•23•

804 131 1
                                    

Udara seperti menipis saat Diana dan Amira yang baru keluar dari ruang ujian mendudukkan diri mereka di kursi kayu di depan kelas. Mereka seperti habis bertempur, dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi. Walaupun hari ini adalah ujian hari pertama mereka, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun.

Diana menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan menyandarkan tubuhnya ke tembok. Tangannya masih bergetar dan jantungnya masih berdetak tidak normal.

"Di, lo ngga apa-apa? Lo kelihatan pucet banget." Suara Amira terdengar panik. Diana yang mendengarnya, langsung membuka mata dan menatap Amira sambil menggelengkan kepala.

"Gue ngga apa-apa, Mir," kata Diana memaksakan senyuman di wajahnya.

"Lo jangan terlalu mikirin keinginan Papah lo. Lo udah berusaha keras untuk dapat nilai terbaik," ucap Amira mencoba menghibur. Dan, Diana hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Amira.

Kalau sudah memasuki masa ujian seperti ini, serangan panik Diana akan sering terjadi. Dan Afra hanya mengontrol Diana dengan memberinya begitu banyak obat, seperti waktu itu. Diana bahkan jijik untuk meminumnya.

Raut ketakutan dan kesedihan di wajah Diana semakin terlihat jelas. Cewek itu meremas kuat ujung baju miliknya, mencoba untuk menghilangkan kepanikan pada dirinya. Tapi, semakin mencoba untuk menghilangkannya, kepanikannya semakin menjadi.

Ah, sial!

Diana berdiri dari duduknya. Lebih baik ia menyelidiki siapa yang menerornya dan melupakan tentang ujiannya sebentar. "Mir, gue mau ke gedung teknik!"

Diana ingin beranjak pergi setelah mengatakan itu. Tapi, dengan cepat Amira menahannya. "Tunggu, Di!" Diana menatap Amira. "Lo mau nyelidiki surat itu? Perlu gue temeni?"

Tangan Diana terulur memegang tangan Amira, perlahan melonggarkan cengkraman Amira di tangannya. "Gue ngga apa-apa sendiri. Juga, gue mau memastikan sesuatu."

Walaupun terlihat kecewa, Amira hanya bisa mengangguk dan membiarkan Diana pergi sendiri.

Kaki Diana bergerak cepat menuju gedung teknik. Ia ingin menemui Vidy. Hanya cowok itu yang bisa membantunya untuk memata-matai Affan. Kakinya menyusuri lorong yang sangat ramai dengan anak fakultas teknik yang baru keluar dari ruang ujian mereka.

Mata Diana menyapu sekelilingannya, mencoba mencari keberadaan Vidy di antara banyaknya mahasiswa. Tubuhnya yang kecil cukup membuatnya kesusahan. Ia terhimpit pada seorang cowok yang entah kenapa Diana merasa ada sesuatu yang tidak beres. Diana sedikit menggeser tubuhnya, tapi cowok itu semakin mendekat. Tubuh Diana menegang saat salah satu tangannya jatuh pada pinggang Diana. Dia ingin berteriak, tapi lidahnya terasa keluh. Apa yang akan ia lakukan sekarang? Diana ingin menangis sekarang juga.

"Permisi!"

Suara seseorang dari belakang tubuh Diana bertepatan tidak adanya lagi sentuhan tangan cowok cabul itu di pinggangnya, membuat Diana bernafas legah. Seseorang itu telah menyelamatkan Diana.

Ketika ingin berbalik untuk berterima kasih, mata Diana langsung melotot. Seseorang yang baru saja membantunya ada Affan. Mulut Diana terngangak sedikit, tidak percaya apa yang barusan di lakukan cowok itu padanya.

"Diam, dan jalan terus!" ucap Affan dengan meninggikan intonasi suaranya.

Diana gelagapan, ia kembali menatap ke depan. Dia cukup tersentak dengan perlakuan Affan. Diana tidak tau, apakah Affan hanya kebetulan menolongnya atau ada hal yang lain. Tapi, ia bersyukur cowok itu datang di waktu yang tepat. kalay tidak, dia tidak tau apa yang akan terjadi. Ujung lorong hampir sampai, ia membiarkan Affan terus menjaganya di belakang.

Saat tiba di ujung lorong, dan mahasiswa sudah berhamburan, Affan tidak berkata-kata apa-apa dan hanya berlalu begitu saja. Bahkan, saat Diana mengatakan terima kasih, Affan hanya diam. Sebegitu sulitkah mengatakan 'sama-sama'? Diana merasakan senang dan kesal di waktu yang bersamaan.

Diana hampir melupakan tujuan utamanya untuk apa dia datang ke sini, sampai mendapatkan pelecehan fisik seperti yang di alaminya barusan. Dia harus mencari keberadaan Vidy. Tapi, sepanjang perjalanan ke sini, ia tidak menemukan keberadaan Vidy.

"Apa mungkin Vidy di taman belakang kampus?" kata Diana bermonolog sendiri.

Kaki Diana bergerak memutar arah. Tapi, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari jarak yang tidak jauh dari ia berdiri sekarang. Dia menatap orang yang barusan memanggilnya dengan alis berkerut. Dia tidak pernah melihat cewek itu sebelumnya. Tapi, kenapa cewek itu seolah tau namanya?

"Diana, kan?"

Diana mengangguk kaku. Matanya terus mengikuti pergerakan cewek itu sampai berdiri di hadapannya.

"Lagi nyari Vidy, ya?" tanyanya membuat Diana semakin bingung. Kenapa dia bisa tau?

"Kok lo tau?"

Cewek itu terkekeh, lalu mengulurkan tangannya untuk menyerahkan paperbag yang ia bawa pada Diana. "Vidy nitipin ini sama gue untuk di kasih ke lo. Vidy hari ini ngga bisa datang, karena ada yang perlu dia lakuin."

Diana mengambil paperbag itu dengan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Padahal, tadi subuh ia baru bertemu cowok itu. Tapi, kenapa pagi ini Vidy tidak datang dan bahkan tidak ikut ujian? Dan, apa hubungan Vidy dengan cewek ini? Apa selama ini, Vidy sudah punya pacar? Ini lah pentingnya menyelidiki seseorang terlebih dahulu.

"Ngomong-ngomong, lo lebih cantik dari yang di ceritain Vidy ke gue, ya?"

"Eh?" Diana terkejut apa yang di katakan cewek itu barusan. Dia bahkan tidak mencerna dengan baik perkataannya.

"Oh, iya, kenalin, gue Windy." Windy mengulurkan tangannya.

Diana tidak langsung menjabat tangan Windy. Dia sedang berpikir sebentar. "Windy? Vidy?" Matanya langsung melotot saat menyadari sesuatu.

"Gue adiknya Vidy."

-0-0-

Dikit-dikit lama lama menjadi bukit hehe
Jangan lupa vote dan komen ya:)

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang