Amira menggapai ponsel di atas tempat tidurnya. Dia membukanya, berharap ada kabar baik dari Vidy. Namun, pesan terakhir yang ia kirim pada cowok itu tidak kunjung di balas.
Cewek itu resah sendiri. Dia takut terjadi sesuatu pada Diana. Dia sedari tadi mondar-mandir sambil menggigiti kukunya. Amira cemas, panggilan untuk Diana masih di luar jangkauan. Ponsel Vidy juga tidak bisa di hubungi sampai sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus mencarinya juga?
Ketika ingin bersiap untuk pergi, tangan Amira menggantung di udara saat mendengar bel rumahnya yang berbunyi. Amira bergegas turun untuk membukakan pintu karena orang tuanya sedang pergi ke luar kota, dan Daris sedang tidak di rumah.
"Iyaa, sebentar!" teriaknya saat menuruni tangga.
Amira menggapai daun pintu, lalu membukanya sedikit, mengintip siapa yang bertamu malam-malam begini.
Mata cewek itu melebar melihat Vidy berdiri di depan pintu rumahnya.
"Vidy."
"Ra, maaf ganggu lo malem-malem begini. Gue mau nitipin Diana sebentar sama lo, bisa?" kata Vidy pada Amira.
Amira mengernyit, tidak melihat keberadaan Diana bersamanya. "Diana mana?"
Setelah mengatakan itu, cewek dengan mata sembab, keluar dari balik tubuh Vidy. Tanpa alas kaki, Diana maju sejajar dengan Vidy.
"Astaga! Lo kenapa?" tanya Amira dengan wajah panik. "Bibir sama pipi lo kok bisa kayak gini?" Amira menyentuh pipi Diana dengan pelan.
Diana tidak menjawab. Dia langsung memeluk Amira dan kembali menangis. Amira yang mengerti membalas pelukan temannya itu. Dia mencoba menenangkan Diana yang merancau histeris.
Amira melonggarkan pelukannya, beralih menangkup wajah Diana. "Lo masuk dulu, gue akan siapin obatnya, ya?"
Diana mengangguk, lalu melepas pelukannya pada Amira. Dia berjalan masuk sendiri menuju kamar Amira.
Sementara, Amira kembali menatap Vidy. Mencoba meminta penjelasan lebih pada cowok itu. "Diana kenapa?" tanyanya.
"Ceritanya panjang. Gue ngga bisa jelasin sekarang. Gue mau Diana sendiri yang cerita sama lo," kata Vidy, langsung mendapatkan anggukan dari Amira. "Yaudah, gue--"
Mata Amira tiba-tiba memicing, dan langsung melebar melihat cairan kental berwarna merah mengalir di hidung Vidy.
"Vid, lo mimisan?" kata Amira memotong ucapan Vidy.
"Shuttt..." Vidy meletakkan telunjuk di bibirnya, lalu dengan cepat mengusap darah dari hidungnya. "Jangan keras-keras, nanti Diana denger."
Amira langsung mengatup bibirnya rapat-rapat. "Perlu... gue ambilin tisu?" tawar Amira dengan suara pelan.
Vidy menggeleng. Tangannya masih menutup hidungnya yang masih mengalir darah. "Nggak usah, Ra," tolaknya. "Jagain Diana, ya? Karena mungkin beberapa hari gue nggak akan bisa di hubungi," lanjutnya.
Amira menatap sendu pada Vidy. "Lo masih ngejalanin pengobatan itu, kan?"
Vidy mengangguk sambil tersenyum. "Gue cabut, ya." Vidy berbalik, dan langsung berjalan menuju motornya. Cowok itu pada akhirnya berlalu pergi.
Amira menatap punggung Vidy, dan akhirnya menghilang saat keluar dari pekarangan rumahnya.
Amira masuk ke dalam rumah, mencari beberapa obat yang bisa ia pakai untuk mengobati luka Diana. Setelah di dapatnya, dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui Diana.
Saat sudah di kamar, cewek itu mendapati Diana yang tertidur pulas, dengan air mata yang masih menyerebak hampir di seluruh wajahnya. Amira duduk di pinggir tempat tidur, mengamati wajah damai Diana. Dia tersenyum tipis, tangannya terulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Diana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...