Misi pertama
"Lo harus ngikutin kegiatan Affan selama di kampus. Kalo ada yang mencurigakan, lo harus waspada."
Diana mengingat ucapan Amira itu. Kakinya kini sudah menapak di fakultas tenik yang jaraknya cukup jauh dari fakultas bahasa. Perlu memiliki mental baja untuk cewek sepertinya yang nekat menginjakkan kaki ke fakultas ini.
Seperti Diana saat ini. Sudah banyak pasang mata yang menatapnya dari atas sampai bawah. Dari tatapan tak suka, hingga tatapan seorang penafsu. Beberapa abang tingkat menggodanya terang-terangan membuat kakak tingkat tidak suka melihatnya. Dia hanya membiarkan dan tidak mau ambil pusing.
Saat ingin berbelok, tubuh Diana spontan bersembunyi di balik tembok saat melihat Affan keluar dari kelasnya. Cowok itu seperti tergesa-gesa, menabraki orang-orang yang menghalangi jalannya.
Kakinya bergerak mengendap-endap untuk mengikuti Affan. Tapi suara dari arah belakang, membuat punggung Diana menegak karena terkejut. Kerah bajunya seperti tertarik ke atas, membuatnya harus ikut jinjit.
Diana menoleh ke belakang. Nafasnya tercekat melihat seorang cowok menyeringai seperti binatang buas yang siap memangsanya.
"Lo mau ngintip, ya?" tuduh Vidy--orang yang memergoki Diana.
"Enak, aja!" sahut Diana cepat.
"Jadi, lo ngapain ke sini?" tanya Vidy seperti sedang mengintrogasi maling.
Diana menepis tangan Vidy yang memegang kerah bajunya. Matanya mendelik tajam seperti belati. "Bukan urusan lo!"
Tidak mau semakin menanggapi Vidy, ia pergi untuk menyusul Affan yang sudah hilang dari pandangannya. Namun, lagi-lagi kakinya mendadak berhenti. Tubuhnya langsung tersungkur di lantai saat tak sengaja menabrak orang di depannya. Cewek itu mengaduh kesakitan pada bokongnya yang langsung menghatam lantai marmer.
Namun, belum juga ia memarahi orang yang sudah membuatnya tersungkur, mulut Diana langsung terkunci rapat. Ada Affan di depannya dengan bersedekap dada dengan wajah datar.
Cowok itu maju beberapa langkah membuat Diana besar kepala kalau Affan akan menolongnya seperti waktu itu. Tapi, dugaannya salah. Diana shock saat Affan hanya melewatinya saja setelah melangkahi kakinya.
Diana hampir berteriak setelah kembali merasakan sakit di bokongnya. Dia perlahan bangkit dengan bantuan tembok di sampingnya.
"Brengsek!" desisnya sambil mengusap-usap pelan bajunya yang kotor.
Tapi ia tidak tau, kalu desisannya itu bisa di dengar Affan. Cowok itu berbalik, mendekat kembali pada Diana yang masih tidak sadar keberadaannya.
"Sekarang kerjaan lo jadi penguntit, ya?" tuduh Affan terus terang.
Diana terlonjak kaget. Dia kira Affan sudah pergi, tapi kembali berdiri dihadapannya.
"M-maksud lo apa?!" sahut Diana gelagapan.
"Lo jauh-jauh ke sini mau ngikutin gue?" tanya Affan curiga.
Mampus! Diana menelan ludahnya, gugup. Otaknya berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar Affan tidak curiga.
Ketika ingin membalas ucapan cowok itu, sampai akhirnya...
"Hai, sayang. Kok kamu di sini, sih? kan udah aku bilang, aku aja yang ke fakultas kamu." Suara itu berasal dari belakang Affan. Vidy muncul dengan wajah tersenyum cerah, lalu berhenti di samping Diana. Tangan cowok itu terulur merangkul tubuh Diana yang menegang karena terkejut.
"E-eh, i-iya. Maafin aku ya, habisnya aku kangen kamu," ujar Diana dengan percaya diri membalas ucapan Vidy.
Mata Diana kembali beralih pada Affan yang diam. Cewek itu mengulum senyuman meledek. "See? Gue ngga ngikutin lo! Gue ke sini mau ketemu sama cowok gue!"
Affan tidak membalas. Cowok itu menatapnya dan Vidy bergantian dengan ekspresi yang jauh dari kesan cemburu ataupun marah.
Apa gagal? Apa memang Affan sudah tidak memiliki rasa sedikit pun padanya? Banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Affan meninggalkan mereka. Cewek itu terperangah menatap kepergian Affan sampai seketika hilang saat cowok itu memasuki kelasnya.
Tangan Vidy masih menggantung di bahu Diana. Cowok itu lantas tertawa melihat wajah Diana yang kecewa. Padahal, ia kira tadi, Diana tidak akan membalas ucapannya atau pun kesal. Tapi, perkiraan Vidy salah. Diana malah meresponnya dan seolah itu benar.
Diana tersadar. Menghentakkan tangan Vidy dan langsung pergi. Terlihat cewek itu sedang menahan kesal membuat Vidy mengikutinya.
"Woi, tungguin gue!" Vidy menahan tangan Diana. Mata cewek itu terlihat memerah, dan butiran air mata jatuh di pipinya. "Gue udah nolongin lo, lo ngga bilang makasih, gitu?"
Mata Diana mendelik tajam. Kilatan matanya seperti ingin membunuh. "MAKASIH! puas lo?"
Vidy terkejut mendengar sentakan itu. Ia menormalkan sikap Diana yang seperti itu. Dia tau cewek ini sedang kesal. Vidy tidak tau hubungan apa yang di miliki Diana dengan cowok tadi sampai Diana berani berbohong.
Diana sudah tidak tahan menahan tangisnya. Dia menutup wajahnya dan menangis sejadi-jadinya di depan Vidy. Dia mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini ia tahan. Sampai akhirnya, tubuhnya tidak tahan untuk berdiri. Ia terduduk di lantai, membiarkan orang-orang yang berlalu lalang menatapnya aneh.
Vidy tidak tau harus berbuat apa, sementara sudah banyak pasang mata menatap kearahnya. Dia yakin, orang-orang pasti mengiranya kalau dialah yang membuat Diana nangis.
Vidy ikut berjongkok, mencoba menenangkan cewek itu. Tapi, bukannya diam, tangis Diana semakin menjadi-jadi. Vidy sudah tidak tahan. Dia membawa tubuh Diana ke dalam pelukkannya. Tangan cowok itu mengusap lembut rambut Diana, membisikkan kata-kata yang menenangkan cewek itu.
"Ini kan, yang lo butuhin? Lo boleh nangis sepuas yang lo mau. Iya, gue ngerti pelukkan gue nyaman. Iya, lo ngga usah sungkan. Iya, Di--"
"Apaan sih, lo!" Diana mendorong Vidy membuat cowok itu terdorong ke belakang.
Vidy tersenyum menggoda. "Udah, sini, peluk gue lagi. Cup cup cup, kenapa nangis? sedih banget kayaknya," godanya yang mampu membuat Diana tertawa malu-malu.
Merasa puas karena membuat Diana tertawa dan tidak lagi menangis, dia menyombongkan diri pada orang-orang karena pelukkannya ampuh.
Diana tidak lagi bisa menahan tawanya. "Vidy, lo gila!"
-0-0-0-0-
Naha kan Diana, lu bilang aja mau di peluk wkwk (Sama Di, gue juga mau)
Jangan lupa vote dan komen hehe :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...