•22•

863 123 3
                                    

Vidy dan Diana telah sampai di taman yang tidak jauh dari rumah cewek itu. Keduanya duduk di bawah lampu taman yang remang-remang. Tidak ada yang membuka obrolan duluan, keadaan sekitar semakin sunyi. Mata Diana hanya menatap air mancur yang berada tidak jauh dari mereka duduk.

"Lo ngga ngantuk?" tanya Vidy yang tiba-tiba.

Diana menoleh padanya. Dia melihat tubuh cowok itu bergetar seperti menggigil kedinginan. "Gue kalo habis mimpi buruk dan kebangun, bakal ngga bisa tidur lagi."

"Terus apa yang lo lakuin kalo ngga bisa tidur?" tanya Vidy lagi.

"Belajar."

Mata Vidy menatap wajah Diana dari samping. Mimik wajah cewek itu terlihat seperti tertekan. "Lo terlalu memaksakan diri lo sendiri."

Diana mengernyit, "Maksud lo?"

"Muka lo nunjukin kalo lo cape belajar."

Diana tidak menjawab. Dia tersenyum kecut tanpa mengalihkan tatapannya dari air mancur. Apa sebegitu terlihat wajah tertekannya? Orang lain aja bisa merasakannya, kenapa Papahnya tidak bisa?

"Hidup ini ngga melulu soal belajar, lo juga harus butuh kebebasan."

Diana menoleh pada cowok itu. "Lo kira gue ngga butuh bebas kayak yang lain?" Lalu kembali menatap ke depan. "Gue butuh. Gue butuh kesenangan diri gue sendiri."

"Kenapa ngga lo lakuin?" Vidy mempererat syal di lehernya, udara semakin dingin. Vidy cukup takjub melihat Diana yang terlihat tidak kedinginan sama sekali.

Diana menghela nafas panjang sebelum membuka suara. "Awalnya gue baik-baik aja. Tapi Papah gue sering menuntut lebih banyak seiring berjalannya waktu. Gue selalu ngasih semua apapun yang dia mau. Tapi, gue capek..."

Cewek itu menjeda ucapannya cukup lama, lalu kembali bersuara. "Dia maksa gue untuk jadi sesuatu dari fantasi dia. Seperti anak yang berprestasi lainnya." Bibir Diana bergetar, bukan karena kedinginan, tapi karena ia menahan tangisnya. "Sampai-sampai, Papah kendalikan hidup gue. Dia bilang, gue harus ngebuktiin kalo gue yang terbaik dari yang terbaik."

Vidy masih mencoba mendengar keluhan Diana. Dia tidak tau harus berbuat apa. Dia ingin memberi masukkan, tapi dia takut salah berbicara.

"Tapi, apa yang harus gue buktiin? Gue udah ngga tau apa yang harus gue buat lagi." Dan akhirnya, air mata itu jatuh begitu saja. Diana terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Vidy tidak tahan lagi. Dia mengambil kepala Diana, dan menenggelamkannya di dadanya. "Maaf, gue tau, gue kelewatan batas lagi. Tapi, nangislah sepuasnya dan keluarkan semuanya sampai lo merasa lebih baik. Sekarang, biarin air mata lo pergi. Lepaskan sesuatu yang harus lo lepas."

Tangis Diana benar-benar pecah. Dia benar-benar membiarkan suara tangisnya meluap di udara. Dia juga tidak tau apa yang harus ia lakukan setelah ini. Keberadaan Vidy benar-benar membuatnya hilang kendali. Haruskah ia menarik tubuhnya? Tapi, ia cukup malu melakukan itu.

Vidy dengan senang hati memberi pelukannya pada Diana untuk kedua kalinya. Bukankah menenangkan seseorang harus seperti ini? Yah, dia cukup tau karena dia memiliki adik perempuan. Walaupun mereka akan mengotori bajunya karena air mata mereka, Vidy tidak peduli.

Isakan Diana mulai meredah. Cewek itu menarik tubuhnya kembali, dan langsung memalingkan wajah dari Vidy. Diana benar-benar malu hanya untuk menatap wajah cowok itu.

"J-jangan liatin gue!" ucap Diana saat Vidy terus melihat ke arahnya.

Vidy tertawa, dia tau Diana merasa malu sekarang. "Siapa yang liatin lo, geer!"

Diana mendelikkan matanya menatap Vidy. Tapi, seketika melotot saat Vidy mengambil dan menggenggam tangannya.

"Sekarang, lo udah ngelakuin yang terbaik. Kalo Papah lo ngga percaya sama lo, lo ngga perlu kelakuin apa yang dia mau. Dan, jangan jadi orang lain dari diri kita sendiri. Lo ngga perlu ngubah diri lo sendiri hanya karena yang orang lain mau. Lo adalah lo, bukan orang lain. Be yourself there's no one better," sabda Vidy dengan panjang. Ia cukup terkejut mendengar apa yang dia katakan. Dia langsung mengatup bibirnya.

Diana diam tak berkutik, dia terkesan apa yang di katakan Vidy barusan. Kenapa cowok ini tiba-tiba menjadi bijak?

Melihat Diana hanya diam dan tidak merespon, Vidy tersadar apa yang baru saja terjadi. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum kikuk. "Maaf, gue terlalu ikut campur dan berisik. Gue cuma sedih, Papah lo maksa lo untuk apa yang ngga lo suka."

Air mata Diana kembali berlinang, dia terharu. "Kenapa lo jadi bijak kayak gini? Lo lagi ngga kesambet, kan?"

Vidy melotot, dan berdecak pelan. Dia juga tidak tau apa yang terjadi padanya. Dia melihat jam di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Dia harus segera membawa Diana pulang. Vidy bangkit dari duduknya, lalu menatap Diana sebentar.

"Ayo pulang, udah mau subuh," ajaknya dan berjalan lebih dulu.

Diana baru tersadar kalau dia sudah cukup lama pergi meninggalkan rumah dan berada di taman ini. Dia bergegas menyusul Vidy yang sudah cukup jauh berjalan.

Sekitar 10 menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di depan rumah Diana. Vidy menunggu Diana untuk lebih dulu masuk dan memastikan cewek itu sudah kembali ke dalam kamarnya. Vidy hanya tersenyum melihat Diana melambaikan tangannya di depan pintu sebelum benar-benar masuk.

Vidy mengeluarkan motornya dari tempat tersembunyi. Ketika ingin menyalakan mesin motornya, sesuatu mengalir dari hidungnya. Dia mengusapnya, darah kental mengotori lengan jaket yang ia pakai. Vidy mencoba mengangkat kepalanya untuk menghentikan darah yang terus keluar dari hidungnya. Usahanya tidak sia-sia, akhirnya darah berhenti dan dia segera pergi dari sana sebelum hal yang tidak ia inginkan terjadi.

-0-0-

Di chapter ini mengandung kata-kata bijak dari Vidy wkwk

Jangan lupa vote dan komen ya:))

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang