•41•

706 93 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Cairan berwarna merah mengalir di hidung cowok yang terbaring lemah di kasur rumah sakit. Di tangannya tertempel selang cairan infus. Nafasnya tercekat walaupun hidungnya di bantu oleh alat bantu pernafasan. Tubuhnya lemas setelah dokter menyuntikkan beberapa macam cairan ke tubuhnya.

Daya tahan tubuh Vidy menurun akibat reaksi obat-obatan yang di berikan dokter padanya. Hal ini yang membuat Vidy tidak ingin menjalankan kemoterapi. Seolah dirinya seperti di kuliti hidup-hidup.

Hati Windy ikut merasakan sakit melihat abangnya yang terus mengerang kesakitan walaupun dengan pelan. Windy terus menggenggam tangan Vidy yang terus mengerjabkan matanya.

"Masih sakit, Vid?" tanya Windy seraya membersihkan darah di hidung Vidy dengan tisu basah.

Vidy tidak cepat merespon, matanya hanya menatap ke depan, memandangi langit-langit ruangan. Pandangannya sedikit mengabur, dan kepalanya begitu pusing.

"Sakit, Win. Ada nggak obat yang bisa buat gue tidur? Gue mau tidur, Win."

Hanya kalimat itu yang selalu Vidy katakan usai menjalani kemoterapi. Windy tak kuasa menahan air matanya melihat Vidy yang terus memintanya untuk memberikan obat tidur padanya. "Lo tahan sebentar lagi, ya? Lo pasti bisa sembuh."

Perkataan Windy yang lirih itu membuat Vidy menolehkan kepala. Cowok itu memaksakan senyumannya, walaupun Windy tau itu bukan senyum menenangkan melainkan senyum untuk menahan sakit.

Air mata Windy mengalir semakin deras, tapi diusapnya dengan cepat agar Vidy tidak melihatnya.

Tangan Vidy terulur mengusap rambut adiknya itu dengan kasih sayang. Lewat gerakan bibir, Windy tau Vidy tidak ingin melihatnya menangis. 'Gausah cengeng lo', kalimat itu yang selalu Windy dapati dari mulut Vidy.

Windy menoleh ketika salah satu suster masuk untuk memeriksa keadaan Vidy. "Suster, reaksi obatnya sampai kapan?" tanya Windy karena tidak tega melihat wajah Vidy yang semakin pucat.

Suster itu melihat jam kecil di tangannya, lalu menatap Windy. "Setengah jam lagi, Mbak."

"Ada obat yang bisa ngurangi rasa sakitnya, nggak Sus?"

"Nggak ada, Mbak. Obat yang sudah masuk ke tubuh pasien sudah memakai dosis tinggi. Kami takut pasien kenapa-kenapa kalo kami menambahkan obatnya lagi," jelas Suster itu, lalu pamit setelah selesai memeriksa Vidy.

Bahu Windy merosot mendengar tuturan Suster itu. Namun, tubuhnya kembali tegap melihat Vidy yang menatapnya dengan tatapan sayu sambil tersenyum manis.

"Gue nggak apa-apa, elah! Lo nggak usah sedih gitu. Lo jelek soalnya," ledek Vidy berusaha bersikap konyol dan menghibur, supaya adiknya itu tidak tambah sedih melihatnya.

Windy menepuk tangan Vidy pelan, kesal dengan ucapan Vidy barusan. Padahal dirinya khawatir dengan Vidy.

Vidy terkekeh pelan, lalu matanya menatap pintu dan kembali menatap Windy. "Mamah sama Papah, mana?" tanya Vidy yang sedari tadi tidak melihat kehadiran kedua orang tuanya.

"Mamah sama Papah lagi ketemu sama Dokter Fuad," jawab Windy.

Tidak lama Windy mengatakan itu, Zalfa masuk dengan ekspresi wajah aneh. Vidy yang melihatnya penasaran dan ingin bertanya. Namun, wanita itu langsung mengembangkan senyumnya.

Ketika mulutnya tersenyum manis, sorot matanya justru mengatakan hal lain. Senyum yang Vidy lihat pun seolah di buat-buat agar kelihatan baik-baik saja. Vidy tidak ingin bertanya, tapi dia tau Zalfa sedang terlihat tegar.

"Udah enakkan, nak?" tanya Zalfa.

Vidy mengangguk, membuat Zalfa merasa legah.

"Win, Mamah minta tolong ambilin baju Vidy di rumah, ya?" pinta Zalfa pada anak perempuannya itu.

Vidy dan Windy saling pandang, tidak paham dengan maksud Zalfa. "Kenapa ambil baju, Mah? Bukannya sebentar lagi Vidy pulang?" tanya Windy.

Zalfa memegang pundak Windy dengan lembut. "Vidy harus di sini lebih lama lagi, sayang. Kamu ambilin, ya?"

Windy tau ada yang tidak beres. Tapi dia tidak ingin bertanya, dan hanya mengangguk menuruti perintah Zalfa.

Setelah kepergian Windy, Vidy menatap Mamahnya dengan kening berkerut, seolah meminta penjelasan lebih pada Zalfa.

Zalfa mendekat pada putranya, lalu mengusap lembut pipinya. "Kata dokter lebih baik kamu di rawat di rumah sakit."

"Tapi, kan, perjanjian kita-"

"Vidy, biar kamu cepat sembuh, nak. Demi kebaikan kamu juga."

Vidy tidak lagi protes. Dia diam dan hanya menatap wajah Zalfa yang matanya terlihat memerah.

"Kenapa, Mah?" Vidy kembali angkat bicara. Dia benar-benar tidak mengerti maksud Zalfa.

Tidak lagi kuat memaksakan senyumannya, Zalfa langsung terduduk di kursi sebelah brankar Vidy. Wanita itu mengambil tangan Vidy dan tiba-tiba menangis.

"Maafin Mamah, sayang. Mamah gagal jadi Mamah kamu."

Vidy semakin tidak mengerti. "Maksud Mamah, apa? Ada apa sebenarnya? Vidy nggak paham."

Sambil menahan sakitnya, Vidy berusaha mengangkat kepalanya. Dia menatap Zalfa yang sudah menangis sejadi-jadinya.

"Jangan bilang, hidup Vidy nggak lama lagi?"

Zalfa mengangkat kepalanya, menatap putranya itu dengan lirih. Zalfa tidak mengatakan apa-apa dan hanya memandangi wajah Vidy.

"Benar, ya? Udah Vidy duga dari awal."

Zalfa kembali meraih tangan Vidy. "Enggak sayang, kamu pasti bisa sembuh. Mamah janji, Mamah janji akan ngelakuin apapun demi kesembuhan kamu."

Vidi mengangguk dan tersenyum menanggapi perkataan Zalfa. Dia mencoba berpikir positif, walaupun dia tau kecil kemungkinan dia bisa sembuh.

-0-0-

Double up kayaknya deh🙂
Jangan lupa vote dan komen yaa:)

Untold Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang