"DIANA! Lo ngambeknya kebangetan banget sih, Di." Amira mengikuti Diana yang berjalan cepat ke ruang kelas. Cewek itu benar-benar kewalahan mengejar Diana yang sedang marah padanya.
Diana berhenti, langsung menatap garang Amira. "Apa lo bilang? Kebangetan? Yang harus bilang itu gue, lo kebangetan banget! Di saat gue udah mati kutu di depan Affan, lo dari jauh ketawain gue dan kayak ngga terjadi apa-apa!" dumelnya dengan kedua tangan terkepal di samping tubuh. Dia benar-benar kesal pada Amira.
Amira antara kasihan dan ingin tertawa. Mengingat wajah Diana yang ingin menangis saat Affan sudah pergi dari hadapannya, itu benar-benar sangat lucu.
"Gue 'kan ngga tau kalo Affan ngomong gitu ke lo. Gue kira dia bakal ngaku," ucap Amira mencoba membela diri.
"Ngaku? Yang ada gue yang malu. Untung ngga ada siapa-siapa di sana. Kalo ada, habis gue." Tangan Diana refleks memukul dahinya berulang kali. "Dan bodohnya gue mau nuruti ucapan lo Amiraaa!!!"
Amira kini tidak bisa lagi menahan tawanya. Dia terbahak sampai mengeluarkan air mata. "Lo terus percaya apa kata dia?"
Diana terperangah mendengar ucapan Amira. Bisa-bisanya sudah begini dia berkata seperti itu. Ingin rasanya ia merobek mulut Amira sekarang juga.
"Coba lo pikir deh, Di, ucapan Affan sebelum pergi. Lo ngga curiga? Lo hanya perlu ngumpulin bukti kalo benar dia yang neror lo selama ini. Atau cowok yang gue lihat di depan loker lo waktu itu jangan-jangan orang suruhan dia." Suara Amira memelan membuat Diana lebih mendekatkan tubuhnya pada cewek itu.
"Maksud lo, Vidy?" tanya Diana penasaran.
Amira terkejut saat Diana mengenal cowok itu, ia kira Diana tidak kenal cowok asing itu. "Lo kenal sama dia?"
"Gue lupa nyeritain ke lo waktu itu. Ceritanya panjang banget," kata Diana menekankan kata 'banget'.
"Udah lupain. Sekarang kita mikirin gimana caranya cari bukti-bukti kalo Affan bersalah." Amira tampak serius. Dia membisikkan sesuatu pada Diana.
Diana mendengarkannya dengan serius. Dahinya terus mengernyit dan pada akhirnya...
"Gila lo! Gue ngga mau, ah!" Diana menolaknya dengan terus terang. Ide Amira benar-benar gila. Kalau begini lebih baik dia tidak mau tau.
"Lo harus mau. Lo mau terus-terusan di teror kayak gini? Kalo gue jadi lo, sih, gue ogah lahir batin," ujar Amira meyakinkan Diana.
Diana tampak berpikir. Dia benar-benar tidak mau memakai ide yang Amira beri. Tapi di lain sisi, dia penasaran siapa orang yang terus menerus menerornya dengan surat itu.
"Tapi lo bantuin gue, kan?" ucap Diana sambil menatap temannya itu dengan curiga.
"Ya, iya dong. Masa temen gue yang unyu-unyu ini ngga gue bantuin," jawab Amira sambil menguwel-nguwel pipi Diana. "Bantu doa maksudnya."
Amira tertawa dan langsung berlari saat mengatakan itu. Diana yang kesal tidak tinggal diam. Dia mengejar Amira dan langsung mengapit kepala cewek itu di sela-sela ketiaknya.
"Cium lah aroma surga dunia ini wahai syaitonn!!!"
-0-0-0-0-0-
"Fan, makan dulu! entar lo sakit lho." Dyo meneriaki Affan yang sedang membaringkan tubuhnya di sofa apartemennya dengan mata tertutup namun tidak tidur. Bahkan ketika langit mulai gelap dan satu persatu temannya mulai pulang, Affan tetap tidak mau bangkit dari sofa itu. Dyo memberikan sebuah nasi bungkus yang tadi ia beli, menaruhnya di meja. "Makan, Fan. Apa perlu gue suapin?"
Affan membuka matanya sambil mengdengus kasar. Dia bangkit dengan malas. "Suapin bibir-bibirmu!"
Dyo tertawa saat kembali dari dapur untuk mengambil minum. "Makanya makan. Entar lo mati gue yang repot. Di sangka gue yang bunuh lo."
Affan menghela nafasnya, "Minta rokok, dong?" pintanya sambil merogoh saku celana Dyo.
"Santai, woi! Jangan grepe-grepe gue gitu dong." Tangan Dyo memegang gelas, membuatnya tidak bisa menepis tangan Affan di bokongnya.
Saat sudah meletakkan gelas di meja, Dyo melemparkan sekotak rokok ke arah Affan yang segera ditangkap cowok itu dengan cekatan. Affan membuka tutup rokok itu, lalu meletakkan sebatang rokok di sela bibirnya. Ia membakar ujung lintingan dan menghirup dalam-dalam. Embusan asap keluar dari bibir, berharap pikirannya juga ikut terbawa terbang ke udara.
Dyo hanya menatap temannya itu sambil memakan nasi bungkus miliknya. Dia menggelengkan kepala melihat Affan yang benar-benar terlihat seperti orang salah arah.
"Tadi Diana datangin gue," ucap Affan membuka obrolan. Dia kembali menghempuskan asap dari bibirnya.
Aktivitas mengunyah Dyo sempat terhenti mendengar ucapan temannya barusan. Dyo sudah menduga-duga kenapa Affan tidak mood seharian ini. Alasannya pasti karena memikirkan Diana. Mantannya yang ia lepas begitu saja tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa lagi? Dia punya cowok baru?"
Affan berdecak mendengar itu. "Ya, mana gue tau. Lo kira gue cenayang," sungutnya kesal.
"Santai ngapa, Fan." Dyo terkekeh. "Jadi karena apa lagi, nih?"
"Dia bilang gue yang selama ini neror dia pake surat. Emang gue kurang kerjaan, neror-neror begitu?" Affan mengomel tak luput dari awasan Dyo yang kembali terkekeh.
"Jadi, yang neror Diana bukan lo?"
Mata Affan mendelik, "Ya bukan lah!"
"Jadi, lo kesel karena di tuduh Diana?" tanya Dyo lagi.
"Bukan. Gue ngga suka aja Diana di teror-teror kayak gitu."
Entah sadar atau tidak Affan berkata seperti itu, tapi itu mampu membuat Dyo yang telah selesai makan, tersenyum curiga sekaligus aneh. Dyo yakin, Affan telah keceplosan mengungkap ke khawatirannya pada Diana.
"Ooo, jadi temen gue khawatir sama mantannya," tebak Dyo terang-terangan.
"Khawatir apaan, sih!"
"Udah, ngga usah ngelak lagi. Gue udah tau!" Dyo menyimpulkan sendiri sambil tertawa.
"Gausah ngaco lo! Jelas-jelas gue ngga ada bilang kalo gue khawatir sama dia."
"Itu namanya pernyataan khawatir yang ngga tersirat. Lo takut Diana kenapa-napa, kan?" Dyo semakin semangat meledek Affan ketika cowok itu terlihat gelagapan dan gelisah.
Raut wajah kesal Affan semakin terlihat jelas. Dia tidak membalas ucapan Dyo. Matanya beralih menatap jendela apartemen yang langsung menampakkan jalan raya yang cukup ramai. Rokok yang ada di tangannya sudah mengecil, tidak tau sebanyak apa ia menghisapnya. Pikirannya melayang kemana-mana, terutama pada Diana.
Dyo kembali dari dapur. Cowok itu mendudukkan tubuh di sofa single sebelah Affan. Masih dengan senyuman menggoda, dia menatap Affan yang sedang melamun.
"Fan," panggilnya.
Affan menoleh dengan malas. Wajahnya sudah tidak terlihat kesal. Tapi Dyo masih merasakan kekesalan Affan padanya.
"Dengerin, gue mau ngasih nasehat buat lo. Kalo lo khawatir, khawatir aja. Tapi jangan pernah lupain cewek lo. Dia ngga tau kalo lo lagi ngekhawatirin cewek lain. Lo kira enak, pacaran sama cowok yang masih terikat sama masa lalunya?"
-0-0-0-0-
Affan ini tipe-tipe cowok gengsian😏
Jangan lupa vote dan komen yaa:))
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...