Hani ini.

Parasaan yang harusnya juga kurasakan sewaktu mengandung Shasa. Sayangnya tidak ada perasaan lain selain tertekan atas apa yang terjadi. Aku sering kali mengutuk diriku sendiri bahkan ketika Shasa sudah lahir.

***

Riyadh,
Tiga Minggu kemudian.

Bersama Mas Lucas, kami menyusuri sebuah alamat yang di berikan oleh Mas Tama. Perjalanan Jakarta-Riyadh hampir empat belas jam, tidak membuat Mas Lucas memilih untuk istirahat karena dia tahu betul aku sudah sangat gugup ingin segera bertemu Ibu.

Kami hanya menyempatkan makan sebentar di resto yang tidak jauh dari Bandara, kemudian meneruskan perjalanan kambali.

Jarak antara Bandara dan tempat tujuhan kami hampir menghabiskan waktu sekitar satu jam. Begitu kami berhenti di sebuah rumah dua lantai berwarna merah bata, Mas Lucas mengajakku keluar.

Aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku yang kian parah, telapak tanganku rasanya kian dingin padahal Mas Lucas sama sekali tidak melepaskan genggamannya.

Kami sudah tidak bertemu cukup lama, hampir dua belas tahun, bagaimana Ibu sekarang tentu tidak lagi bisa kubayangkan.

"Nggak apa-apa, kan mau ketemu Ibu." Ucap Mas Lucas ketika aku menarik tangannya karena gugup.

"Aku gugup, Mas." jawabku jujur.

Mendengar jawabanku, Mas Lucas berhenti lalu menghadapku sepenuhnya,
Matanya seakan mencari kekhawatiranku kemudian kurasakan tangannya menyentuh wajahku, "Kita akan ajak Ibumu pulang, kumpul bersama sama Shasa juga."

APOLOGY  [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang