Hujan dengan cepat memperdaya bumi dalam sekejap. Suara gemuruh yang di hasilkan langit mampu membuat Diana mendesah pasrah. Dia kini sedang berada di halte untuk menunggu bus yang biasa mengantarnya pulang. Beberapa orang yang tadinya juga menunggu di halte, satu persatu pulang dengan taksi, menyisakan Diana seorang diri.
Ucapan Dyo di kantin tadi terus menghantuinya. Di tambah, imbuhan dari Affan yang membuatnya terus bertanya-tanya. Adakah maksud dari pernyataan itu?
Diana menggeleng pelan, membuang pikiran itu jauh-jauh. Dia berdiri dari duduknya ketika bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan cepat, ia masuk ke dalam bus sebelum bajunya semakin basah karena air hujan. Diana mencari tempat duduk yang tepat berada di samping jendela. Kebetulan, hari ini bus tidak terlalu ramai. Jadi, ia bisa leluasa memilih tempat duduk yang ingin ia duduki.
Matanya mengamati pemandangan kota ketika bus itu kembali berjalan. Diana menatap bangunan-bangunan pencakar langit yang sedikit membuatnya takjub.
Diana menoleh saat sesuatu menepuk bahunya dari belakang. Mata Diana melotot saat mendapati wajah Vidy yang terlalu dekat padanya sedang tersenyum jahil. Lantas dengan refleks, tubuh Diana terdorong ke belakang untuk menghindari kontak fisik dengan cowok itu.
"Kaget, ngga?" Senyum jahil Vidy semakin mengembang melihat wajah Diana yang terkejut.
"Astaga! Lo ngga waras?!" pekik Diana sambil menghusap dadanya.
Vidy terkekeh, lalu duduk di samping Diana. "Lo keseringan bilang gue ngga waras, gue jadi ngga waras beneran."
Diana memutar bola matanya, kesal. "Lo emang dasarnya ngga waras!"
Vidy tidak membalas, hanya tertawa. "Mikirin apa, sih? Gue panggilin nggak nyaut-nyaut," kata Vidy sambil membersihkan sisa air hujan yang menempel di bajunya.
Diana menatap cowok itu dengan heran. "Emang lo ada manggil gue?"
"Ada."
"Maafin gue. Gue ngga dengar." Diana menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "T-tunggu, lo kok bisa ada di sini?"
Vidy tersenyum lebar. "Motor gue rusak."
"Oh," balas Diana, tapi langsung tersadar kalau bus ini tidak mengarah ke arah jalan rumah Vidy. "INI BUKAN JALAN KE ARAH RUMAH LO!"
Cowok itu terkesiap mendengar teriakan Diana. Dia menggaruk lehernya, malu saat orang-orang menatap ke arah mereka. "Yang mau pulang siapa?"
"Terus?"
"Gue mau nganter lo pulang."
-0-0-
Vidy benar-benar tidak waras. Dia benar-benar mengantarkan Diana sampai rumahnya. Padahal, Diana sudah mengatakan kalau ia baik-baik saja pulang sendiri. Cowok itu sangat keras kepala.
"Gimana? Gimana? Gue udah jadi pacar idaman, belom?" Wajah Vidy berseri-seri. Matanya memunculkan kira-kira yang indah.
Walaupun perilaku Vidy agak berlebihan, tapi Diana mengakui sikap Vidy yang bertanggungjawab. Cowok itu bahkan menawari Diana untuk di gendong di bahunya, tapi Diana langsung menolak.
"Nggak waras! Gue rasa otak lo kelebihan syaraf," kata Diana yang tidak habis pikir dengan sikap Vidy.
Vidy tertawa mendengarnya. "Bukan kelebihan syaraf, kelebihan nama lo di otak gue."
Mata Diana melotot, tak urung telinganya menjadi panas. "V-Vidiot!"
Saat saling melempar ucapan dengan Vidy, tiba-tiba Afra keluar dari rumah. Wajahnya yang datar mampu membuat Diana menunduk. Tapi, tidak bagi Vidy. Senyum cowok itu mengembang dan langsung menyalim tangan Afra.
"Kenapa nggak masuk?" tanya Afra pada Vidy, lalu melirik Diana yang masih menundukkan kepalanya.
Vidy tersenyum canggung. "Terima kasih, Om. Tapi hari ini saya nggak bisa mampir. Lain kali mungkin saya bisa." Dia tersenyum, menghargai tawaran Afra.
"Nggak bisa, atau..." Afra menatap Diana. "Nggak di tawarin masuk?"
Vidy menatap Diana dan Afra bergantian. Sepertinya, perang dingin Diana dan Papahnya belum menunjukkan titik berdamai. "Nggak bisa, Om."
Afra menggangguk. "Kalo gitu, Om masuk ya," pamitnya, lalu meninggalkan Diana dan Vidy kembali berdua.
Sepeninggalan Afra, Diana masih setia menunduk. Itu membuat Vidy ikut merasakan apa yang di rasakan Diana. Apalagi, aura mengintimidasi Afra pada cewek itu.
"Papah lo udah pergi." Vidy tidak tau apa yang sebenarnya terjadi sampai Afra memperlakukan Diana seperti itu. Bagaimanapun juga, Diana adalah anak kandung Afra.
"Apa gue kelihatan menyedihkan?" ucap Diana dengan nada suara yang sangat pelan dan lirih.
Vidy tersentak mendengarnya. Matanya tidak lepas dari Diana. "Di--"
"Cuma lo yang tau sisi buruk gue. Jadi, lo bisa ngolok-ngolok gue sepuas yang lo mau."
"Nggak ada yang bisa gue olok-olok dari lo. Nggak ada sisi buruk lo di mata gue. Jadi..." Vidy memegang dagu Diana dan memaksa Diana untuk mengangkat kepalanya, membuat cewek itu langsung menengadahkan kepalanya. "Angkat kepala lo."
Mata Diana langsung bertemu dengan tatapan Vidy. Dan perlahan penglihatannya mengabur karena air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. Ketika satu isakan keluar dari mulutnya, tangisnya langsung pecah.
Vidy membawa kepala Diana ke bahunya. Tidak melakukan apa-apa, hanya memberikan Diana sedikit senderan. Satu tangan cowok itu berada di kepala Diana, menepuk-nepuknya dengan pelan.
"Lo udah berjuang keras, ya?"
"Vi...Vidy, kenapa lo bersikap baik sama gue? Atau lo cuma kasihan sama gue?"
Vidy bisa merasakan getaran di isakan Diana. "Gue nggak tau. Gue cuman melakukan apa yang ingin gue lakukan."
-0-0-
/wjysgsbafsuwqiqi /meleyot /melebur /meninggoy😭😭
Jangan lupa vote dan komen :)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...