•36•

692 101 6
                                    

Vote dan komen, nggak mau tau!

Diana berlari tidak tentu arah. Kakinya seolah bergerak sendiri membawanya entah kemana. Dia terlalu marah sampai tidak menyadari kalau dia tidak memakai alas kaki. Tapi, Diana tidak peduli. Dia ingin pergi dari Amira karena rasa kecewanya pada cewek itu.

Malam semakin larut. Diana hanya ada ponsel di saku celananya. Air matanya sudah lama kering, ia juga sudah berhenti menangis. Tapi, rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.

Pergi kerumah Amira bermaksud untuk menghilangkan rasa sedihnya karena fakta yang tidak terduga, Diana malah semakin hancur setelah mengetahui kebohongan cewek itu. Kenapa orang-orang yang dia kira baik malah menghancurkan kepercayaannya?

Diana memelankan langkahnya saat berada di persimpangan yang cukup sepi dan gelap. Dia menghidupkan senter pada ponselnya sebagai penerangan. Dia takut sesuatu yang tajam terinjak dan membuat kakinya terluka.

Diana berdeham, mencoba menetralkan suaranya yang serak karena terus-terusan menangis. Tenggorokannya juga sangat kering, dia haus.

Sekarang dia memikirkan harus kemana dia pergi. Apa sebaiknya di pulang saja? Tapi, dia masih tidak kuasa menahan tangisnya jika harus bertemu langsung dengan Tisa dan Afra.

Saat sibuk berpikir, Diana dibuat terkejut oleh sorot lampu mobil yang cukup membuatnya memicingkan mata silau. Kakinya mendadak berhenti. Dia teringat dengan kejadian saat dia hampir di culik waktu itu. Kakinya mendadak kaku berjalan. Diana takut kejadian itu terulang kembali padanya.

Kepala Diana celingak-celinguk, melihat orang di sekitarnya. Sialnya, tidak ada satupun orang dan hanya ada dirinya dan orang yang berada di dalam mobil itu.

Diana memutar arah untuk cepat pergi dari sana. Tapi, tiba-tiba jantungnya berpacu dua kali lipat mendengar suara pintu mobil di buka, lalu di tutup kembali. Secepat mungkin dia berjalan, mencoba bersikap natural agar tidak di curigai.

"Mau kemana?"

Tubuh Diana tersentak saat tangannya di tarik paksa pria berbadan besar yang tadi keluar dari mobil. Diana menoleh takut-takut pada orang itu. Seketika matanya melebar. Bukan hanya satu orang, tapi ada sekitar lima orang yang menaruh senyum misterius padanya.

Diana mencoba bersikap senatural mungkin. "Maaf bang, saya lupa pake sendal. Saya mau ngambil sendal saya di rumah dulu. Bisa lepasin tangan saya, nggak?"

Pakaian mereka serba hitam, seperti pakaian seorang bodyguard.

Diana menarik tangannya pelan, namun cengkraman di tangannya semakin kuat ia rasakan.

"Lepasin ya, bang. Saya nggak punya apa-apa untuk di begal. Saya orang nggak mampu bang." Diana mencoba berbicara sememelas mungkin agar mereka mengasihaninya.

"Ayo ikut kami!" ucap salah satu dari antara mereka.

Mata Diana melotot, dia mulai ketakutan. "M-mau kemana bang? Kalo abang-abang ini mau nyulik saya, terus minta tembusan, saya anak yatim piatu bang."

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang