•51•

951 86 7
                                    

Sekarang Vidy tidak lagi seperti dulu. Dia sudah banyak kehilangan berat badan dan tenaga. Hari-harinya hanya terbaring dengan cairan infus yang tidak pernah berhenti masuk ketubuhnya.

Kehilangan nafsu makan adalah hal yang Vidy takuti, dan saat ini dia mengalami hal itu. Dia juga hampir kesulitan menelan. Dia berbicara hanya sekadar, bahkan tidak pernah. Dia hanya menyunggingkan senyuman, atau tidak, menggangguk dan menggeleng.

Hari-hari Diana sekarang ia abiskan di rumah sakit. Menemani Vidy, mengajaknya berbicara tentang apa saja. Tanpa sadar itu membuat Diana banyak mengetahui sisi lain tentang Vidy.

Tanpa suara, Vidy tidak bisa melanjutkan obrolan seperti biasa bersama Diana, tidak peduli seberapa keras dia berbicara. Gerakkan tubuhnya melambat, dan satu-satunya suara yang bisa dia keluarkan terdengar lemah lembut, bahkan hampir tidak bisa di dengar.

Vidy juga tidak bisa untuk duduk sendiri lagi, dia hanya terbaring di brankar, bergerak jika untuk mengatur posisi berbaringnya.

Ketika lelah hanya berbaring, Vidy hanya menunjukkan ekspresi prustasi karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketika Vidy menunjukkan ekspresi seperti itu, Diana yang melihatnya akan membuang muka ke arah lain. Tak jarang, ada saat-saat dimana Diana juga tidak punya pilihan lain selain menyaksikan ekspresi itu. Dan, Diana benci itu.

"Mau duduk?" tanya Diana. Biasanya dirinya yang membantu Vidy jika cowok itu ingin duduk walaupun sering kali Vidy tidak kuat menahan tubuhnya dan akhirnya kembali terbaring.

Vidy bergeleng, matanya lalu menatap ke jendela. Hari hampir gelap, tapi dia tidak bisa tidur sama sekali. Semakin dia menutup matanya, semakin dia takut hal-hal lain akan terjadi.

Pandangan Diana jatuh ke tangan Vidy, menatap jarum kecil itu dengan intens tanpa mengalihkan tatapannya pada yang lain.

Diana memejamkan mata dan menghela nafas berat, merasa semakin putus asa setiap detiknya. Dia takut, hal yang tidak pernah di pikirkan olehnya terjadi. Tapi, dia memaksa pikiran itu pergi dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang baik.

Diana merasakan sentuhan lembut di tangannya dan menoleh menatap mata yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang memprihatinkan karena kelelahan.

Walaupun tidak ada suara yang terdengar, tapi Diana bisa membaca gerakkan mulut Vidy yang mengatakan, 'kenapa?'.

"Gue baik-baik aja." Diana menjawabnya dengan sangat lembut, lalu menyentuh tangan Vidy yang berada di atas tangannya. "Gimana perasaan lo?"

Vidy mengangguk pelan. Itu adalah cara dia mengatakan kalau dia baik-baik saja. Tidak terlalu baik, tapi cukup.

"Gue ngantuk." Vidy mengedipkan matanya, dia takut Diana tidak mengerti apa yang dia katakan.

Diana berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke sisi brankar yang lain. "Mau gue peluk biar bisa tidur?"

Senyum cerah di bibir Vidy terbit. Dia mengangguk dengan cepat, lalu menggeser sedikit tubuhnya untuk memberi Diana tempat untuk berbaring.

Diana naik ke atas brankar, membaringkan tubuhnya di samping Vidy. Cewek itu merentangkan tangan, bersiap untuk menyambut Vidy ke pelukannya. Dia membiarkan tangan sebelah kanannya menjadi bantal bagi Vidy.

Vidy meletakkan kepalanya di lekukan leher Diana. Jantungnya berdetak seribu kali permenit, dia merasa sulit untuk menelan dan merasakan darah mendesir di seluruh tubuhnya. Dia bahagia di peluk kembali oleh Diana sampai tidak tau harus bereaksi bagaimana, tidak tau apa yang harus ia lakukan atau ucapkan.

Diana merasakan rambut-rambut Vidy menusuk-nusuk lehernya. Dia tidak merasa geli, tapi hanya merasa aneh.

Di peluknya tubuh Vidy dengan sabar, mengusap-usap punggung ringkih itu dengan lembut. Diana bisa mencium bau rumah sakit dari tubuh cowok ini, karena sangkin lamanya Vidy berada di sini.

Diana mulai merasakan nafas Vidy yang menyentuh kulitnya. Di intipnya sedikit untuk melihat apakah Vidy sudah tertidur. Melihat mata cowok itu tertutup, Diana bernafas legah.

"Udah tidur?" tanya Diana untuk memastikan Vidy benar-benar tidur.

"Udah," jawab Vidy tiba-tiba.

Diana sedikit tersentak, dia memukul lengan cowok itu dengan pelan. "Gimana orang tidur bisa ngomong?"

Vidy terkekeh, dia mengeratkan tangannya di pinggang Diana, kemudian memejamkan matanya lagi.

Tangan Diana tidak lelah menepuk-nepuk punggung Vidy untuk mempercepat cowok itu tertidur. Dia menyisir rambut Vidy dengan jari-jari tangannya, tidak luput mengusap-usapnya dengan pelan.

"Hari ini lo udah hebat, Vid."

Diana mengernyit saat tidak ada jawaban. Di lihatnya mata Vidy yang sudah tertutup dan deruh nafas yang mulai teratur.

Diana menghela nafas panjang. Dia tersenyum kecut menatap wajah Vidy yang tertidur dengan tenang di pelukannya.

"Gue nggak akan gangguin lo tidur lagi. Lo bisa tidur sepuas yang lo mau."

"Lupain hari berat lo."

"Lupain orang tua lo."

"Lupain Windy."

"Dan, lupain gue untuk sementara waktu. Jangan memikirkan apapun lagi."

Diana berbicara sendiri walau tidak ada yang mendengarnya. Air matanya tiba-tiba mengalir begitu merasakan pelukan Vidy di tubuhnya mulai melonggar. Deruh nafas Vidy mulai melemah, walaupun Diana masih merasakan nafas Vidy yang menerpa lehernya.

Di peluknya tubuh itu semakin erat, mencium kening Vidy dengan lembut. Dia ingin terus ada di posisi seperti ini, tidak ingin pergi dari sisi Vidy.

Diana ingin berbicara lagi, tapi dia tidak bisa menemukan dimana suaranya berada. Bahkan satu kalimat pun ia tidak bisa mengeluarkannya. Dadanya begitu sesak seakan mendesak untuk keluar.

Dia terus meyakinkan dirinya sendiri kalau sekarang Vidy sedang terlelap.

Diana meletakkan dagunya di atas kepala Vidy. Menutup matanya untuk ikut tertidur. "Makasih untuk hari ini, Vidy. Selamat malam, sampai jumpa besok."

-0-0-

aww update lagi😭🙏😂

Pokoknya udah mau tamat..

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang