•38•

703 108 3
                                    

Diana menatap genggaman tangan Affan di tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diana menatap genggaman tangan Affan di tangannya. Air mata yang sudah berlinang di pelupuk matanya akhirnya jatuh juga. Cewek itu bahkan tidak kuasa menatap wajah Affan.

"Dengerin penjelasan gue dulu, ya?" mohon Affan dengan wajah memelas.

Diana menarik tangannya dengan kasar, menahan diri untuk tidak semakin histeris. "Udah lah, Fan. Terus terang, gue capek. Gue capek beberapa hari ini terus di bohongin. Dan bahkan gue nggak tau salah gue apa." Diana mengusap air matanya dengan kasar.

Diana menatap wajah Affan yang juga sedang menatapnya. "Dulu, gue nyoba ngehancurin dinding yang lo buat, tapi lo terus membangunnya berulang kali."

Cewek itu menjeda ucapannya sebentar, lalu melanjutkannya. "Gue nggak bisa ngelakuin itu lagi, Fan," ucapnya dengan bibir bergetar menahan isakan tangisnya.

Kepala yang menunduk dengan rasa penyesalan yang mendalam, Affan kembali menatap mata Diana yang penuh luka yang pernah ia buat.

"Gue minta maaf untuk semuanya. Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa." Dada Affan begitu sesak kala mengatakan hal itu. "Saat semuanya udah berakhir, apa kita bisa kayak dulu?"

Diana tidak menjawab. Bahkan menatap wajah Affan pun dia tidak sanggup. Nafasnya tercekat, untung saja kegelapan bisa menyamarkan air matanya yang semakin tumpah.

Dengan gelengan kepala, Affan tau jawaban Diana atas pertanyaan tadi.

"Seharusnya kita nggak bertemu sejak awal. Seharusnya gue nggak pernah jatuh cinta sama lo."

Ucapan Diana sangat menohok jantung Affan. Dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dari awal memang ini semua salahnya. Diana benar, seharus dia tidak pernah bertemu cowok brengsek seperti dirinya.

"Mulai sekarang, lo dan gue, nggak saling kenal satu sama lain. Seperti yang lo katakan waktu itu."

Bibir Affan benar-benar terkunci rapat. Cowok itu tidak melakukan apa-apa selain menatap wajah Diana. Bahu cewek itu bergetar hebat menahan tangisnya.

"Gue cinta sama lo, tapi hati gue yang sekarang udah nggak senang sama lo lagi."

Tangan Affan terulur untuk mengambil tangan Diana, namun langsung di tepis oleh cewek itu. "Maafin gue, Na."

Diana menggeleng pelan. "Bukan... Ini bukan salah lo. Gue aja yang nggak merasa puas sama diri gue sendiri. Makasih atas segalanya."

Diana berbalik, dan langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan Affan yang termangu di pijakkannya. Dia benar-benar harus berdamai dengan dirinya sendiri. Berdamai dengan keadaan yang benar-benar membuatnya kecewa beberapa hari ini.

Diana menangis sejadi-jadinya sepanjang trotoar jalan. Dia tidak peduli jika orang-orang menatap aneh pada dirinya. Dia terlalu capek dengan semua yang dia dapat belakang ini. Dia tidak menyangka dia bisa sebodoh ini, yang terus-terusan di bohongi oleh orang-orang di sekitarnya.

Keputusan Diana sudah bulat, dia tidak ingin bertemu Affan lagi. Dia tidak ingin menangis karena cowok itu lagi, ini adalah yang terakhir.

Diana menghentikan kakinya, dia terdiam di bawah lampu jalan. Dia termenung di sana, merenungi dirinya yang benar-benar bodoh.

Dia tiba-tiba berjongkok, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu menangis kembali. Membiarkan kesunyian malam mendengarnya. Mendengar isi hatinya yang benar-benar sudah hancur sekarang.

Malam ini adalah saksi, bagaimana dirinya semakin terpuruk karena orang-orang yang dia percaya.

Diana berteriak kuat, memukul dadanya yang begitu sesak. Rasanya seperti terhimpit batu yang sangat besar. Hatinya sangat sakit.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Diana membiarkan hujan mengguyur tubuhnya yang sudah tidak berdaya ini. Lebih baik seperti ini, dari pada harus mencari tempat berteduh di tempat yang tidak tepat.

Dia baru tau, dunia ini begitu kejam padanya. Keadaan terus membuatnya kecewa sampai tidak tau yang mana benar dan salah. Diana tidak pernah berpikir, orang yang dia percaya akan sejahat itu padanya.

Masih di bawah lampu jalan, Diana sudah tidak menangis. Dia merenung sambil memeluk tubuhnya sendiri. Diana membiarkan ponselnya terus bergetar. Dia tau siapa orang-orang yang menelponnya tanpa melihatnya langsung. Karena orang yang merasa bersalah akan terus mencarinya.

Hujan mulai redah, Diana tidak bergeming sedikit pun dari sana. Lebih baik seperti ini, pikirnya.

Diana merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Dia ingin melihat siapa-siapa saja si brengsek yang menelponnya.

Diana berdecih melihat banyaknya panggilan tak terjawab dari Tisa, lalu dari Amira dan terakhir dari Affan. Diana benar-benar tidak habis pikir dengan orang-orang itu.

Saat ingin menutup ponselnya, ponselnya kembali berdering. Awalnya dia tidak ingin mengangkatnya. Tapi, saat melihat nama si penelfon, Diana berubah pikirnya. Dia menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempatkan ponsel itu di telinganya.

"Halo!" Suara panik orang yang menelpon langsung menyambut Diana.

Diana tidak menjawab. Dia membiarkan orang itu meneruskan apa yang ingin ia katakan.

"Diana lo dimana? Lo baik-baik aja, kan?"

Mendengar nada perhatian dari Vidy, Diana hampir menangis lagi. "Vidy... gue capek."

"Lo dimana? Gue akan kesana sekarang."

Diana melihat sekitarnya untuk mencari nama jalan dimana dirinya saat ini. Namun, hanya toserba yang sudah tutup di lihat. Dia langsung mendongak ke atas melihat nama toserba itu.

"Di dekat toserba Gagah."

"Lo tunggu di sana. Jangan kemana-mana sebelum gue datang, oke?"

Diana mengangguk pelan. "Iya."

Panggilan terputus. Diana menatap layar ponselnya tanpa melakukan apapun sampai layar ponsel itu meredup dan akhirnya mati.

Diana menggenggam ponselnya dengan kuat, dan langsung menelungkupkan kepalanya di sela-sela lututnya. Saat ini, dia hanya ingin istirahat di tempat yang hangat dan damai dari orang-orang yang toxic.

Dia cukup lama berdiam dengan posisi seperti itu. Sampai saat dia melihat sepatu seseorang yang berdiri di hadapan. Diana mendongak, menatap Vidy yang memegang payung sambil tersenyum hangat padanya.

Diana langsung berdiri dan memeluk Vidy tanpa aba-aba. Cewek itu kembali menangis di bahu cowok itu.

Walaupun bajunya akan basah karena Diana, Vidy tidak peduli. Dia membiarkan Diana menangis sampai cewek itu tenang. Vidy tidak ingin bertanya apa-apa dulu. Lebih baik Diana yang menceritakan padanya nanti.

"Lo tau, apa yang terjadi sama gue tadi?" ucap Diana di sela-sela tangisnya.

Vidy menggeleng. "Di sini sangat dingin. Ayo kita pulang dulu."

-0-0-

Double up hari ini yaaa
Jangan lupa vote dan komen:))

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang