Diana terdiam takut di depan pagar rumahnya. Matanya menatap Bi Anis yang sedang menyapu teras dengan sedikit terburu-buru. Diana tau apa yang sedang terjadi di dalam.
Dengan langkah pasrah, Diana melangkahkan kakinya dengan pelan memasuki halaman rumah. Diana kembali diam saat Bi Anis menatapnya dengan tatapan sedih. Dia berjalan kembali, melewati wanita itu yang hanya diam menatapnya.
Saat di depan pintu, seember air berisi es batu menyambutnya. Otomatis membuat Diana syok bukan main. Dingin air yang bercampur es batu itu langsung menyengat kulit Diana. Dan seketika berubah hangat saat melihat Afra yg berada di depannya.
"Lelucon macam apa yang sedang kamu lakukan?" Ucapan dingin dari Afra mampu membuat bulu kudu Diana berdiri. Wajah merah Afra yang terlihat tengah menahan amarahnya mati-matian, membuat Diana menelan salivanya. Tubuhnya gemetar, dinginnya air es tadi, di tambah takut akan kemarahan Papahnya.
Diana tau, pihak kampus sudah memberi tau nilainya pada Afra. Bukan, tapi Afra sendiri yang menghubungi pihak kampus untuk menanyakannya sendiri.
"Jawab pertanyaan saya!" Bentakan kasar itu keluar begitu saja dari mulut Afra. "Kamu mau membuat saya malu? Ya, kamu udah berhasil buat saya malu!"
"Pah..."
Satu tamparan telak berhasil mendarat di pipi kiri Diana. Wajah cewek itu langsung berpaling, sehingga rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Tamparan itu berhasil membuat sudut bibir Diana luka. Tapi, itu tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit di hatinya.
"Saya capek ngurusin kamu! Kalo kamu nggak bisa ngasih apa-apa sama saya, setidaknya jadi anak yang pintar!" Afra berbalik dengan kedua tangan di pinggang, membelakangi Diana. "Apa saya kurang ngasih kebutuhan kamu? Apa saya kurang ngasih sekolah untuk kamu?"
"Papah kurang ngasih kasih sayang ke Diana, Pah."
"Kenapa kamu yang harus jadi anak saya?!" Ucapan Afra kali ini membuat jantung Diana mencelos.
Afra kembali membalik tubuhnya dan menatap Diana dengan tajam. Telunjuknya menunjuk Diana dengan intens. "Lebih baik kamu mati," ucap Afra dengan pelan, namun menusuk.
Diana tidak kuat lagi menahan tangisnya. Air matanya tiba-tiba meluruh begitu saja. Hatinya benar-benar sakit, saat orang tua kandungnya sendiri menyuruhnya untuk mati.
"Maksud Papah?" tanya Diana dengan suara lirih. "Aku anak Papah atau bukan, sih? Apa karena nilai aku turun dua, Papah nyuruh aku mati? Kenapa Papah rawat Diana dari kecil kalo akhirnya pengen lihat Diana mati?! Kenapa nggak Papah bunuh aja Diana waktu kecil?! Kenapa, Pah?!"
Satu tamparan lagi mendarat di pipinya, kini pipi sebelah kanan. Wajahnya kembali berpaling. Rasa sakit bekas tamparan tadi saja belum hilang, kini keduanya terasa sakit sekarang.
"Jaga ucapan kamu!" bentak Afra lagi.
Diana menyingkirkan rambutnya yang menutupi wajah. Dia menatap Afra tak kalah tajam. "Kenapa Diana harus jaga ucapan Diana, sedangkan Papah yang seharusnya jadi patokan bagi Diana malah ngucapin yang seharusnya nggak Papah ucapin?!" Diana mengusap air matanya. "Seharusnya Papah yang jadi panutan Diana, Pah. Seharusnya Papah apresiasi nilai Diana. Bukan..." Cewek itu menjeda ucapannya untuk mengatur nafas yang memburu. Ia menutup matanya, mencoba menahan emosi yang meluap-luap.
"Bukan malah nampar Diana. Seharusnya tangan Papah ini," Diana mengambil sebelah tangan Afra. "Nenangin Diana."
Afra terdiam sambil menatap wajah putrinya itu.
"Papah seharusnya bahagia sama nilai Diana!"
"Cukup!" Afra mendorong tubuh Diana, menbuat cewek itu terduduk di lantai. "Gimana saya bahagia ngelihat nilai kamu?! Yang ada saya kecewa! Saya malu punya anak kayak kamu!"
"Mas Afra, cukup!" Tisa datang dengan kantung belanjaan di tangannya. Dia menjatuhkannya, dan langsung berlari menghampiri Diana yang sudah sangat kacau. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Tisa, lalu memeluk Diana.
"Ada apa, Mas?! Kenapa kamu buat Diana kayak gini?!" ucap Tisa pada Afra.
"Kenapa kamu bilang?! Dia udah buat saya malu!"
"Kenapa Mas malu? Apa Diana melakukan sesuatu yang membuat harga diri Mas turun? Nggak, kan?" Tangan Tisa menepuk-nepuk pelan bahu Diana. Bermaksud menenangkan cewek itu.
"Tisa, jangan ikut campur masalah saya dengan anak saya!"
Deg. Jantung Diana tiba-tiba berdetak dengan kencang lagi. Kenapa Afra berkata seperti kalau dia bukan anak Tisa?
Tisa melepas pelukannya dari Diana. Dia bangkit, mendekat pada Afra. "Anak Mas, anak aku juga. Kalo ada sesuatu yang terjadi pada Diana, aku maju paling depan untuk melindunginya!"
Afra tiba-tiba tertawa dengan sumbang. "Cukup Tisa! Kamu hanya ibu sambungnya. Jadi, jangan ikut campur urusan saya."
"Mas!" bentak Tisa memperingati.
Seperti tertusuk belati, mendengar fakta yang seharusnya tidak ia dengar. Diana terkejut dengan apa yang di katakan Afra. Dia memandangi Tisa dan Afra bergantian. Pikirannya menjadi blank. Diana berdiri perlahan, tidak tau harus berbuat apa.
"Di..." panggil Tisa dan berjalan ke arah Diana.
Namun, tubuh Diana menyuruhnya untuk mundur. Dia mundur beberapa langkah. Sebelah tangannya membekap mulutnya sendiri demi mencegah tangisnya semakin pecah.
"Diana, dengarkan Mamah dulu." Tisa berusaha mencegah kepergian Diana. Namun, Diana malah berbalik dan berlari pergi meninggalkan Tisa dan Afra. Wanita itu langsung terduduk ketika gagal menggapai Diana yang semakin jauh berlari.
Air mata Diana tumpah semakin deras. Ia tidak sanggup mempercayai kenyataan pahit ini. Semua ini terlalu menyakitkan baginya.
Kaki Diana berhenti melihat Vidy bersama Bi Anis menatapnya dengan tatapan sedih di depan pintu ketika dia ingin keluar.
"Diana!" Vidy menahan cewek itu, namun tangan Diana dengan kuat menepisnya. Diana kembali berlari, keluar dari gerbang rumahnya.
Vidy ikut mengejar dan ternyata Diana sudah cukup jauh berlari, cukup sulit untuk Vidy mengejarnya. Tapi, cowok itu tidak menyerah, dan akhirnya bisa menggapai tangan Diana.
"Diana, hei! Lo mau kemana?" tanya Vidy dengan nafas ngos-ngosan.
"Bukan urusan lo!" Diana menepis tangan Vidy di tangannya, dan ingin kembali berlari.
Namun, Vidy semakin kuat mencekal pergelangan tangan cewek itu. "Dengerin gue dulu!" Vidy menarik bahu Diana untuk menghadapnya. "Jangan kemana-mana, ya? Sama gue aja di sini."
"Lepasin gue! Jangan ikut campur!"
"Di, jangan kayak gini, gue takut lo kenapa-kenapa."
"Kenapa lo takut? Lo bukan siapa-siapa gue! Kita nggak ada hubungan apa-apa! Sekarang lepasin tangan gue!"
Vidy terdiam. Dia meraih kepala Diana, membawanya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan tubuhnya menjadi korban pukulan Diana. Perlahan, tenaga cewek itu melemah membuat Vidy mempererat pelukannya. Vidy ingin Diana menangis sampai legah, sampai masalah di pundaknya sedikit berkurang. Vidy ingin Diana mengeluhkan semua yang terjadi padanya.
"Gue capek, Vid. Gue mau mati aja," ucap Diana dengan suara yang tersendat-sendat.
"Hush, tolong jangan ngomong kayak gitu. Gue sedih dengarnya." Vidy mengusap lembut rambut cewek itu, menopangkan dagunya di kepala Diana.
"Tapi, kayaknya gue lebih baik mati. Papah setuju kalo gue mati. Lo harus setuju juga, Vid."
Vidy menggelengkan kepalanya. "Gue ngga setuju."
Diana mengangkat kepalanya, menatap Vidy. "Kenapa?"
"Karena lo berharga bagi gue."
-0-0-
Akhirnya gua produktif nuliss🥺
Jangan lupa vote dan komennya ya, biar tambah semangat sampe ending🥺🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...