•6•

1.4K 193 2
                                    

Diana membuang nafas legah saat bus yang ia naikkin sudah berhenti di depan gerbang kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diana membuang nafas legah saat bus yang ia naikkin sudah berhenti di depan gerbang kampus. Ia berdesakkan dengan mahasiswa lain yang juga ingin turun. Hari ini, bus begitu penuh dan sesak, karena ini bus terakhir yang beroperasi di pagi hari. Mau tidak mau, ia harus berlomba dengan penumpang lain untuk dapat duduk.

Sampai di ruang kelasnya, Amira menyapa heran melihat penampilannya yang berantakan, tapi hanya dibalas dengan senyuman. Kelas terlihat masih ramai, berarti kelas pertama kosong. Ia legah

Diana mencapai kursi dan meletakkan kepalanya ke atas meja dengan lesuh.

"Kenapa lo? Tumben lama dateng. Lagi ada masalah, ya?" tanya Amira yang duduk di sebelahnya.

Diana memutar kepalanya menghadap Amira, lalu menghela nafas panjang. "Hari ini gue keknya bakal sial deh, Ra."

Amira yang menangkap kalimat itu bingung maksud Diana apa. "Lo sakit?" Ia meletakkan punggung tangannya ke dahi Diana. "Tapi ngga panas." Lalu menarik tangannya kembali.

"Di rumah kena marah bokap, terus hampir ketinggalan bus. Kayaknya hari ini gue bakal sial terus," ucap Diana dengan mata tertutup, ia sedang malas menjelaskan.

"Bokap lo aneh sih, Di. Nyuruh lo harus tepat waktu, tapi kenapa lo ngga di ijinin bawa motor?" ucap Amira sambil merapikan anak rambut yang menutup wajah Diana.

Diana mengangkat bahunya, "lo tau sendiri 'kan bokap gue kayak mana? Alhamdulillah dia masih mau bayar uang kuliah gue."

Amira menatap sedih temannya itu, tapi ia tutupi. Diana tidak mau orang mengasihani hidupnya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan orang-orang terdekatnya, salah satunya Amira.

"Oiya Di, soal surat itu gue punya petunjuk," tutur Amira sambil mengeluarkan ponselnya dari tas.

Diana refleks mengangkat kepalanya saat mendengar perkataan Amira.

Amira yang awalnya ragu, lalu menyodorkan ponselnya pada Diana. "Gue ngga tau siapa dia. Tapi mukanya ngga asing."

Diana memperhatikan layar ponsel Amira yang memperlihatkan seorang cowok yang sedang berdiri di depan loker Diana. Cowok ini seperti tidak asing. Postur tubuhnya juga menjelaskan kalau Diana sudah pernah bertemu dengannya. Dan lebih menjelaskan lagi rambutnya terlihat seperti brokoli. Salah satu cowok langsung terlintas di pikirannya.

Diana bangkit dari kursinya, menyambar salah satu benda random di sekitarnya, lalu berjalan cepat keluar kelas. Namun, Amira bergegas menahannya.

"Lo mau kemana?" tanya Amira heran.

"Ra, gue pinjem ponsel lo sebentar." Ia berlari keluar kelas dengan cepat, tanpa memperdulikan teriakan Amira.

Pokoknya ini ngga bisa dibiarin

Tanpa memperdulikan sekitarnya, Diana berlari dengan cepat. Ia harus memastikan apakah yang ada di gambar ini adalah cowok yang terlintas di kepalanya atau bukan.

Kakinya kembali membawanya ke taman belakang kampus. Sebenarnya ia enggan kembali ke sini kalau tidak ada sesuatu yang mendesak.

Matanya menyipit melihat siluet seseorang dari balik pohon besar. Dengan rasa ragu ia ingin memastikan. Perlahan tapi pasti, kakinya hampir dekat dengan pohon itu. Ponsel Amira ia genggam kuat-kuat, takut.

"BAAAAA!!!!"

"KAGETT!!!" Diana terjungkal ke belakang karena terkejut. Sementara seseorang yang baru mengagetinya tertawa terbahak-bahak, seolah berhasil membuat Diana kaget.

Cowok itu berdiri masih sambil tertawa. Perlahan tawanya memudar, lalu menatap Diana yang masih terduduk di tanah.

"Lo cewek penakut waktu itu?" Cowok itu mendekat pada Diana, lalu berjongkok di hadapannya.

Diana mengerjabkan mata berulang kali. Ia masih syok, sampai tak sadar kalau kaki kirinya telah mengeluarkan darah karena tergesek akar pohon.

"Kaki lo berdarah, lo ngga apa-apa?" Cowok itu ingin membantu Diana berdiri, namun tangannya langsung di tepis oleh Diana.

"Gue bisa sendiri." Ia mencoba berdiri, tapi gagal. Kakinya bukan cuma tergesek akar pohon dan berdarah, tapi keseleo yang membuatnya tidak bisa berdiri.

"Ngga usah keras kepala, deh." Cowok itu kembali membantu Diana untuk berdiri. Tapi kali ini Diana hanya diam, dan mengikuti kemana cowok itu akan mmebawanya.

Bisa Diana rasakan tubuh hangat cowok ini. Bukan hangat tubuh manusia normal, tapi hangat tubuh orang yang sedang sakit.

"Lo duduk di sini dulu. Gue mau ambil P3K," ucapnya lalu pergi.

Diana baru tersadar saat cowok itu sudah menjauh kalau hanya ada dia sendiri di sini. Di taman yang menurutnya menyeramkan ini. Bulu kuduknya berdiri saat merasakan sesuatu yang aneh sedang mengintainya. Ingin rasanya cepat-cepat pergi dari sini, tapi sialnya, kakinya benar-benar sakit.

"Lo bener cewek penakut, ya? Baru di tinggal sebentar udah ketakutan?" Cowok itu kembali muncul dengan nafas ngos-ngosan dan kotak P3K di tangannya.

"Lo kira di sini ngga serem!" sewot Diana, sambil mengalihkan tatapan dari cowok itu.

Cowok itu berjongkok di hadapan Diana dengan satu kaki menumpu pada tanah, dan kaki satunya untuk menumpu kaki Diana yang terluka. Dengan telaten, dia mengobati, mengurut pelan dan mengompres kaki Diana dengan es batu yang tadi ia bawa.

"Maaf, gue udah ngagetin lo. Gue pikir lo temen gue," katanya, lalu mengikat luka di kaki Diana dengan perban. Setelah selesai, ia kembali merapikan alat-alat P3K.

Cowok itu berdiri, menatap Diana lalu duduk di samping cewek itu. "Lo ngapain lagi ke sini, lo kan penakut," ucapnya, lalu tertawa kecil.

"Gue ngga penakut!" cecar Diana yang tak terima.

"Iya, iya deh." Walaupun ia tau kalau waktu itu Diana benar-benar sedang ketakutan. "Oh iya, nama gue Vidy. Gue fakultas teknik, teknik mesin."

Diana mengerutkan dahinya, merasa ia tidak pernah menanyakan hal itu pada cowok di sebelahnya ini.

"Lo sakit?" tanya Diana sambil menoleh menatapnya.

Vidy tertawa tiba-tiba, "banyak yang bilang gue sakit jiwa."

Hah? Bukan itu yang Diana maksud. Kalau itu Diana juga tau kalau cowok ini tidak waras. Walaupun duduk mereka tidak berdekatan, tapi Diana bisa merasakan hawa panas dari tubuh cowok itu.

"Badan lo panas. Lo demam?" tanya Diana lagi.

"Ooo... faktor cuaca kali, gerah ya." Vidy mengipas wajahnya dengan tangannya.

Vidy berbohong. Dari hidung yang memerah sudah terlihat kalau ia sedang sakit. Tapi, kenapa dia berbohong? Apa ada hal yang ia tutupi?

-0-0-0-

Vidy bohongnya nampak kali. Untung Diana orangnya pekaan🤪🤪

Jangan lupa vote dan komen ya woiii🙂🙂

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang