•20•

927 120 3
                                    

Setelah sekian lama tidak memikirkan surat aneh yang menerornya, kini Diana kembali di kejutkan dengan beberapa surat yang ia temui di lokernya. Diana syok, ingin marah, tapi ia tidak tau harus marah dengan siapa. Dia benar-benar ingin seseorang bertanggung jawab dengan ini semua.

Memilih untuk tidak membacanya, Diana membawa semua surat-surat itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Tidak lama saat membuang surat-surat itu, ponselnya bergetar. Diana membaca sebuah pesan yang entah siapa pengirimnya dengan tangan gemetar.

Unknown
Kenapa kamu membuangnya?

Diana benar-benar merinding. Dia seperti di awasi oleh seseorang. Matanya menyusuri sekitar, tapi tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

"Siapa lo, brengsek?!"

Tubuhnya semakin gemetar. Ia takut. Ia takut hal-hal yang menakutkan akan terjadi padanya. Dia berjongkok seperti orang bodoh, membiarkan orang lain memperhatikannya. Dia seperti akan kehilangan akal sehatnya.

"Diana?" Amira datang dengan wajah panik. Dia tidak tau apa yang terjadi pada temannya ini, sampai ketakutan seperti ini.

Amira mencoba menyadarkannya. Cewek itu terus mengguncang tubuh Diana. Tapi bukannya sadar, Diana bergumam ketakutan.

"G...gue... takut..." Bibir Diana bergetar. Keringat dingin muncul di dahinya, air matanya sudah berlinang. "Su...rat aneh terus neror gue."

Amira paham apa yang di katakan Diana. Dia tau, temannya menjadi seperti ini karena surat aneh itu. Siapa pun orang yang melakukan ini pada Diana, Amira tidak akan tinggal diam. Dia juga marah, tidak habis pikir ada orang seperti itu.

"Jangan di pikirin." Amira mendekap tubuh temannya itu. Dingin, tubuh Diana begitu dingin. Apa ini adalah serangan panik? Diana akan seperti ini jika ia mencium asap rokok karena alerginya. "Ayo kita pergi."

Amira membantu Diana berdiri. Dengan tertatih, akhirnya Diana bisa berjalan sendiri. Gemetar di tubuhnya sedikit demi sedikit menghilang, Kesadarannya mulai terkumpul. Mereka berjalan menyusuri lorong menuju ke kelas. Tidak ada pembicaraan, mereka hanya diam dan fokus pada tujuan.

Setelah sampai, Amira membantunya untuk duduk. Walaupun sudah tidak gemetar, tapi Diana masih terlihat ketakutan. Cewek itu hanya merenung menatap ke depan, pikirannya kosong.

"Kita harus cari tau siapa si bangsat yang ngasih surat itu sama lo!" ucap Amira penuh kekesalan.

Diana akhirnya menoleh pada Amira, "Gue ngga tau salah gue apa di masa lalu. Gue takut, Mir." Tubuh Diana terguncang. Dia menangis dengan wajah menunduk. Amira yang berada di sampingnya mencoba menenangkan.

Ponsel Diana kembali berbunyi. Seseorang yang menerornya kembali mengirimnya pesan.

Unknown
Apa saya membuat kamu takut? Saya tidak berniat jahat sama kamu.

"Si babi ini!" Amira mengumpat saat ikut membacanya. Tangannya mengepal, dia benar-benar kesal.

Diana mencoba menghubungi nomor itu, tapi tidak ada tanda-tanda untuk di angkat. Ia berulang kali menekan tombol telpon, tidak kunjung di angkat juga. Diana benar-benar geram. Ia meremas ponselnya, mencoba menyalurkan kekesalannya. Ponsel Diana kembali berbunyi lagi.

Unknown
Mau bertemu saya? Mari kita lakukan sebulan ke depan.

-0-0-

Hujan turun begitu deras. Diana termenung di jendela kamarnya. Dia memikirkan pesan terakhir dari orang yang menerornya. Setelah pesan terakhir itu, ia tidak pernah lagi mendapat surat aneh atau pun pesan. Seharusnya ia senang, tapi entah kenapa hatinya malah resah.

Kenapa orang itu mau bertemu dengannya? Apa dia mengenalnya? Atau apa hanya orang iseng yang ingin PDKT padanya? Diana menggeleng cepat. Itu tidak mungkin terjadi.

Diana menggigit ujung kukunya. Ia merasa cemas dan juga bingung. Seumur hidup, ini adalah yang pertama kali dia seperti ini.

Pintu kamarnya berdecit. Tisa masuk membawa kantung kresek kecil di tangannya. Wanita itu tidak berkata apa-apa, dan langsung meletakkan kantung kresek itu di tempat tidur Diana.

Diana cukup tau apa isi dari kantong kresek itu. Dia hanya menghela nafas, tidak ingin menyia-nyiakan tenaganya untuk berdebat. Diana hanya berkata, "Lagi?"

Kaki Tisa mendadak berhenti. Ia berbalik menatap Diana yang menampakkan wajah sendu miliknya. Sebenarnya Tisa tidak ingin melakukan ini pada putrinya. Ia tau, tidak gampang menelan obat-obatan yang ukurannya cukup besar.

"Maaf, Di." Hanya itu yang bisa Tisa katakan. Ia tak tahan menatap wajah Diana. Kalau bukan karena Afra; suaminya, Tisa tidak ingin memberi obat-obat itu pada Diana.

Diana menghela nafasnya. "Mamah ngga perlu minta maaf, ini semua 'kan demi kesehatan Di." Dia mengambil kantong kresek itu, mencoba tersenyum manis agar Tisa tidak merasa bersalah. "Nanti Di minum obatnya setelah selesai belajar. Bilang sama Papah, Papah ngga perlu khawatir soal ujian semester Di. Diana akan berusaha untuk dapetin IPK sempurna."

Dada Tisa sakit mendengarnya. Kalau sudah mendekat ujian semester seperti ini, Afra akan semakin keras pada Diana. Seperti memberi obat-obatan penambah stamina, atau vitamin pada Diana. Tisa yakin, sebenarnya Diana enggan untuk meminumnya. Tapi, lagi-lagi karena Afra.

"Jangan terlalu di paksain kalo kamu capek," ucap Tisa dan akhirnya benar-benar pergi.

Setelah pintu tertutup, Diana terduduk di tempat tidurnya. Dia memandangi kantong kresek itu, lalu tak lama mencampakkannya ke lantai. Diana benar-benar muak dengan ini semua. Dia ingin bebas, tanpa tuntutan apapun dari Afra.

Wajah Diana terlihat lelah. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ingin menangis rasanya akan sia-sia. Yang bisa ia lakuin hanya menuruti keinginan Afra, dan membuang pikiran tentang surat dan orang yang menerornya.

-0-0-

Updateee
Jangan lupa Vote dan komen ya:)

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang