•49•

716 73 1
                                    

Setelah kejadian itu, segalanya jadi menurun sejak saat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah kejadian itu, segalanya jadi menurun sejak saat itu.

Pagi ini Diana sudah bersiap untuk menemui Vidy di rumah sakit. Sudah beberapa hari ia tidak mengunjungi cowok itu. Windy bilang, Vidy sudah sadar dari beberapa hari yang lalu. Tapi, Diana masih tidak kuat menatap wajah Vidy.

Matanya menatap jam kecil di pergelangan tangan, kemudian menatap keluar jendela. Hujan masih turun walau pun hanya rintik-rintik kecil. Tapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk bertemu Vidy.

Diana mengambil hoodie, dan memakainya segera. Lalu menyampirkan tas kecil di pundaknya. Dia berjalan ke bawah, memakai sepatunya dan pamit pada Tisa. Jarak rumah sakit dari rumahnya tidak terlalu jauh, dia hanya perlu naik taksi beberapa menit untuk sampai di sana.

Taksi berhenti tepat di depan gerbang rumah sakit. Diana turun setelah membayar ongkosnya pada supir taksi itu.

Diana memasuki rumah sakit, berjalan menaiki tangga, menyusuri rute yang sudah di kenalnya. Dia mengerutkan dahinya saat dia hampir sampai ke ruang rawat Vidy. Ruangan itu tampak sepi, tidak seperti biasanya yang selalu ramai dengan tawa Vidy dan Windy. Diana mengintip sedikit, ternyata memang hanya ada Vidy yang sedang tertidur menghadap ke jendela. Dia masuk dengan pelan, memutar knop pintu dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu tidur cowok itu.

Diana menggeser kursi, mendekat pada ranjang Vidy. Ia duduk, menatap bahu lebar milik Vidy dari belakang. Rasanya, nafasnya terasa tercekat. Dadanya begitu sesak melihat tubuh Vidy yang kini hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Vidy memutar tubuhnya tiba-tiba, membuat Diana sedikit tersentak. Cowok itu ternyata tidak tidur, matanya terbuka saat menatap Diana.

"Hai, apa kabar?" sapa Vidy.

"Lo nggak tidur?" Bukannya menyapa balik, Diana malah bertanya.

Vidy tersenyum. "Tidur cuman buang-buang waktu gue untuk hidup," jawabnya.

Diana berdecak kesal mendengar jawaban itu. Bukan itu jawaban yang ingin ia dengar dari mulut Vidy. "Jangan pernah ngomongin omong kosong kayak gitu sama gue!"

Vidy tertawa, lesung pipit itu muncul lagi setelah cukup lama tidak terlihat. Dia menghela nafas panjang, segera mengakhiri tawanya yang akan menyinggung Diana. Dia menatap langit-langit ruangannya. Sekarang ruangan ini tidak asing bagi Vidy. Sudah hampir sebulan ia menempatinya. "Gue udah nyaman di rumah sakit."

Diana menatap Vidy. Rona matanya menggambarkan sesuatu yang mungkin tidak terbaca. Banyak kata-kata yang terlintas di benak Diana. Dia mencoba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak tau apa yang harus ia katakan. Tanpa sadar, tangannya menggenggam tangan Vidy. Mencoba menyalurkan kekuatan lebih yang ia miliki pada cowok itu.

"Gue bakal setiap hari nemenin lo. Gue janji! Tapi... bertahan demi gue." Dada Diana benar-benar terasa sakit. Bagaimana bisa, setiap kata yang keluar dari mulut Vidy terdengar menyakitkan?

Vidy tersenyum, tangannya terulur penepuk pelan kepala Diana. "Gue yakin gue bakal sembuh, Di."

Diana memejamkan matanya mendengar kalimat itu. Wajahnya menunduk, fokus pada tangan yang ia genggam. Dia mengamati jarum kecil yang tertancap di tangan Vidy. Mata Diana berkaca-kaca melihat betapa kurusnya Vidy sekarang. Tulang-tulang terlihat menonjol dari sebelumnya. Diana bisa merasakan tubuh Vidy yang kian menyusut.

"Diana..."

"Hmm?" Perhatian Diana kembali tertuju pada Vidy.

Seperti ingin mengatakan sesuatu, Vidy terlihat ragu-ragu. "Jangan pernah datang ke sini lagi," ucapnya tanpa melihat Diana.

Diana terkejut, dahinya mengernyit bingung. Dia mencondongkan tubuhnya untuk meminta penjelasan dari ucapan cowok itu. "Maksudnya?"

"Jangan pernah kunjungi gue lagi."

"Enggak! Maksud lo apa, sih?" Diana bangkit dari duduknya, tak habis pikir dengan ucapan Vidy.

"Gue ngga mau lo lihat gue kayak gini," kata Vidy pelan, suaranya seperti tercekat di tenggorokan.

"Lo aneh, Vid. Saat orang-orang mau di jengukin orang yang sayang sama dia, tapi lo malah nggak mau." Diana meninggikan suaranya satu oktaf. Namun langsung tersadar dengan ucapannya, membuat Diana langsung terdiam.

"Lo sayang sama gue?"

Vidy melihat dengan penasaran bibir Diana yang tengah menahan senyumannya. Vidy menyadari Diana sedang malu atas ucapannya barusan.

Wajah Diana terlihat memerah. Dia mencoba menyembunyikannya dari Vidy. Tampaknya, ucapannya barusan membuatnya menjadi gugup.

"Lo sayang sama gue, kan?" goda Vidy sambil memicingkan mata dengan curiga.

"Ih, enggak!" elak Diana dengan cepat.

"Enggak salah lagi maksudnya. Iya, kan?"

Vidy langsung tertawa. Dia bahkan tidak peduli melihat wajah masam Diana. Cewek itu mengerucutkan bibirnya satu senti, sambil menatap Vidy dengan galak.

Diana diam, memperhatikan tawa Vidy yang masih tidak berhenti. Suaranya terdengar sedikit serak dari biasanya. Mata Diana mengamati semua yang bisa dia lihat dari wajah Vidy. Cara bibirnya melengkung ke sudut, cara matanya menyipit sehingga hanya terlihat segaris, cara lesung pipi itu terlihat indah.

Diana menangkap semuanya di memorinya dan tidak akan dia lupakan sampai kapan pun.

Tawa Vidy masih belum berhenti, membuat Diana tidak dapat menahan tawanya lagi. Dia jadi ikut tertawa sambil menahan rona merah di pipinya.

Mengambil nafas di antara tawanya, Vidy mulai berbicara.

"Gue senang bisa ketemu sama lo."

Tawa Diana memelan mendengar itu. Kini senyuman tulus yang terbit di bibirnya. "Gue juga. Gue nggak pernah nyesal ketemu sama lo, Vid."

"Maafin kalo selama ini gue sering buat lo kesal sama tingkah gue, ya?" ucap Vidy. Tangannya terulur menyentuh tangan Diana, lalu menggenggamnya.

Diana menggeleng tidak setuju. Dia tidak setuju dengan perkataan Vidy barusan. Malahan, Vidy yang selama ini mengajarinya banyak hal. "No! Gue malah makasih banget sama lo udah mau ngajak gue ngomong di taman belakang kampus waktu itu. Kalo lo nggak muncul, kita mungkin nggak saling kenal."

"Lo masih ingat?" tanya Vidy dengan ekspresi wajah terkejut. Dirinya sendiri bahkan lupa dengan kejadian itu.

Diana menganggukkan kepalanya.

Vidy tersenyum haru. Dia menatap wajah Diana dengan tenang. Ekspresi yang tulus muncul di wajah Vidy. Tangannya terulur membenahi anak rambut yang menutupi wajah Diana.

"Makasih, Di." Dia berbisik pelan, suaranya bergetar di tenggorokan.

Diana mempererat genggamannya seperti yang biasa dia lakukan. Dia menatap Vidy dengan senyum yang sepertinya tidak pernah pudar dari bibirnya.

"Sama-sama, Vidy."

-0-0-

Ya Allah, pengen cepat cepat tamat, terus buat cerita baru😭😭🙏

vote sama komennya mana woi, elah😭

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang