Tidak ada hal paling indah dan terasa lengkap, selain saat di mana Bara akhirnya mengucap ijab Kabul pada hari itu. Pelan-pelan kehidupanku ikut berubah, ruangan kosong yang dulu kusimpan rapat-rapat seakan mulai kembali terisi.
Hal itu membuatku sadar jika sedari dulu aku memang sengaja membuatnya kosong agar bisa kembali ditempati oleh pemiliknya—Bara.Semakin keras usahaku untuk melupakannya, hatiku tanpa sadar selalu menolak itu. Atau sebanyak apa aku mencari alasan untuk menjadinya tak layak, nyatanya hanya dia yang membuatku merasa cukup.
Perasaan penuh itu kian lengkap jika aku menempatkan Shasa di antara kami. Anak yang dulu sempat kusesali kehadirannya itu justru membuatku merasa menjadi perempuan sempurna meski dulu harus memperjuangkannya sendiri.
Berbeda dengan Shasa, hadirnya anak ke dua kami terasa lebih ringan. Aku tak banyak menangis bahkan kondisi kehamilanku cukup sehat.
Hal yang kusukai dari hubungan kita adalah di mana sebelum tidur kami selalu ngobrol santai. Kami akan bertukar pikiran tentang apa pun atau berbicara tentang hari apa yang terjadi hari ini.
Aku lebih banyak bercerita sebenarnya, karena biasanya Bara akan lebih suka bertanya dan mendengarkan ceritaku saja. Seperti hari ini, kepalaku bersandar pada dada bidang Bara, sementara ia bersandar dengan hardboard ranjang.
Kami sengaja menunggu moment pergantian hari karena hari ini Bara genap berusia 28 tahun. Kita mulai bercerita saat masa-masa SMA dulu, hingga tanpa sadar arah pembicaraan kami sudah mulai mengarah pada saat aku pergi ke Jogja malam itu.
Kalau ingat-ingat lagi, duduk di salah satu gerbong kereta tanpa tujuan adalah reaksi putus asa paling dalam yang pernah kurasakan. Aku tidak tahu kenapa ada di stasiun dan bahkan aku nggak tahu mau ke mana. Jadilah berjam-jam aku hanya duduk diam sebelum akhirnya meyakinkan diri jika pergi dari Jakarta adalah keputusan baik.
"Aku nggak bisa bayangin dulu kamu seperti apa di sana. Itu pasti sakit, ya, Yang?"
Aku mengangguk tanpa ragu, namun saat yang bersamaan, kugenggam tangan Bara agar dia tahu jika itu hanya bagian dari masalalu.
"Kalau dipikir lagi emang aku berani banget. Aku nggak bisa terima kenyataan kalau hamil dan aku akan kehilangan masa depan. Tapi nggak mau kehilangan anakku sendiri."
"Anak kita," sela Bara. "Sampai sekarang aku nggak cuma ngerasa bersalah sama kamu tapi juga Shasa. Kadang aku takut banget bikin dia sedih, atau marah. Takut kalau nggak bisa menebus kesalahan ke kalian."
Iya, Bara terlihat sangat gugup sampai sekarang jika berbicara dengan Shasa. Dia biasanya akan mencerna ucapan Shasa dan berusaha untuk tidak menolak apa pun yang Shasa pinta. "Tapi itu nggak baik, Bar. Jangan manjain Shasa, dari dulu dia dididik keluarga Mba Hani dengan cara yang mandiri."
"Dia kan anak kita, Yang. Wajar sebagai orang tua, kita mau kasih yang terbaik buat anak."
Mendengar dia masih bersikukuh, akhirnya aku mengangkat kepalaku dari dada bidangnya. Kedua pandangan kami kubuat sejajar agar dia bisa mendengar ucapanku secara seksama.
"Yang terbaik buat anak itu belum tentu dengan kasih apa yang mereka mau, kita sebagai orang tua harus mengontrol dan memberikan penjelasan Ke Shasa atau Tian kalau sesuatu itu nggak bisa didapatkan sekaligus. Harus dipikirin banyak manfaatnya atau engga."
Bara tak menjawab, tapi kemudian tangannya bergerak mengusap sisi wajahku, menyimpan rambutku di belakang telinga.
"Aku harus gimana? Kadang suka refleks selalu ngeiyain ajakan atau permintaan Shasa. Aku nggak tega lihat dia nangis hanya untuk mainan yang nggak seberapa. Kayak aku dulu, Yang."
KAMU SEDANG MEMBACA
APOLOGY [TERBIT]
ChickLit[Selesai, beberapa part sudah di unpublish] Kata Maaf rasanya tidak lagi akan cukup -Bobby A.k.a Barra- Rank 1 in #chicklit 11 maret 2021