•50•

862 84 3
                                    

Diana mendapat kabar dari Windy kalau keadaan Vidy semakin melemah setiap harinya. Windy merasa beberapa hari ini obat-obatan yang masuk ke tubuh Vidy tidak bekerja, melihat keadaan Vidy yang sekarang jauh dari kata sembuh.

Cowok itu sering kali terbangun tengah malam, lalu merintih kesakitan memegangi kepalanya. Windy tau, itu bukanlah sandiwara atau drama yang di buat-buat.

Diana mencoba membuat senyuman semanis mungkin saat sudah berada di depan ruangan Vidy. Matanya menatap sayu paperbag yang ia bawa. Sekali lagi, dia membuatkan Vidy kue kesukaan cowok itu.

Tangan Diana terulur membuka pintu. Terlihat Vidy yang tengah mengobrol bersama Daris dengan suara yang begitu pelan. Ada Amira yang duduk di sofa sambil bermain ponsel, lalu ia mendongak saat melihat Diana datang.

Amira tersenyum, namun Diana tidak mempedulikannya. Dia meletakkan paperbag yang ia bawa di atas nakas. Melihat Vidy dan Daris yang mengobrol dengan serius, Diana mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Di liriknya sekilas Amira yang masih menatapnya. Senyum cewek itu terlihat tulus, namun ada sedikit paksaan di dalamnya.

"Diana, bisa bicara sebentar?" Amira tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu mendekat beberapa langkah ke arah Diana.

Diana tidak menjawab, dia hanya menganggukkan kepala lalu berjalan keluar dan Amira mengikutinya dari belakang.

Sebelum mendudukkan tubuhnya, Diana menghirup nafas dalam-dalam mencoba menetralkan emosi yang ada di dalam dirinya.

Amira duduk di sebelah Diana. Mereka cukup lama hanya diam, tanpa peduli siapa yang akan membuka suara duluan.

Menit-menit pun berlalu. Mereka tetap berada di posisi mereka seperti itu. Sampai akhirnya Amira mengalah. "Udah sering jengukin Vidy?"

Diana menoleh sekilas. "Setiap hari."

Amira mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Lo kelihatan gelisah, ada masalah?"

Diana mengangguk lalu tak lama menggeleng, dia terlihat ragu. "Vidy-"

"Ya, kita semua tau. Nggak ada obat yang bisa nyembuhin penyakit Vidy, cuma hanya memperlambat kematiannya."

Diana sontak menoleh menatap Amira setelah mendengar ucapan itu. Tubuh Diana menegang, lalu tak lama melemah. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Apa yang di katakan Amira sangat benar. Sangat kecil kemungkinan untuk Vidy bisa sembuh dari penyakit itu.

Diana mengelurkan suara dengusan. Dia kembali menatap ke depan tanpa mengatakan apa-apa lagi. Dia menautkan jari-jarinya, lalu menatap ke bawah.

"Tujuh puluh lima kilogram. Berat badan Vidy benar-benar turun drastis. Gue sampe nggak bisa ngebayangi gimana kalo gue jadi dia."

Diana kembali menoleh pada Amira, menatap cewek itu dari samping. Diana paham maksud dari perkataan Amira tadi. Namun, Diana tidak mengira berat badan Vidy turun sampai sedrastis itu.

"Seharusnya gue nggak ke sini. Seharusnya gue nggak liat dia lagi kalo akhirnya dia kayak gitu." Amira tertunduk, dia mencoba menahan tangisnya mati-matian.

"Semua ini kayak mimpi. Kenapa ini harus terjadi sama Vidy? Dan usianya yang masih muda." Amira mendesis kata-kata itu dengan pelan, dia prustasi dengan situasi yang seperti ini.

Diana menundukkan kepalanya lebih dalam lagi. "Nggak adil."

Amira mengangguk setuju. Ini semua sangat nggak adil bagi Vidy. Tapi balik lagi ke awal, ini semua sudah ada yang mengaturnya. Tuhan tidak akan memberikan ujian seberat itu kalau tidak ada hikmah di dalamnya.

"Gue nggak mau ngunjunginya lagi. Gue udah cukup ngelihat Vidy kayak gitu. Gue nggak tega." Amira menghadap Diana sepenuhnya. Dia mengambil satu tangan Diana, membuat si mpuh tersentak kaget. "Selalu di sisinya mulai sekarang ya, Di. Gue nggak tau gimana lo bisa ngelakuin hal itu, tapi saat lo di samping Vidy, dia jadi kuat lagi."

Diana menatap tangan yang di genggam Amira. Kata-kata Amira seolah memukulnya sangat keras dari yang dia bayangkan. Dia tidak ingin menatap wajah cewek di depannya, karena Diana sudah tau tidak ada lagi senyuman di wajahnya.

Diana menarik tangannya, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Dia hanya takut, melihat Amira yang kini menangis, dia akan ikut menangis. Yang hanya bisa Diana lakukan adalah terdiam sambil menahan isakan yang sudah hampir di tenggorokannya.

"Vidy tadi bilang, kalo dia sering mimpiin lo. Dia senyum-senyum sendiri kalo teringat itu," ucap Amira di sela-sela tangisnya. "Kehadiran lo membawa perubahan besar bagi Vidy, Di. Dia bahkan bilang, dia sangat bersyukur bisa ketemu sama lo. Walaupun sampek sekarang dia belum bisa buat lo jadi miliknya."

Darah di tubuh Diana mendesir dengan hebat. Di remasnya ujung kursi dengan kuat. Matanya mulai mengabur karena tertutup air mata yang mendesak untuk jatuh.

Kepalanya terasa sangat berat. Jantungnya berdetak dengan cepat, tidak seperti tempo biasanya. Diana membayangkan senyuman yang sering Vidy tunjukkan padanya. Dia baru tersadar kalau senyuman itulah yang selama ini menguatkannya.

Sekeras apapun menahan air matanya agar tidak jatuh, Diana tetap tidak bisa. Dia menyerah, dan membiarkan isakan di mulutnya keluar. Awalnya hanya isakan kecil, namun lama kelamaan suara tangisnya terdengar sangat jelas.

Amira memegang bahu Diana, lalu merangkulnya dari samping. Dia tau rasanya jika harus menjadi Diana.

"Kenapa... semua yang gue anggap rumah malah pergi dari hidup gue?" Diana menutup wajahnya sangkin tidak kuat menahan dirinya agar tidak histeris.

Amira memejamkan matanya mendengar itu. Dia tidak tau harus berkata apa selain diam dan memeluk tubuh sahabatnya itu.

"Seharusnya jangan datang kalo cuman buat luka."

-0-0-

Keknya aku keseringan up deh😭🙏
Jangan bosen-bosen yaa, maapinn

Jangan lupa vote sama komennya!

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang