•17•

889 126 1
                                    

Motor Vidy berhenti di pintu masuk sebuah hutan. Bukan hutan belantara, tapi hutan pinus yang memang di rawat untuk pengunjung. Sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang berolahraga pagi.

Matahari mulai muncul dari peraduannya. Burung-burung kecil bersiul bersautan. Udara di sini begitu segar dan masih bersih. Tanah yang lembab menambah kesejukkan di hutan ini.

Diana dan Vidy sudah masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan itu terdapat danau buatan yang cukup luas. Ada sepasang angsa yang sedang bermain air di pinggir danau. Diana seketika terpana akan keindahan hutan ini. Dia baru tau ada hutan pinus disini.

"Lo ngajak gue jalan-jalan, kan?" tanya Diana yang sedari tadi hanya diam.

"Iya," balas Vidy yang terus berjalan memasuki hutan semakin dalam. Diana cukup sulit menyeimbangkan langkahnya dengan langkah lebar milik Vidy.

"Jalan-jalannya kesini?" tanya Diana lagi.

"Iya. Di sini kan enak. Udaranya sejuk, damai, dan tenang." Vidy merentangkan tangannya lebar-lebar saat berhenti tidak jauh dari danau.

Diana tidak bersuara lagi. Dia hanyut dalam keindahan danau di depannya. Benar-benar seperti lukisan yang sering ia lihat di buku cerita dongeng milik adiknya. Langit cerah yang mendukung, membuat air danau jadi terlihat sangat jernih.

"Vidy, lo kok tau tempat ini?" Kepala Diana menoleh, menatap Vidy yang tengah memejamkan matanya sambil tersenyum, seakan sedang menikmati suasana di hutan ini.

"Dulu kecil gue sering ke sini," jawab Vidy tanpa menoleh.

Diana mangut-mangut mengerti, kemudian kembali diam. Dia kembali menatap air danau yang tenang di sana. Bibirnya refleks tertarik membentuk sebuah senyuman. Benar kata Vidy, di sini membuat hatinya tenang. Apalagi udaranya yang bersih, sangat berbeda jauh dari udara yang di perkotaan.

Saat kembali menoleh, Vidy sudah tidak ada di sampingnya. Diana panik, ia takut Vidy sengaja membawanya ke sini dan meninggalkannya sendiri di sini. Dia terus mengedarkan pandangan ke segala arah. Bermaksud mencari Vidy yang mungkin masih berjalan tidak jauh darinya.

"Lo ngapa?" Teriakan Vidy dari belakang membuat Diana membalik tubuhnya. Cowok itu sudah duduk di samping pohon pinus yang memang sulit terlihat karena besarnya pohon pinus itu. "Cewek penakut, ya tetap cewek penakut," ledek Vidy membuat Diana menghentakkan kakinya dengan kesal.

Diana berjalan ke arah Vidy yang masih tertawa. Cowok itu seperti tidak merasa bersalah setelah mengatakan itu. "Lo!" tunjuknya tepat di depan wajah Vidy. "Bangsat!"

Bukannya marah, Vidy semakin tertawa. Itu cukup membuat Diana geram, ingin rasanya mencakar-cakar wajah cowok itu. Diana mendudukkan tubuhnya di sebelah Vidy. Dia terlalu malas untuk terus meladeninya.

"Nih. Dari pada lo marah-marah lebih baik lo makan." Vidy menyodorkan sebuah sandwich pada Diana. "Pasti lo belum sarapan, kan? Gimana, gue udah jadi pacar idaman belom?"

Rasa ingin mengambil sandwich itu luruh. Diana mengurungkan niatnya saat mendengar perkataan Vidy yang terakhir. Cowok ini benar-benar sangat pede.

"Pede amat lo!"

Cowok itu kembali tertawa. "Udah makan aja, jangan malu-malu. Masa lo nolak masakan Mamah mertua," godanya lagi. Kali ini Vidy tersenyum simpul.

Diana mendelikkan matanya dengan tajam, menatap horor cowok di sampingnya. Mau tidak mau, ia mengambil sandwich itu dan langsung menggigit dan mengunyahnya dengan kasar.

"Enak, ngga?" tanya Vidy ikut mengunyah.

Diana mengangguk. Memang benar, bahkan menurutnya ini sangat enak. Tapi, dia harus gengsi. Jangan terlihat kalau dia menyukai sandwich ini. Nanti Vidy semakin pede dan terus menggodanya.

"Btw, itu pake daging manusia."

BURRR!!!

Sandwich itu kembali keluar dari mulut Diana setelah mendengar perkataan Vidy. Dia langsung menoleh pada cowok itu yang sudah tertawa keras. Kali ini Diana tidak lagi mengurungkan niatnya untuk menerjang Vidy. Dengan sekali hentakkan dia menarik rambut Vidy yang panjang. Memukul tangan cowok itu, menarik telinganya tanpa ampun.

"ADOH! ADOH! SAKIT, SAKIT!" Vidy mencoba menahan tangan Diana yang terus menjambaki rambutnya. "Bercanda gue. Masa iya pake daging manusia," sewotnya.

Mata Diana melotot dengan garang. "Jadi pake daging apa?"

"Daging babi lah," jawabnya dan kembali tertawa.

Diana ingin kembali menerjangnya. Tapi, cowok itu sudah duluan kabur. Ingin mengejarnya, tapi tenaganya sudah terkuras habis. Dia hanya bisa menatap kesal pada Vidy.

"Serem anjir." Vidy kembali duduk di samping Diana, tentu dengan hati-hati. Takut-takut cewek itu kembali menyerangnya. "Bercanda gue." Dia nyengir sambil membentuk 'V' pada jarinya.

"Bercanda lo ngga lucu, tau!"

Vidy terkekeh, dan situasi kembali damai. Mereka sama-sama asik menikmati pemandangan danau. Pengunjung mulai banyak, dan jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.

Terlihat satu keluarga yang sedang piknik di pinggir danau. Benar-benar keluarga yang hangat, berbeda dengan Papah Diana yang selalu terlihat dingin padanya.

"Vidy," panggil Diana dan langsung menbuat Vidy menoleh padanya. "Kenapa lo selalu sendiri? Lo ngga punya temen atau sahabat gitu?"

Vidy tersenyum kecut. "Dari kecil gue selalu bareng sama adik gue. Ngga ada temen yang lain selain adik gue. Gue juga ngga suka sendiri," jelasnya. Sorot matanya terlihat kosong seketika.

Diana bingung. Kalau Vidy ngga suka sendiri, kenapa dia selalu terlihat sendiri? Bahkan dia suka menyendiri di taman belakang kampusm

"Kenapa lo mau bantu gue untuk jadi pacar pura-pura gue? Kenapa lo ngga nolak aja?"

"Bukannya lo yang mohon-mohon ke gue?" Vidy terkekeh dan membuat wajah Diana kembali kesal.

"Ngga usah di ingatin juga kali!" omelnya.

"Mungkin kayak gini buat lo ngga terikat terus sama mantan lo. Gue ngga tau masalah kalian apa. Tapi, coba lo selesaikan baik-baik, mana tau ada jalan keluarnya."

"Ngga ada jalan keluar untuk gue sama dia," ucap Diana lesu. Membayangkan dulu bagaimana Affan memutuskan hubungan dengannya, seketika dia ingin menangis.

"Terkadang mata kita ngga bisa ngelihat kayak apa manusia itu sebenarnya. Atau apa yang mereka rasakan sebenarnya," sabda Vidy dengan lirih.

Diana tercengang oleh kata-kata Vidy. Dia menatap cowok itu yang sedang menatap ke depan. Perkataan itu seolah bukan untuknya. Tapi, untuk Vidy sendiri. Diana dapat merasakan itu.

-0-0-

Vidy kalo lagi serius, kalimat-kalimat quotesnya keluar wkwkwk

Jangan lupa vote dan komen :)

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang