Affan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Bajunya basah kuyup karena hujan yang begitu lebat menyerang tubuhnya. Raut amarah tampak di wajah cowok itu. Luka robek di ujung bibirnya sangat jelas terlihat.
Dia memasuki halaman rumah besar, lalu memarkirkan motornya dengan sembarangan. Emosinya sudah benar-benar tidak bisa di reda lagi.
Dengan kuat, Affan mengetuk pintu rumah besar itu. Salah seorang pembantu membukakan pintu dan menyambut Affan dengan handuk kering. Affan tidak mengidahi handuk kering pemberian pembantu rumah besar ini. Dia tau pembantu ini sedang ketakutan melihat kondisinya yang basah kuyup dengan wajah yang memar-memar.
"Den Affan, ada apa?" tanya pembantu yang biasa di panggi Bi Uyo itu. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Dimana Papa?" Bukannya menjawab, Affan balik bertanya.
Bi Uyo tidak menjawab. Dia tertunduk ketakutan.
"Dimana gue bilang?! Papa gue dimana?!!" sentak Affan pada Bi Uyo.
Affan sadar Bi Uyo sedang menutupi sesuatu. Tidak seperti biasanya, Bi Uyo akan memberi tau. Tapi kali ini wanita paruh baya itu hanya diam.
"Den..."
Karena Bi Uyo tidak menjawab, Affan mendorong tubuh Bi Uyo yang berdiri di depan pintu. Affan masuk, lalu berjalan tergesah menuju ruang kerja papanya. Affan membuka pintu itu dengan sedikit pembanting. Terlihat Airul yang sedang berkutat dengan berkas-berkas di depannya.
Melihat Affan membuka pintu kerjanya begitu saja, pergerakan menulis tangannya terhenti. Dia menatap Affan tanpa ekspresi dengan wajah datar.
"Maksud Papa apa? Maksud Papa apa nyuruh anak buah Papa nyulik Diana?!" Emosi Affan menggebu-gebu, nafasnya memburu.
Airul tampak tenang. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Affan yang hampir gila karena menahan emosinya.
"Tenang kan dirimu." Benar-benar tenang. Airul mendudukkan dirinya di sofa dan hanya memandangi Affan.
"Gila! Papa udah gila?!" Suara Affan semakin meninggi. Dia tidak habis pikir dengan akal sehat Airul.
"Hormati Papa selayaknya Papamu! Sudah lama Papa menyuruhmu untuk kembali ke sini. Tapi karena kamu keras kepala, Papa harus melakukan cara itu." Ucapan Airul terdengar tegas dan semakin menyulut emosi Affan.
Affan berdecih sambil memalingkan wajah. "Papa ngga pernah jadi teladan untuk Affan. Kenapa Affan harus hormat sama Papa?"
Airul tidak menjawab. Dia hanya memandangi putranya itu.
"Dan dengar Pa. Diana ngga ada hubungannya dengan semua ini. Tinggal di apartemen itu keinginan Affan. Kenapa Papa ngga nyulik Affan aja? Kenapa harus Diana yang jadi sasaran Papa?" Dadanya naik turun. Dia ingin sekali menerjang wajah Airul dengan tinjuannya. Tapi Affan masih waras, Airul itu Papanya.
"ini," tunjuknya pada sudut bibirnya. "ini," tunjuknya pada pelipisnya. "Dan ini." Dan terakhir pada dahinya. "Ini semua karena ulah anak buah Papa!"
Setelah mengatakan itu, Affan meninggalkan Airul di ruang kerjanya. Akal sehat Airul benar-benar sudah hilang. Affan tidak habis pikir karena Papanya senekat itu. Padahal sudah jelas-jelas Diana tidak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi Papanya itu sudah gila.
Affan melihat Bi Uyo masih setia berdiri di depan pintu. Dia jadi merasa bersalah karena sudah membentak wanita itu. Ia terus berjalan sampai ketika kaki Affan berhenti saat Bi Uyo memanggilnya. Wanita itu mendekat padanya dan memberikan sebuah jaket.
"Den, di pake ya. Nanti Den Affan sakit."
Affan sebenarnya tidak ingin memperdulikan Bi Uyo. Tapi, tiba-tiba rasa bersalah itu kembali hadir dan membuatnya mau tidak mau mengambil jaket itu. Tidak bersuara, Affan memakai jaket itu dan cepat-cepat keluar dari rumah ini.
-0-0-
Affan menghentikan motornya di depan sebuah gedung kosong. Dia ada janji dengan seseorang di sini. Teman-temannya sudah menunggunya di dalam.
Suara motor terdengar mendekat. Seseorang itu menghentikan motornya di sebelah motor milik Affan. Wajahnya masih tertutup dengan helm fullface, tapi Affan sudah tau siapa dia.
Saat seseorang itu membuka helmnya, Affan menyunggingkan senyuman. "Cepat lo nyampe," ucapnya basa-basi.
"Elo yang nyuruh bangke!" Cowok itu turun dari motornya dan mendekat pada Affan.
Affan hanya tertawa menanggapinya, tak lama wajahnya mulai serius. "Lo udah ikutin mereka kan?"
Cowok yang di kenal bernama Dyo itu mengangguk dan mengeluarkan ponselnya, lalu memberinya pada Affan. Raut wajah Affan berubah seperkian detik. Bukan ekspresi marah ataupun lainnya. Raut wajah Affan tidak menunjukan ekspresi apa-apa.
"Gue udah ngikutin mereka dari naik taksi. Gue kira mereka mau ke rumah sakit, ternyata ke rumah Diana. Gue juga udah nungguin sampe cowok itu keluar. Tapi ngga ada tanda-tanda cowok itu. Apa mungkin cowok itu sampe sekarang ada di rumah Diana?" Dyo menjelaskan dengan detail. Benar, saat Diana membawa tubuh Vidy pergi, Affan menghubungi Dyo untuk mengikuti mereka. Takut-takut ada sesuatu yang terjadi. Tapi Affan tidak tau kalau Diana akan membawa Vidy kerumahnya.
Affan hanya diam mendengar penjelasan Dyo. Jarinya menggeser layar ponsel, memperlihatkan Diana yang membawa cowok itu ke dalam rumahnya. Affan memberi ponsel Dyo kembali, lalu bergegas pergi. Ia tidak jadi berkumpul dengan teman-temannya. Dia ingin memastikan sesuatu.
"Woi, Fan! Lo mau kemana? Ngga jadi ke dalem?" tanya Dyo dengan sedikit berteriak.
"Lo luan aja. Bilangi sama mereka gue ada urusan mendadak." Setelahnya Affan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak sempat mengganti bajunya yang masih lembab. Untung jaket pemberian Bi Uyo sedikit menghangatkan tubuhnya.
Motor Affan terus melaju membelah jalanan kota Jakarta. Dia terus memikirkan perkatan Dyo tadi. Apa mungkin cowok itu masih di rumah Diana? Kenapa Diana membawanya ke rumahnya? Sial! Affan jadi kepikiran.
Affan memelankan motornya saat sudah berada di komplek perumahan Diana. Dia menghentikan motornya di depan pagar rumah cewek itu. Terlihat rumah Diana yang sudah gelap. Tapi anehnya, kamar cewek itu masih terang.
Affan turun dari motornya, memandangi kamar Diana. Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu. Baiklah, dia seperti orang bodoh sekarang. Apa dia harus menyelinap masuk dan memastikan apakah cowok itu masih di dalam? Affan menggeleng kuat.
Dari pada membuang waktu di sini, Affan akhirnya menyerah dan pergi.
-0-0-
Ayoo Affan masih ada rasa ya sama Diana sampe khawatir gitu haha
jangan lupa Vote dan komen yaa:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...