Diana keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membungkus kepalanya. Dia berjalan ke arah meja belajar Amira dan mengambil ponselnya disana.
Dia melihat banyak panggilan masuk dari Tisa yang yang di abaikannya. Diana meletakkan kembali ponselnya dan langsung terduduk di pinggiran tempat tidur.
Diana terlalu terpukul kemarin. Batinnya terguncang hebat karena menerima kejutan yang tidak di sangka-sangkanya. Seharusnya ia menahan diri untuk tidak pergi saat itu. Bagaimanapun juga, dia ingin tau siapa ibu kandungnya, kalau Tisa adalah ibu sambungnya.
Rasanya, tidak cukup Diana menangis kemarin. Melihat kondisinya yang kacau semalam, pasti Amira merasa kasihan padanya. Diana tidak suka di kasihanin.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya hingga mengalihkan sejenak perhatian Diana. Ia membuka pesan itu. Rupanya dari Amira yang tadi pamit pergi berbelanja makanan bersama Daris.
Amira:
Di, tolong fotoin kertas kecil warna kuning yang ada di laci meja belajar gue, yaa.Diana:
Oke.Diana beranjak menuju meja belajar Amira setelah membalas singkat pesan Amira.
Diana membuka satu persatu laci, dan menemukan kertas kecil warna kuning yang Amira maksud. Di sana tertera nama seseorang, beserta nomor yang tidak Diana kenal.
Seperti yang di minta Amira, Diana mengirim foto kertas kecil itu. Tidak berapa lama Amira membalas dengan ucapan terima kasih dan memberi kabar kalau dia sebentar lagi akan pulang.
Saat ingin menutup laci itu, tangannya mendadak berhenti. Matanya memicing lalu melebar ketika melihat sebuah surat yang pernah menerornya waktu itu. Dia mencoba membukanya satu, dan benar saja ini surat yang menerornya.
Kenapa surat-surat ini ada pada Amira? Diana mengeluarkannya satu persatu. Dia terkejut karena surat itu cukup banyak di dalam laci Amira.
Diana benar-benar syok. Kakinya limbung, tidak kuat menahan tubuhnya karena terkejut.
Jadi, selama ini, yang menerornya adalah Amira, sahabatnya sendiri? Pikiran Diana mengaitkan akan kemungkinan Amira yang melakukan ini semua padanya.
Diana semakin syok saat menemukan kunci loker miliknya yang berada cukup tersembunyi di laci Amira. Kunci itu sempat hilang, dan Diana tidak menyangka akan menemukannya pada Amira.
"Jadi, ini alasan dia nuduh Affan sebagai peneror karena dia nggak mau gue curiga sama dia?"
Diana tidak habis pikir, Amira tega sekali padanya kalau sampai kemungkinan ini benar adanya. Pasalnya, Amira selalu mencari cara agar Diana terus menuduh Affan. Saat Affan bilang bukan dia yang meneror Diana, Amira bahkan tidak mempercayai ucapan cowok itu. Dan, ketika Diana bingung saat membaca surat yang kosong, Amira yang tau cara membacanya.
Diana sama sekali tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Rasanya menyakitkan mengetahui sahabat yang sangat dekat dengannya, orang yang ia pikir dapat di percaya, justru menusuknya dari belakang.
Rasanya Diana ingin berteriak melampiaskan rasa kecewanya. Amira memang santai dan tenang. Sangkin santai dan tenangnya, ia mampu merahasiakan semuanya hingga sejauh ini.
-0-0-
Sudah pukul delapan malam, Amira juga belum pulang. Diana sudah membuka satu persatu surat itu, dan membacanya dengan perasaan sesak.
Diana menangis sepanjang membaca surat-surat itu. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang Amira lakukan padanya.
Diana berdiri, dia ingin pergi dari rumah Amira sebelum cewek itu pulang. Namun, harapannya tidak terwujud karena suara Amira langsung terdengar saat Diana akan membuka pintu kamar.
"Diana, gue pulang!" Amira membuka pintu kamarnya dan langsung berjalan mendekat. "Lo mau kemana?" tanyanya heran.
"Gue mau pergi!" jawab Diana bernada ketus. Dia berbalik, tidak ingin melihat Amira.
"Lo mau kemana? Ini udah malem, Di." Amira memandang punggung Diana dengan heran. Sekian lama tudak ada jawaban, ia berjalan mendekati Diana. "Lo udah baikan sama Papah lo?"
Diana menepis dengan kasar tangan Amira di tangannya. Diana benar-benar tidak habis pikir dengan sikap pura-pura Amira, setelah melakukan semua ini padanya.
"Bukan urusan lo!" Nada suara Diana naik satu oktaf. Sulit baginya untuk mengontrol diri setelah bertemu langsung dengan Amira.
"Lo kenapa, sih? Kok lo jadi nyolot begini?" Amira mulai terpancing emosi. "Gue cuma tanya, lo mau pergi kemana? Kenapa jadi marah-marah?"
"Jangan pura-pura bego, deh lo? Gue tau, sekarang lo lagi akting kan? Biar lo gampang terus bohongin gue? Setelah apa yang lo lakuin ke gue, gue nggak akan pernah percaya lagi sama lo!"
Amira semakin tidak mengerti dengan sikap Diana. Dia bersiap ingin membalas ucapan Diana, namun urung ia lakukan. Seketika perhatiannya terpusat pada meja belajarnya yang sangat berantakan. Tubuh Amira menegang, dan berjalan dengan cepat ke arah meja belajarnya dan buru-buru menyimpan surat-surat itu ke dalam lacinya kembali.
Ekspresi Amira berubah panik. Dia kembali pada Diana yang sudah tersenyum sinis padanya.
"Sekarang lo udah tau, kan, kenapa gue marah-marah? Selamat, lo udah berhasil buat gue kayak orang nggak waras selama ini, dan lo udah berhasil buat gue nuduh Affan yang enggak-enggak!" cibir Diana. Dia ingin pergi dari sana, tapi tangannya langsung di tahan oleh Amira.
"Gue tau gue salah. Gue bisa jelasin apapun yang lo mau tau. Tapi, nggak bisa sekarang. Besok gue ceritain semuanya, ya? Lo jangan pergi dulu, ini udah malam, Di," mohon Amira dengan wajah memelas.
Diana menepis kembali tangan Amira. Dia berbalik menuju pintu, lalu membuka lebar pintu itu. Namun, langkahnya berhenti tepat di ambang pintu.
"Gue nggak benci lo, tapi gue kecewa, Ra." Diana lalu berlari begitu cepat meninggalkan Amira di kamarnya. Dia menuruni tangga dengan cepat, tidak peduli dengan keselamatannya.
Amira di belakang mengejarnya, memohon untuk berhenti dan dia akan menjelaskan semuanya. Tapi, Diana sudah tidak mau mendengar ucapannya.
Kaki Diana memelan saat bertemu Daris di ruang tamu. Itu membuat Amira yang tadi mengejar akhirnya menangkap pergelangan tangan Diana.
"Please... dengerin penjelasan gue dulu." Amira memohon agar Diana tidak pergi. Tapi, Diana menyentak tangannya dengan kuat dan kembali berlari keluar dari rumah Amira.
Amira kembali ingin mengejar, tapi Daris menahan tubuhnya. Amira dengan kening berkerut menatap Daris dan langsung mendapat gelengan kepala dari cowok itu.
"Jangan di kejar. Dia butuh sendiri dulu," ucap Daris mencoba menengahi.
Amira tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tubuhnya mendadak terasa lemah. Ia jatuh terduduk di lantai dengan berurai air mata. Ia menangis karena perasaan bersalah pada Diana dan dia tidak bisa menjelaskan semuanya pada Diana.
-0-0-
UPDATE LAGIII!!
PENGEN UPDATE SETIAP HARI ITU SUSAH YAA
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...