Matahari tidak begitu terik siang ini. Diana sekarang sedang berada di taman komplek untuk sedikit menjernihkan pikirannya. Sudah hampir dua jam dia tidak meninggalkan tempat itu dan tetap berada pada posisinya.
Diana memejamkan mata kala angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Cewek itu menghela nafas panjang sebelum kembali membuka mata.
Fokusnya teralihkan ketika menangkap satu keluarga yang sedang menemani anak-anaknya bermain. Diana tersenyum kecil melihat keakraban keluarga itu.
Dulu, waktu kecil dia juga seperti itu sebelum sikap Afra berubah. Sebelum adik-adiknya lahir, Afra sangat menyayanginya. Tapi, setelah itu tidak ada lagi sikap penyayang yang Diana dapat dari pria itu.
Diana kembali menghela nafas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke belakang, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Gue capek," katanya pelan.
Diana merasa ponselnya bergetar. Dia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel itu. Di liriknya sekilas layar ponselnya, terlihat nama Amira yang ternyata menelpon.
Dia tidak ingin mengangkatnya dan hanya membiarkannya sampai deringan berakhir. Diana masih enggan untuk berbicara dengan cewek itu. Amira yang benar-benar ia anggap sahabat dan juga keluarga, bisa melakukan itu padanya. Diana hanya tidak bisa mempercayai itu.
Ponselnya kembali bergetar dengan nama si penelpon yang sama. Diana membuang nafas pelan, lalu meletakkan ponsel itu di kursi sebelahnya. Membiarkannya lagi sampai deringan itu berakhir.
Diana masih ingin sendiri, dia ingin tenang lebih lama lagi.
Suara notif pesan masuk membuatnya melirik sekilas pada ponsel itu. Diana meraihnya, berharap seseorang yang ia tunggu kabarnya, mengirimnya pesan. Namun, harapannya pupus. Ternyata, itu juga dari Amira.
Ketika ingin mengabaikan lagi, hati Diana sedikit tersentil untuk membalasnya.
Amira:
Dianaaa
Lo dimana?
Tolong angkat telfon gue bentarDiana:
Apasiihhh?!
Jangan ganggu gue lagi!Amira:
Ada yang perlu gue omonginDahi Diana berkerut membacanya. Dia menunggu pesan berikutnya setelah melihat Amira sedang mengetik.
Amira:
Vidy udah masuk masa terminalSeperti ada ledakan besar di hatinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Nafasnya seperti tercekat di tenggorokan yang membuatnya sulit untuk bernafas. Diana mematung cukup lama, menatap pesan yang Amira kirim. Dia membacanya berulang kali, berusaha mencari kata yang mungkin Amira salah mengetik. Namun, kalimat itu tetap sama.
Seluruh badan Diana terasa lemas. Dia tidak percaya jika tidak membuktikannya sendiri.
Diana beralih pada roomchat dirinya bersama Vidy. Pesan terakhir yang ia kirim tidak ada balasannya. Diana berusaha berpikir positif.
"Nggak, nggak mungkin, kan?" katanya bermonolog sendiri.
Jari-jarinya mulai menari di atas layar. Dia ingin menghubungi Vidy, dan memberi taunya kalau yang di katakan Amira itu salah. Diana yakin Vidy masih sehat-sehat saja saat terakhir mengantarnya pulang.
Diana menghembuskan nafas berulang, berusaha menghilangkan rasa panik dalam dirinya.
Deringan ponsel berdering namun tidak kunjung di angkat oleh pemiliknya. Diana kembali mencoba, namun hasilnya tetap sama.
-0-0-
Diana menatap gedung besar di depannya dengan perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ini rumah sakit yang di beri tau Amira tadi. Kakinya dengan pelan melangkah memasuki area gedung itu sebelum akhirnya berdiri bingung di depan pintu masuk.
Amira hanya memberi taunya nama rumah sakit, tapi tidak ruangan Vidy di rawat. Antara tidak percaya dan percaya pada cewek itu, Diana tetap datang untuk membuktikannya sendiri.
Diana tersentak saat seseorang menepuk bahunya. Diana menoleh, ternyata itu Amira yang kini tersenyum padanya.
"Lo udah lama?" tanya Amira mencoba berbasa basi.
"Belum," jawab Diana dengan cuek. Dia enggan menatap wajah Amira lebih lama lagi dan akhirnya membuang pandangan ke arah lain.
Amira tersenyum maklum. Dia tau, Diana masih marah padanya. Amira tidak bisa memaksa Diana untuk bersikap seperti dulu, karena Amira tau seperti apa rasanya di bohongi oleh orang terdekat kita.
"Kalo gitu, biar gue antar lo tempat Vidy, ya?"
Diana tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengikuti Amira yang sudah jalan lebih dulu. Perasaan semakin tidak enak saat masuk lebih dalam ke rumah sakit itu. Kepalanya celingak-celinguk menatap orang-orang yang berlalu lalu.
Diana menatap punggung Amira yang berhenti di salah satu ruangan yang tertutup dengan kaca yang tidak terlalu gelap. Awalnya Diana tidak sadar, tapi saat melihat ke dalam ruangan itu matanya langsung melotot.
Darahnya mendesir hebat, nafasnya kembali tertahan di tenggorokan. Badan Diana kaku seperti patung setelah apa yang di lihatnya barusan. Vidy yang tengah berusaha menggerakkan kakinya dengan bantuan pegangan di kedua sisi tubuhnya.
Mulut Diana benar-benar tidak bersuara sedikit pun. Dia tidak percaya apa yang sedang di lihatnya sekarang. Seperti bermimpi, tapi ini sungguh nyata.
"Terus, perlahan-lahan. Angkat kaki kananmu." Dokter berdiri di depannya, berjaga-jaga kalau Vidy terjatuh.
Setelah sekian lama mematung, Diana tersadar mendengar tarikkan nafas panjang dari Amira.
"Katanya, dia nggak mau kehilangan kekuatan otot kakinya. Dia masih pengen jalan, dia masih pengen lari. Dia masih pengen ketemu sama lo, Diana. Walaupun Vidy sadar, kakinya udah nggak bisa kayak dulu lagi."
Mendengar perkataan Amira barusan, kaki Diana terasa lemas. Dia tidak mengerti kenapa Vidy jadi bisa seperti itu. Diana menatap Amira, meminta penjelasan lebih pada cewek itu.
"Vidy udah lama sakit. Dia berusaha nutupin ini dari lo, biar lo nggak khawatir."
Diana semakin bingung. Kenapa Amira bisa tau semuanya? Apa hubungan cewek itu dengan Vidy? Diana yakin, ada sesuatu yang lebih Amira tutupi darinya.
"Lo tau semuanya, kan?" Diana mendekat pada Amira, menghadap cewek itu sepenuhnya.
"Di, gue-"
Amira tidak melanjutkan ucapannya saat mendengar suara gaduh dari ruangan itu. Amira dan Diana sama sama menoleh. Mata mereka langsung melotot melihat Vidy yang terjatuh.
"Kita istirahat dulu, ya. Kamu udah terlalu memaksakan diri." Dokter mencoba membantu Vidy berdiri.
Cowok itu tertawa pelan. "Nggak apa-apa kok, Dok. Saya masih bisa."
Diana yang melihatnya sungguh tidak tega. Apalagi melihat semangat Vidy yang tidak mudah menyerah.
"Ini semua berkat lo, Di. Vidy berjuang untuk sembuh supaya bisa sama-sama lo lagi," kata Amira tanpa menatap wajah Diana.
Diana langsung menoleh, lalu tiba-tiba mencekram kedua bahu Amira. "Jelasin sama gue tentang semua yang gue nggak tau!"
-0-0-
note: Masa Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/ sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian. (google)
Jangan pelit vote sama komen dong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...