•31•

750 127 9
                                    

Pagi ini, Diana sudah siap dengan pakaian untuk ke kampusnya. Dia berjalan menuruni tangga, dan berhenti saat sampai di ruang makan. Terlihat orang tua dan adik-adiknya sedang menikmati sarapan mereka.

Melihat Diana datang dan menarik kursi tepat di depannya, Afra menyudahi makannya, lalu menegak air putih sebagai penutup.

Diana hanya bisa diam sambil menunduk. Dia makan dalam diam. Diana tau, Afra sedang menatap ke arahnya dengan tatapan mengintimidasi.

"Hari ini nilai ujian kamu keluar, kan?" tanya Afra dengan dingin. Aura mengintimidasi Afra sangat kuat, mampu membuat Diana kehilangan selera makan.

Diana menggigit daging bagian dalam mulutnya. Dia mengangguk kaku, tidak berani menatap ke arah Afra. "Iya, Pah."

"Jangan kecewakan saya." Walaupun singkat, namun perkataan itu terdengar tegas dan menuntut.

Diana hanya mengangguk, lalu Afra pergi meninggalkan ruang makan. Diana menghela nafas pelan. Dia jadi takut, takut sesuatu bakal terjadi hari ini. Melihat Papahnya sedikit percaya padanya, membuatnya sedikit legah. Tapi, jika nanti nilainya tidak sesuai dengan keinginan Papahnya, apa yang akan ia lakukan?

Sesuatu yang hangat dan nyaman menyentuh tangannya. Diana menoleh, melihat tangannya yang di genggam lembut oleh Tisa. Diana menatap wajah Mamahnya yang tersenyum lembut padanya.

"Nggak apa-apa, kamu hebat," ucap Tisa mencoba menenangkan Diana untuk tidak khawatir.

Diana membalas senyuman Tisa tidak kalah lembut. Diana bodoh. Dia lupa kalau dia masih punya Mamah yang sangat baik padanya. Diana mencoba menguatkan dirinya, berpositif thinking dengan semua yang akan terjadi.

"Kamu pergi Mamah yang nganter, ya?" tawar Tisa sambil bangkit dari duduknya.

"Tapi Mah..."

"Nggak apa-apa, Di. Papah udah setuju kalo kamu Mamah yang nganter."

Diana sumringah mendengarnya. Dengan cepat dia mengangguk, lalu kembali menyuap sarapannya yang masih tersisa sedikit.

Setelah selesai, dia memakai sepatunya. Tisa sudah menunggunya di depan. Tidak ingin membuat Mamahnya menunggu lama, Diana memasang tali sepatunya dengan asal. Dia sangat bahagia hari ini. Walaupun sesuatu sedang menunggunya setelah ini.

Diana masuk ke dalam mobil yang sudah ada Tisa di dalamnya. Dia tersenyum pada wanita itu, sebelum akhirnya mobil mereka meninggalkan pekarangan rumah.

Tak beberapa lama, mereka sampai di depan gerbang kampus. Diana tersenyum, lalu menyalim punggung tangan Tisa sebelum akhirnya keluar dari mobil.

Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, tak henti-hentinya Diana tersenyum cerah. Dia juga menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, walaupun dia tidak mengenali orang itu. Dia tidak peduli, karena sekarang dia sedang bahagia.

Saat sampai di kelasnya, teman-temannya sudah ramai mengisi bangku yang kosong. Berarti, hanya dirinya yang belum memiliki bangku. Seruan Amira dari belakang kelas, membuat Diana menoleh. Gadis itu tersenyum melihat Amira mengayun-ayunkan tangannya bermaksud memanggil.

"Diana, sini!"

Diana berjalan dengan cepat menghampiri Amira. Cewek itu menunjuk bangku kosong di samping untuk Diana duduki.

"Dari mana aja lo? tumben lama," ucap Amira sambil mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celananya.

Diana memekik kegirangan. Otomatis membuat Amira yang berada di sampingnya terperenjat kaget. Ponsel di tangannya sampai hampir jatuh.

"Ra, Papah gue kayaknya udah cair, deh."

Amira mengernyit tidak mengerti. "Maksud lo?"

"Tadi Papah gue ngizinin Mamah buat anterin gue," ucap Diana bercerita dengan menggebu-gebu.

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang