•4•

1.6K 201 2
                                    

Pagi ini, Diana sudah rapi dengan baju kuliahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi ini, Diana sudah rapi dengan baju kuliahnya. Akhirnya semalam ia diijinkan pulang oleh dokter setelah memohon berkali-kali agar di pulangkan. Makanan rumah sakit membuatnya ingin muntah, hambar tanpa rasa.

Biasanya kalau alerginya kumat, Mamah dan Papahnya hanya membawa Diana ke klinik terdekat atau tetap dirumah. Tapi kali ini sudah terlanjur, jadi mau gimana lagi? Dirumah sudah disediakan oksigen khusus untuk dirinya. Papahnya bilang, Diana hanya membutuhkan oksigen untuk meredakan alerginya.

Setelah semua siap, Diana turun untuk menemui orang tua dan adik-adiknya yang sedang menyantap sarapan di ruang makan. Terdengar hanya sendok garpu dan piring yang beradu. Tidak ada obrolan santai, ataupun tawa. Benar-benar sunyi seperti biasa.

Diana menarik kursi tepat di depan Papahnya. Suasana seketika berubah menjadi tegang saat pria paruh baya itu meletakan sendok sedikit membanting. Aura menyeramkan keluar dari Papahnya. Tatapan pria itu seakan mengintimidasi Diana.

"Sudah berapa kali saya bilang, kamu itu udah besar, kenapa tidak bisa menjaga penyakit kamu?" Perkataan itu benar-benar membuat bulu kudu Diana merinding.

"Maaf, Pah. Tapi--"

"Tapi apa?! Tapi kalo kamu ngga sengaja, iya? Alasan kamu terus membuat saya muak!" Afra bangkit dari duduknya. Sepertinya dia benar-benar marah. Terlihat dari matanya yang memerah menahan emosi.

Sebisa mungkin Diana menahan tangis. Tisa yang biasanya membantu, kini hanya bungkam, seolah ini semua salah dirinya. Mereka pikir, dirinya mau seperti ini? Mana ada orang yang mau seperti dia. Diana sendiri ingin semua ini berakhir.

Di tuntut untuk sempurna bukanlah hal mudah. Nyatanya, sampai sekarang ia tidak bisa mencapai kesempurnaan itu. Bahkan untuk menjaga penyakitnya saja ia tidak bisa. Kadang, apa yang di minta orang tua, anak mereka tidak bisa mencapai batas itu.

"Saya sudah cukup mengingatkanmu. Kalau kamu mau membunuh dirimu sendiri dengan penyakit itu, silahkan. Akan lebih baik menurut saya." Setelah mengatakan perkataan itu, Afra meninggalkan ruang makan sambil mencoba menurunkan emosi.

Sementara, Diana yang mendapat perkataan itu tidak bisa lagi menahan tangisnya. Di depan Mamah dan adik-adiknya dia menangis tanpa suara. Sambil menyendokkan nasi kemulutnya, ia berusaha menelan makanan itu. Terasa hambar.

"Kalo kamu udah siap, kamu langsung ke kampus ya. Omongan Papah kamu jangan di ambil hati, dia ingin kamu selalu sehat. Mamah mau nganter adik-adik kamu ke sekolah. Uang jajan udah Mamah letak di laci." Sambil berkata, Tisa mengelus rambut Diana, mencoba menenangkan tangisannya. Diana hanya mengangguk, mengiyakan.

Selalu seperti ini. Jika menyakitnya kambuh, Papah selalu memarahinya dan Mamah akan menenangkan. Afra tidak pernah berkata lembut padanya. Selalu memakai nada tegas atau nada marah setiap kali berbicara. Diana dulu sempat bingung kenapa Papahnya seperti itu.

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang