Nafas yang tersenggal-senggal dengan amarah yang membara, Affan masih setia memukuli wajah lawannya. Seseorang yang sudah penuh luka di wajahnya itu hampir tidak sadarkan diri. Sementara, Affan enggan bangkit dari tubuh lawannya itu.
"Udah bego! Lo mau buat dia mati?" Dyo yang sedari tadi hanya menonton akhirnya angkat suara. Dia menarik tubuh Affan untuk segera menjauh.
Bukan Affan namanya kalau tidak keras kepala. Dia menepis tangan Dyo, dan kembali memukuli wajah orang itu. "Orang kayak dia ngga pantes hidup!"
Dyo mengacak rambutnya prustasi. Dia benar-benar tidak tau apa yang harus ia lakukan. Wajah Affan terlihat amarah yang begitu mendalam. Kalau Dyo terus menyuruh Affan untuk berhenti, dirinya yang akan menjadi target Affan selanjutnya.
"Sialan! Dia udah pingsan. Percuma lo terus mukuli kalo dia ngga ngerasain apa-apa. Udah, ya?" Dyo mencoba merayu Affan untuk berhenti. Dia menarik kerah baju Affan untuk berhenti memukulinya lagi.
Affan menutup matanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Tangannya masih terkepal di samping tubuhnya. "Coba aja dia ngga nyentuh Diana waktu itu, gue ngga bakal segila ini," desisnya pelan.
Dyo menatap temannya itu. Lagi-lagi, Affan hilang kendali karena Diana. Dyo tidak mengerti kenapa Affan repot-repot memukuli orang-orang yang mengganggu Diana, sementara cowok itu sendiri menyakiti.
"Lagian dia udah minta maaf, kan?" kata Dyo mencoba memberi nasehat.
Affan membuka matanya dan langsung menoleh pada Dyo. Dia bangkit dari tubuh cowok itu. "Orang cabul kayak dia jangan pernah di maafin, Yo. Dia akan terus ngulangin kesalahan yang sama. Mungkin bukan sama Diana, tapi sama cewek-cewek lain. Kita ngga tau, kan?"
Dyo menghela nafas. "Fan, stop mikirin apa yang seharusnya ngga lo pikirin. Peduli pada sesuatu itu, cuman ngebawa masalah untuk lo."
"Yo, gue cuman--"
"Kalo lo masih sayang sama Diana, bilang. Berapa banyak lagi cewek yang jadi korban pelampiasan lo?"
Affan diam cukup lama. Dia menyenderkan tubuhnya pada tembok di dekatnya. Perkataan Dyo sulit untuk di terima, tapi semuanya adalah benar. Dia menatap tangannya yang banyak terdapat luka-luka kecil. Lalu, beralih menatap Dyo yang mencoba menyadarkan seseorang itu.
"Masih hidup atau udah mati?" celutuk Affan, lalu mendekat pada Dyo.
Mata Dyo mendelik tajam mendengarnya. "Stress! Bener-bener ngga punya hati lo!"
Affan menarik ujung bibirnya, lalu mengambil helm yang tergeletak di tanah tak jauh darinya. Dia kembali menoleh pada Dyo yang uring-uringan karena panik.
"Urus dia, ya? Gue mau cabut," ucap Affan, lalu berjalan ke arah motor miliknya.
"Eh, anoa! Yang buat dia pingsan bukan gue! Seharusnya yang bawa dia ke rumah sakit itu elo!" cerocos Dyo dengan kesal. Sementara, Affan terus berjalan dan hanya terkekeh mendengar ucapan temannya itu.
Dyo menggaruk pelipisnya dengan kesal melihat Affan tidak merespon ucapannya. Cowok itu benar-benar tidak peduli dengan kondisi lawannya yang sudah babak belur begini. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Dia tidak akan kuat membawa tubuh seseorang itu ke rumah sakit sendirian. Mungkin dia harus menelpon ambulan dan pergi dari tempat ini secepatnya.
-0-0-
Diana menyeruput minuman kaleng yang tadi ia beli di supermarket. Dengan tubuh yang terbalut jaket tebal, Diana mencoba bergelut dengan angin malam yang berhembus kencang. Dia memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan di trotoar jalan.
Tangan yang lain memegang kantong kresek berisi makanan ringan yang juga ia beli. Alih-alih mempercepat langkahnya karena hari semakin larut, Diana malah terhanyut dengan suasana malam.
Diana mendongakkan wajahnya, menatap bulan yang hampir tertutup awan. Hujan akan turun sebentar lagi, Diana bisa memprediksinya dari suara gemuruh yang semakin terdengar jelas.
Matanya beralih menatap ke arah taman. Mata Diana menyipit saat melihat seorang cowok yang sedang menghadap ke arah ring basket sambil memegang bola basket. Tubuh cowok itu terlihat tidak asing. Apalagi saat melihat cowok itu dengan lihaynya memasukkan bola ke dalam ring.
Satu nama yang terlintas ke kepala Diana saat ini. Nama cowok yang tidak Diana duga-duga akan melihatnya di tempat ini. "Affan?"
Diana mencoba berpikir positif, kenapa cowok itu bisa berada di lingkungan rumahnya? Apa dia ingin bertemu seseorang di sini? Atau, ingin bertemu dengan dirinya? Diana menggeleng cepat. Itu hanya sebuah kemustahilan.
Tubuh Diana menegang saat sosok itu balik menatapnya. Dia yakin kalau Affan tengah tersenyum sekarang. Diana membuang wajah ke arah lain, mencoba bersikap seperti tidak melihat sesuatu.
Saat ingin segera pergi, suara cowok itu tiba-tiba membuat tubuhnya berhenti. Diana bergeming di tempatnya. Sudah lama sekali Affan tidak memanggilnya seperti itu.
"Na, bisa bicara sebentar?"
Tubuh Diana kaku mendengar suara itu. Diana mencoba menggerakkan kakinya kembali, tidak ingin merespon ucapan Affan barusan. Dia semakin mempercepat langkah kakinya untuk pergi dari sana.
"Na, gue mohon dengerin ucapan gue kali ini," ucap Affan begitu memelas.
Diana mencoba menulikan pendengarannya. Dia hanya tidak ingin perasaannya kembali memperdayanya, hingga dia tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang Affan. Dia tidak ingin perasaannya memberi harapan lebih. Dia tidak ingin perasaannya menghancurkan ekspetasinya kembali. Walaupun dia enggan untuk pergi dan meninggalkan Affan.
Dulu, Diana sangat sulit menerima keputusan sepihak itu. Tapi, sekarang Diana mencoba bermain dengan logikanya. Mencoba mengikuti arus, sampai titik dimana dia bisa bertahan.
Bahu Affan melesu melihat Diana tidak merespon ucapannya. Cewek itu terus berjalan, dan mengabaikan keberadaan dirinya. Affan tahu, kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Tapi, sekarang Affan sadar, keputusan hubungan itu harus pada dua belah pihak. Selama ini Affan hanya memikirkan dirinya sendiri. Sampai tanpa sadar, dia sudah menyakiti Diana.
Mata Affan terus mengikuti Diana berjalan, sampai seketika hilang saat cewek itu berbelok. Affan menunduk, menahan kekesalannya. Dia menendang bola basket yang tidak jauh darinya dengan kuat.
"ARRGGHHHH!!! SIALAN!!!"
-0-0-
Vote sama komennya mana?
Sepi amat woi, padahal udah 27 chapter😥😥 (curhat kan)Ayo ajak temen-temen kalian ikut baca cerita ini ya☺️
Terus nanti bantu aku ikut ngerevisinya, biar aku tau letak kesalahanku dimana heheArigatou, nyak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...