Diana pergi ke rumah sakit untuk kesekian kalinya minggu ini. Satu tangannya ia masukkan ke saku jaket, dan tudung jaket itu menutupi kepalanya. Dia berjalan riang sepanjang lorong rumah sakit sesekali bersenandung pelan mengikuti langkahnya.
Dia berhenti sebentar, lalu tersenyum menatap paperbag yang berisi cheese cake buatannya. Dia sangat yakin Vidy akan menyukai kue buatannya ini.
Diana kembali menggerakkan kakinya menuju ruang rawat seseorang yang mungkin sedang menunggunya. Diana tidak sabar untuk melihat wajah Vidy lagi.
Namun, beberapa meter dari ruangan Vidy, tubuh Diana tersentak mendengar teriakan seorang suster yang tiba-tiba keluar dari ruangan Vidy dan suster lain masuk membawa berbagai macam alat medis.
Diana membatu. Tubuhnya kaku, kakinya terasa sulit untuk di gerakkan. Seperti dunia berhenti berputar, detak jantung Diana tiba-tiba berpacu dengan cepat.
Mengulurkan tangannya yang gemetar, Diana menyentuh daun pintu. Dia menutup matanya dan meremas tali paperbag. Diana sekarang berdiri tepat di depan pintu, menyaksikan para suster dan dokter yang sedang berusaha memberi pengobatan lebih pada Vidy.
Tangan Diana gemetar lebih keras setiap detiknya, menatap tubuh Vidy yang terus melawan penyakitnya dengan merintih kesakitan. Tangan kuat itu seketika terjatuh ringkih, tidak ada lagi perlawanan ataupun rintihan kesakitan.
Kehancuran memperdaya Diana dalam sekejap, itu adalah perasaan asing yang tidak nyata, yang tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata bahkan dengan ribuan kata. Itu seperti meriam panas yang ingin menghancurkan dinding pertahanannya. Rasa sakit itu membakar dirinya lalu merasuk ke dalam jiwanya.
Sebuah isak tangis keluar dari tenggorokan Diana. Dia berusaha mati-matian untuk menahannya. Berusaha keras untuk menahan dirinya agar tetap tenang, tapi dia tau dia terlalu lemah untuk melakukan itu.
Ketika isakan kedua melesat keluar begitu saja, dunia seperti berputar-putar dengan cepat. Diana tidak bisa lagi menahannya. Dia membiarkan isak tangisnya terlepas.
Tubuhnya tiba-tiba di peluk seseorang dari samping. Dia menoleh, menatap Windy yang sudah menangis. Windy meletakkan kepalanya di bahu Diana, dan menangis sejadi-jadinya.
"Diana, Vidy-" Windy tidak kuat melanjutkan ucapannya. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Diana.
Diana membalas pelukan cewek itu. Dia membawa tubuh Windy untuk duduk di bangku tepat di samping pintu.
Dia mencoba menenangkan tangis Windy yang semakin histeris. Dia mengusap bahunya, mengucapkan kata-kata penenang pada cewek itu.
Diana tidak tau apa yang terjadi pada Vidy. Dia akan bertanya setelah Windy sedikit lebih tenang.
Tangis Windy mulai mereda, dia melepas pelukannya pada Diana, kemudian mengusap air matanya. Nafasnya tersendat-sendat, dia terdiam cukup lama.
"Vidy kenapa, Win?" tanya Diana pelan, takut-takut akan menyinggung Windy.
Windy menoleh sekilas, tatapannya langsung lurus ke depan.
Sebelum membuka suara, Windy mengela nafas panjang. "Tadi, gue sama Vidy lagi bercanda main-main, ketawa-ketawa. Terus tiba-tiba dia bilang kalo kepalanya sakit. Gue bilang, tidur aja biar agak enakan. Dia nurut, tapi abis itu badannya gemetar, terus tubuhnya langsung nggak ke kontrol," jelas Windy. Tangisnya kembali lagi, ia menutup wajahnya untuk meredam suara isakannya.
Diana merangkul cewek itu. Bukannya menenangkan, Diana malah ikut menangis. Hatinya benar-benar teriris melihat kejadian barusan.
"Kenapa Vidy nggak bisa ngelawannya? Vidy kuat, kan, Di?"
Diana menggangguk dengan kuat, membenarkan ucapan Windy. "Iya, Vidy kuat. Vidy nggak mungkin nyerah dengan segampang itu."
Lorong sunyi rumah sakit itu menjadi saksi, bagaimana hati dua orang hancur karena seorang yang mereka sayang, sampai membuat mereka tidak berdaya. Langit keduanya langsung menjadi abu-abu.
-0-0-
Diana menenggak minuman kaleng yang tadi ia beli di kantin rumah sakit. Sekarang dirinya berada di taman rumah sakit. Matanya hanya memandangi orang-orang yang berlalu lalang di depannya.
Setelah kejadian beberapa jam yang lalu, Diana tidak kuasa kembali ke ruangan Vidy. Menatap wajah Vidy yang terpasang banyak alat bantu pernapasan, rasanya dadanya begitu sesak. Di tambah, wajah sedih dari kedua orang tua Vidy, membuatnya ingin kembali menangis.
Diana membuang nafasnya dengan kasar. Kepalanya ia jatuhkan ke sandaran kursi, lalu menutup mata saat angin menerpa wajahnya. Cukup lama ia dengan posisi seperti itu.
Diana membuka matanya saat merasakan seseorang duduk di sampingnya. Dahi Diana mengenyit bingsung, tapi setelah itu matanya melotot melihat orang di sampingnya.
"Capek?" Seseorang itu menyodorkan tisu pada Diana, namun tidak kunjung di ambil cewek itu karena masih terkejut. Tapi, tak lama, Diana mengambilnya.
"Jegi, kok lo bisa ada di sini?" Diana menegakkan tubuhnya dan menatap heran pada Jegi.
Jegi mengeluarkan kantong obat dari tas yang ia bawa, lalu menunjukkannya pada Diana. "Gue abis ngambil obat."
"Lo sakit?"
Jegi menggeleng. "Punya bunda gue."
Diana mengangguk paham. "Bunda lo sakit?"
"Asam urat," jawab Jegi dengan cepat. "Kalo lo, ngapain disini?"
Diana membuang wajah ke arah lain, mencari alasan yang tepat untuk membuat Jegi yakin. "J-jengukin temen."
Perasaan Jegi itu bukanlah alasan sebenarnya. Mata Diana telah mengatakan segalanya. Sembab, sedikit berair, dan merah, Jegi tau Diana habis menangis. Tapi, Jegi tidak mau menanyakan macam-macam padanya.
Kecanggungan memperdaya mereka. Walaupun Diana dan Jegi adalah teman sekelas, tapi mereka jarang berbicara. Apalagi sikap pendiam Jegi yang membuatnya sulit untuk di dekati.
Jegi akhirnya bangkit dari duduknya. Dia hendak pergi, tapi langkahnya seolah di tahan oleh pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Diana.
Jegi memutar tubuhnya kembali menatap Diana yang juga menatapnya dengan heran. Pandangan mereka bertemu, namun Jegi cukup lama terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.
Saat Diana ingin membuang muka, tiba-tiba Jegi berkata, "Lo habis nangis?"
Itu mampu membuat Diana termangu. Dia menelan ludah dengan sulit. Diana tidak paham dengan perkataan Jegi barusan.
"Hah? Gue-"
"Nggak jadi! Gue pergi!" Jegi akhirnya benar-benar pergi setelah memotong ucapan Diana. Cowok itu berjalan dengan cepat, keluar dari area rumah sakit.
Diana menatap kepergian Jegi dengan bingung. Dia menggaruk pelipisnya, kemudian mengangkag bahunya. "Aneh."
-0-0-
4 Chapter lagi tamat eheee☺️
Jangan lupa vote dan komen:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...