Vidy hari ini kembali menjalani kemoterapi yang entah sudah berapa kali ia lakukan. Dia kembali mengalami masa-masa sulit, padahal ini bukan pertama kali baginya. Tapi, sulit baginya untuk menahan diri.
Tubuhnya seperti dikulit hidup-hidup, rasa ingin menyerah kembali meradang di kepalanya. Tapi, melihat masih banyak orang-orang yang dia sayang di sampingnya, Vidy kembali kuat.
Ini pertama kali bagi Diana menemani Vidy melakukan masa pengobatannya. Dia tidak tau akan semenderita ini Vidy menjalankannya. Diana terus menggenggam tangan cowok itu, mencoba menguatkan Vidy.
Hatinya teriris mendengar rintihan yang keluar dari mulut Vidy. Seperti ada batu kecil yang menghimpit dadanya, namun membuatnya sulit bernapas.
"It's okay, it's okay. Lo baik-baik aja sekarang." Kalimat itu terus Diana ulang saat Vidy mengerang kesakitan. Air matanya tanpa sadar jatuh, namun dengan cepat ia menghapusnya agar Vidy tidak melihatnya.
"S-sa...kit banget, Di..."
"Lo bakal sembuh, tahan sebentar lagi, ya? Lo kuat, lo pasti bisa, Vid." Diana mengusap kepala Vidy, menyisir rambut keriting cowok itu dengan jari-jari tangannya.
Vidy berusaha menganggukan kepala. Dia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Diana. Matanya sedikit mengabur, rasa mual kembali menyerangnya. Walaupun sedikit, rambutnya mulai rontok. Efek kemoterapi benar-benar tidak bisa di bilang mudah.
"Mau minum?" tawar Diana saat melihat bibir Vidy yang begitu kering.
Vidy menggeleng pelan. Walaupun tidak terlihat jelas, dia bisa melihat Diana yang menahan tangisnya. Tangannya terulur menyentuh wajah cewek itu.
"Tahan nangisnya, ya? Habis ini kita ketawa lagi," ucap Vidy dengan suara yang tidak begitu jelas.
Diana menggigit bibirnya, lalu mengangguk. Ucapan Vidy seolah seperti hipnotis baginya. Tadinya, tangis Diana ingin meledak. Tapi, setelah mendengar ucapan itu dari mulut Vidy, Diana berusaha tegar.
Diana melihat Vidy berangsur-angsur tenang. Tidak ada lagi erangan kesakitan dari cowok itu. Nafasnya mulai kembali normal, dan tubuhnya tidak lagi gemetar.
Dia merasakan tangan Vidy semakin mengeratkan genggaman di tangannya. "Kenapa? Masih sakit?"
Vidy menggeleng pelan. "Diana, jangan."
"Jangan apa?"
"Jangan tinggalin gue."
Diana terdiam cukup lama mendengar ucapan itu. Dia mengangkat tangannya untuk mengusap air mata yang sedikit keluar dari ujung matanya. Dia menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis. Dia tidak ingin membuat Vidy semakin tersiksa jika harus melihatnya menangis.
Diana kembali mencoba tegar. Dia menghembuskan nafasnya berulang untuk mencegah tangisnya yang akan meledak.
"Gue nggak akan ninggalin lo." Diana ikut mengeratkan genggamannya. "Hidup bahagia bersama gue."
Vidy mengangguk dengan bibir yang ia paksa untuk tersenyum. "Makasih."
Diana membalasnya dengan senyuman yang terbit di bibirnya.
Diana senang bisa berada di samping Vidy saat masa-masa sulit cowok itu. Sekarang Diana bisa melihat sisi lain seorang Vidy. Tidak ada lagi godaan, senyuman tulus cowok itu, hanya kenyataan pahit yang tidak bisa Diana terima.
-0-0-
Diana membuka makanya saat mendengar suara engsel pintu yang di buka. Dia mengangkat kepalanya dan menoleh ke sumber suara. Di lihatnya Windy yang baru masuk dengan membawa paperbag di tangan kirinya.
"Maaf buat lo kebangun," ucap Windy dengan pelan, agar tidak membangunkan Vidy.
Diana tersenyum canggung. "Nggak apa-apa kok. Gue memang udah bangun," alibinya, padahal dia baru beberapa menit memejamkan mata.
Melihat Windy yang sudah datang, Diana berdiri dari duduknya, bersiap untuk pulang. Dia menyampirkan tas di lekukan lehernya. Lalu memakai jaket yang ia letakkan di sofa.
"Win, gue pamit pulang, ya?"
"Nggak mau lebih lama lagi, Di?" tawar Windy.
Diana terkekeh. "Gue nggak mau ganggu istirahat Vidy. Besok gue kesini lagi."
Windy mengangguk maklum. Diana sudah seharian disini menemani Vidy. Pasti dia juga butuh istirahat.
"Lo udah makan, Di?" tanya Windy pada Diana yang ingin membuka pintu.
Tangan Diana menggantung di udara, dia kembali berbalik menatap Windy. "Udah, tadi di kantin rumah sakit."
Windy mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang ia bawa, lalu memasukkannya ke paperbag yang lain. "Ini, cheese cake. Kebetulan gue ada dua."
Diana tiba-tiba jadi teringat saat Vidy memberinya cheese cake padanya. Apalagi bentuk dan topping cheese cake ini sangat mirip.
"Kue kesukaan Vidy," lanjut Windy.
Diana mengambilnya. "Thanks, Win. Gue pergi, ya?"
Namun, saat ingin melangkah, Diana kembali menatap Windy yang sudah sibuk memasukkan sesuatu ke dalam kulkas.
"Mmm... Win," panggil Diana.
Windy menoleh, menunggu Diana mengatakan sesuatu. "Ya?"
"Mmm... Kalo gue boleh tau, beli cheese cake ini dimana, ya?" tanya Diana malu-malu.
Windy berusaha menahan tawanya melihat wajah Diana. Dia tau, cewek itu merasa malu menanyakan hal itu padanya. "Itu gue buat sendiri, Di. Kebetulan Vidy suka banget sama cheese cake itu. Jadi, gue sering buatin untuk dia."
Diana tercengang tidak percaya. Dia kira, selama ini cheese cake itu benar-benar di beli di antartika karena sangkin enaknya. Ternyata Windy yang membuatnya.
Diana tertunduk malu. "Oh, gitu."
Windy memicingkan matanya, lalu tersenyum curiga. "Mau gue kirimin resepnya?"
Diana mengangkat kepalanya, lalu mengangguk dengan semangat. "Mau Win, gue mau!"
Windy tertawa. Dia tau, Diana ingin memberikan sesuatu yang tidak akan pernah di lupakan oleh Vidy. Sesuatu yang terus Vidy ingat sampai akhir hidupnya.
-0-0-
Di scene ini aku nyanyi, "Hadirmu sembuhkan lukaku. Kau hapus lelahku dengan senyummu. Ku percaya kamu. Kaulah cinta terakhirku" (Bagas Ran)
Pas banget liriknya☺️🙏
Jangan lupa vote dan komen yaa:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...