"Jadi, lo pura-pura ngaku kalo Vidy cowok lo?"
Diana menjauhkan ponsel dari telinganya ketika Amira mulai meninggikan suara. Ia menghembuskan nafasnya kasar. Mau bagaimana lagi, dia harus merelakan rasa malunya di depan Affan. Itu pun, tidak ada rasa kesan cemburu di wajah cowok itu.
"Eh titan, lo cerita nanggung-nanggung deh! Lanjutannya gimana?!" tanya Amira di seberang telepon. Nada suaranya benar-benar terdengar sangat penasaran.
"Ya, mau gimana lagi, itu waktu yang pas buat manas-manasin Affan." Posisi Diana kini tengkurap sambil memeluk boneka beruang.
"Dia cemburu? Atau-"
"Enggak! Bener-bener ya, itu orang!" Tangannya meremas wajah boneka karena merasa kesalnya.
Amira tertawa keras di seberang sana. Cewek itu benar-benar tidak bisa membantu banyak. Seharusnya Diana tidak mengikuti usulan Amira kalau memang terjadi begini.
Diana mengernyitkan dahinya kala bayangan-bayangan saat ia dengan pedenya mengenalkan Vidy sebagai pacarnya melintas di kepalanya. Diana benar-benar ingin memiliki kekuatan super pengundur waktu. Sial! Semakin ingin ia melupakan kejadian itu, semakin sering pula kejadian itu muncul di kepalanya. Apa ada orang yang bisa menghapus ingatan?
"Di, gimana kalo lo buat ke sepakatan sama Vidy untuk jadi pacar pura-pura lo?"
"NANIIII!!! GUE NGGA MAU!" teriak Diana dengan suara memekik. Tidak peduli gendang telinga Amira akan pecah atau rusak.
Terdengar Amira sedang mengeluh, tapi tidak protes. "Gini ya, lo udah terlanjur bilang sama Affan kalo Vidy pacar lo. Dan lo bisa manfaatin keberadaan Vidy buat mata-matain Affan di gedung teknik. Gimana? Bagus, kan, ide gue."
Diana terdiam sebentar. Ucapan Amira membuatnya berpikir keras. Tapi, apa bisa dengan kesempatan ini ia mengetahui siapa pengirim surat misterius itu padanya? Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia jawab. Dan perkataan Amira ada benarnya. Ia sudah terlanjur basah, kenapa ngga nyemplung aja sekalian?
"T-tapi, apa ide ini bakal berjalan sempurna? Ide lo yang pertama aja gagal. Gimana kalo gagal lagi?" Suara Diana terdengar prustasi. Kalau ide ini gagal, bukan hanya dia yang menjadi korban, tapi Vidy juga.
"Kalo ngga lo coba, kita ngga bakal tau hasilnya gimana."
-0-0-
Diana berlari menuju taman belakang kampus. Ia ingin membuat kesepakatan pada Vidy. Tapi, ia tidak tau apa Vidy akan menerimanya? Di pikir-pikir, kekacauan ini di mulai dari cowok itu. Ia tidak akan membiarkan Vidy tidak bertanggung jawab apa yang sudah dia buat.
Mata Diana menangkap kaki panjang yang terulur dari balik pohon. Ia mendekat, tapi...
Mata Diana membulat. "Asap rokok?"
Kakinya berhenti. Ia mundur kembali untuk tidak mendekat pada sumber penyakit itu. Tapi, jika terus begini, bagaimana ia berbicara dengan Vidy. Diana berpikir keras, sampai ketika suara yang terdengar familiar menyapanya.
"Di-ana?"
Diana menoleh, ia melihat Vidy ingin mendekat padanya dengan rokok yang masih mengapit di kedua jari. Mata Diana nyaris keluar. Ia kembali mundur dengan gelisah.
"Jangan dekat!" ucap Diana dengan histeris.
Vidy terkejut. Ia yang tidak tau maksud Diana, hanya bisa menurut. "Hah?"
Diana mengapit hidungnya. "Asap rokok. Gue alergi asap rokok."
Kini Vidy mengerti kenapa cewek itu tidak mau ia mendekat. Ia menjatuhkan rokoknya, lalu menginjaknya sampai tidak ada lagi asap yang melambung ke udara.
"Sorry, sorry. Ngapain lo ke sini?" tanya Vidy, intonasinya seketika berubah.
"Ada yang mau gue omongin sama lo." Diana gugup. Tidak biasanya ia seperti ini. Apalagi dengan tatapan mengintimidasi dari Vidy yang membuatnya semakin gugup.
Vidy meletakkan tangan di dagunya, seperti sedang berpikir. "Lo mau ngomong kalo lo suka sama gue, kan?"
"Eh?" Mata Diana langsung melebar. "ENAK AJA! SIAPA YANG SUKA SAMA LO?!" Hidungnya kembang kempis, giginya bergelutuk. Ia tiba-tiba merasa kesal.
Vidy tertawa keras. Kali ini ia terlihat santai. Cowok ini benar-benar bisa menguasai sikapnya. Lagi. Diana kembali melihat lesung pipi Vidy yang cukup dalam di pipi kirinya. Matanya menyipit seperti bulan sabit. Benar-benar in... eh?
"Terus ngomongin apa?" tanya Vidy lagi.
Diana membuang nafas kasar, mencoba mengurangi kegugupan dari dirinya. "Gue mau minta tolong sama lo untuk jadi pacar pura-pura gue!" Legah. Walau tidak ada jeda dari ucapannya, Diana yakin Vidy mengerti maksudnya.
"Wow, impresif!" Smirk di bibir Vidy tiba-tiba muncul, tatapan cowok ini membuat Diana merinding. "Gimana ya?"
Vidy pura-pura sedang berpikir membuat Diana semakin prustasi. 1 menit, 2 menit, 3 menit, Vidy belum juga menjawab. Mau tidak mau, Diana melakukan satu hal bodoh. Dia berlutut dengan kepala menunduk. Keringat bercucuran dengan deras dari dahinya.
"Gue mohon, gue mohon, gue mohon." Diana menegakkan kepalanya menatap Vidy. "Gue mohon bantu gue," ucapnya dengan suara memelas.
Vidy membalas tatapannya, menarik tangan cewek itu untuk berdiri. "Gue berasa jadi raja kalo lo berlutut kayak gitu." Dia tertawa renyah. "Ta-"
"Gue bakal ngelakuin apa aja buat lo! Gue bakal ngasih apa aja, asal lo mau jadi pacar pura-pura gue!"
Vidy membuang nafas panjang. "Oke! Tapi apa bisa lo nurutin permintaan gue?"
Glek! Diana menelan ludah mendengar perkataan itu. "Bisa! Gue bakal nurutin semua permintaan lo! Jadi permintaan lo apa?"
"Untuk saat ini, gue belum ada permintaan. Ngga tau untuk nanti. Tunggu aja." Lagi. Smirk mematikan itu muncul di bibir Vidy. menyeramkan, pikir Diana.
Diana hanya diam. Ia jadi takut sendiri mendengarnya. Apa jangan-jangan Vidy nanti meminta yang aneh-aneh? Saat sedang berpikir seperti itu, ia di kejutkan dengan tangan Vidy yang sudah berada di kepalanya.
"Gue ada kelas. Kalo lo butuh gue, lo datangin gue aja. Gue bakal jadi pacar pura-pura lo di depan mantan lo. Gue duluan ya!" Vidy beranjak pergi sambil tersenyum tipis.
Diana mematung. Perkataan Vidy pun tidak bisa ia cerna dengan cepat. Angin berhembus dengan pelan, matahari tertutup oleh awan. Walaupun Vidy sudah pergi, tapi tangan cowok itu seperti masih berada di kepalanya. Berbekas.
"KYAAAAA!!!!" teriak Diana dengan histeris.
-0-0-
Woi Di, gua juga mau😭😭
Jangan lupa Vote dan komen ya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...