•7•

1.2K 180 6
                                    

Malam kini semakin larut, namun tidak membuat Vidy beranjak dari lapangan basket untuk pulang ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam kini semakin larut, namun tidak membuat Vidy beranjak dari lapangan basket untuk pulang ke rumah. Karena sudah jadi kebiasaannya berjalan-jalan menikmati angin malam di sekitar komplek ketika ia tidak bisa tidur.

Ia masih merasakan panas tubuhnya yang belum juga turun dari tadi siang. Karena itu, tidurnya terganggu dan memilih untuk berjalan-jalan.

Vidy menatap bola basket yang terletak di tengah lapangan. Ingin rasanya ia bermain basket seperti dulu. Tapi sepertinya itu mustahil, melihat kakinya yang sudah cacat seperti ini.

Sebuah syal tiba-tiba terlilit di lehernya. ia menoleh, melihat Windy yang sedang mencoba merapikan syal di lehernya, setelah itu ikut duduk di sampingnya. Gadis itu tersenyum menatap Vidy, lalu tak lama mengerucutkan bibir.

"lo udah gue bilangi berapa kali, kalo lagi sakit itu di rumah aja. Bisa ngga sih, ngga usah ngeyel!" omel Windy. Bukannya takut, Vidy malah merasa gemas melihat adiknya mengomel seperti itu.

"Iya bawelll..." Vidy mencubit pipi Windy sedikit kuat, sampai gadis itu menggerutu kesakitan.

Vidy menyenderkan kepalanya di bahu Windy. Adiknya ini benar-benar peduli padanya. Biasanya, seorang abang yang akan melindungi adiknya. Tapi kini, malah Windy yang selalu melindungi dirinya. Kadang Vidy kecewa pada dirinya karena tidak bisa menjadi malaikat penjaga Windy. Vidy selalu menyusahkan adiknya itu. Saat dulu Windy beranjak dewasa, saat-saat itu ia mengenal cinta, tapi saat-saat itu juga ia harus merelakan cintanya demi menjaga Vidy.

Ia menutup matanya saat angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Keduanya terhanyut dalam sunyinya malam. Langit hitam yang cerah karena rembulan yang terang, benar-benar membuat langit indah.

Vidy mengambil tangan Windy di sebelahnya, lalu menggenggamnya dengan erat. "Win, sampai kapan lo mau jagain gue terus? Sementara gue selalu ngerepotin lo," katanya dengan suara pelan, tapi masih di dengar Windy.

"Apa sih?! Lo kok ngomong gitu? emang gue ngga boleh jagain abang gue sendiri?" ucap Windy, merasa kesal atas pertanyaan Vidy tadi.

Vidy bangun, lalu menatap Windy. "gue abang lo. Yang seharusnya jagain lo itu gue! Abang macam apa gue, yang ngga bisa apa-apa saat adik gue kenapa-kenapa?"

Windy menarik tangannya dari genggaman Vidy. Dia menatap Vidy kecewa. Bisa-bisanya Vidy selalu berpikiran seperti itu. Dia hanya ingin Vidy merasa aman, itu saja. Vidy sudah cukup menjaganya saat kecil dulu. Sekarang dirinya yang akan menjaga Vidy. Bagaimana pun, kaki Vidy seperti itu semua karena dirinya.

Tak terasa, lama menatap Vidy dengan rasa kecewa, air mata Windy lolos dari pelupuk matanya. Bibirnya bergetar seperti seorang anak kecil yang akan menangis. Ia mengusap matanya dengan kasar.

"Win, lo nangis?" Vidy merasa bersalah melihat adiknya itu menangis. Ia membawa Windy ke dalam pelukannya yang hangat.

"Lo jahat banget sih, sampe ngomong gitu! Walaupun gue adek lo, lo pikir gue ngga bisa jagain lo?! Mentang-mentang gue cewek dan lo cowok, menurut lo mustahil gue ngga bisa jagain lo!? Jahat banget sih, lo Vid!" Windy meracau di dalam pelukkan Vidy.

"Bukan gitu. Gue cuma takut lo-"

"Lo takut kalo gue ngga akan punya pacar karena jagain lo? Gue udah punya pacar Vidyyyy!!! Abang macam apa sih lo, sampe ngga peka kalo adeknya punya pacar?" Perkataan Windy itu dengan mudah keluar dari mulutnya. Padahal dia sudah janji pada dirinya sendiri untuk merahasiakan ini pada Vidy.

"APA??!!!" Vidy menjauhkan tubuh Windy darinya. "Siapa pacar lo? bilang ke gue siapa pacar lo?!"

"Ada deh. Dia orangnya baik, ngga kayak lo, nyebelin!" sungut Windy.

"dih, najis!"

-0-0-

Vidy kini merebahkan tubuhnya di tempat biasa ia istirahat. Menurutnya, taman belakang kampus ini sangat cocok untuk dirinya yang tidak suka akan keributan. Padahal ia banyak memiliki teman yang cocok di ajak untuk bersenda gurau. Tapi Vidy malah memilih menyendiri di taman ini.

Vidy teringat ucapan cewek yang sempat beberapa kali ke sini. Ia mengatakan tempat ini angker dan seperti ada yang mengintai. Tapi menurut Vidy tidak angker tuh. Malah di taman ini adalah tempat ternyaman.

Terhanyut dalam pikiran, tak terasa mata cowok itu sudah terpejam dengan rapat. Dia tertidur dengan kedua tangan ke belakang, untuk menyanggah kepalanya. Dengkuran kecil keluar dari mulut Vidy. Tadi malam, ia hanya tidur kurang lebih 2 jam. Itupun menurutnya sudah lumayan. Biasanya kalau ia sakit, ia tidak akan bisa tidur sampai subuh.

Seseorang mendekat ke arah Vidy yang sedang tertidur. Dia menatap lekat wajah Vidy. Hidung yang tampak merah itu bisa menandakan Vidy sedang sakit. Dia adalah Diana. Dari semalam Diana terus memikirkan keadaan cowok ini. Dia bukan khawatir, hanya saja hati nuraninya tersentuh saat cowok ini berbohong padanya.

Diana mengeluarkan buebue-fever dari saku celananya. Ia membuka plastik yang menutupi pelekat seperti plester itu, lalu menempelnya pada jidat Vidy. Lumayan susah, karena ramput Vidy yang panjang dan keriting yang menutup jidatnya.

Saat hampir selesai menempelnya, tangan Diana langsung di cekal dengan kuat oleh Vidy, dan cowok itu langsung bangkit.

"aww... sakit! sakit!" adu Diana yang kesakitan akibat cekalan kuat itu.

"Lo?" Setelah tau perbuatannya yang menyakiti, dia langsung melepas tangan Diana. "Lo ngapain di sini?" tanyanya yang tak bersahabat.

"Berak! Ngga lihat gue lagi ngapain?" ucapnya sambil menujukkan bungkus buebue-fever pada Vidy.

Vidy melirik ke atas pada jidatnya, lalu menyentuh dan ingin melepaskannya. Namun Diana dengan cepat menahan tangan Vidy dan bergerutu mengomel.

"Enak aja main lepas-lepas. Lo kira buebue-fever itu murah?!" ucap Diana sambil menatap garang pada Vidy.

"Enak aja main masang-masang. Lo kira gue anak kecil?!" sungut Vidy membalas.

Saat ingin kembali melepasnya, tangan Vidy mendapat pukulan kuat dari Diana, hingga membuat cowok itu kesakitan.

"Anak ngen-"

"Apa?!" Wajah Diana semakin garang.

"Dorse. Anak ngendorse."

"Awas lo buka!" ancam Diana, lalu menunjuk wajahnya kemudian wajah Vidy.

Mau tidak mau, Vidy hanya pasrah. Karena ia memiliki adik perempuan, ia tidak pernah menyakiti hati perempuan lain. Itu sama saja seperti ia menyakiti hati Windy, adiknya.

Setelah berdiam lama, Diana kembali mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah obat penurun panas yang biasa di sebut paracetamol. Cewek itu menyodorkan pada Vidy.

Bukannya di ambil, Vidy menatap heran cewek di depannya ini.

"Gue ngga khawatir sama lo, gue ngga lagi kasihan sama lo. Jadi muka lo jangan minta di kasihani. Nih, ambil!" ucap Diana yang kembali menyodorkan dengan sedikit memaksa.

Vidy mengumpat pelan, tapi tetap mengambilnya. Dia menatap obat itu dengan rasa jijik. Ia akui kalau ia tidak suka minum obat.

Dengan pasrah sekali lagi, dia membuka bungkus obat itu. Ia menatap Diana yang sedang membuka tutup botol air mineral.

"Nih." Diana menyodorkan Air mineral itu saat Vidy sudah memasukkan obat itu pada mulutnya.

Setelah setengah botol abis, ia kembali memberi air mineral itu pada Diana. "Puas?"

Saat itu juga Diana tengah menahan tawanya. Lucu, pikirnya. Vidy benar-benar seperti anak kecil dengan plester kompres di dahinya.

"Gue jamin, bentar lagi lo bakal sembuh."

-0-0-

Duh Vidy kalo lagi sakit lucu ya😂

jangan lupa vote dan komen:)

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang