Diana berjalan menuju loker miliknya. Dia ingin menyimpan buku di sana. Di sampingnya ada Amira yang terus mengoceh, menceritakan sebuah drama korea yang saat ini sedang di perbincangkan banyak orang, salah satu Amira.
"Dan, dorrr!!! Kapten Ri ke tembak. Gue di situ nangis banget sampe mata gue bengkak."
Diana hanya mangut-mangut mendengarnya. Walaupun tidak paham dengan cerita Amira, Diana mencoba menghargai usaha temannya ini bercerita. Amira berhenti bercerita ketika ia menemukan loker miliknya. Lalu, di susul loker Diana yang letaknya berjauhan dengan loker milik Amira.
Diana merogoh saku celananya dan mengambil kunci loker. Saat pintu loker terbuka, saat itu juga sebuah surat terjatuh dari dalam. Diana mengernyit menatap surat itu, lalu mengambilnya. Diana terdiam. Dia seperti mengingat sesuatu, sebelumnya ia pernah mendapat surat seperti ini juga. Tapi, siapa orang yang kurang kerjaan memberinya surat yang isinya aneh?
"Surat aneh, lagi?" Lamunan Diana buyar. Dia tersadar, lalu menatap Amira yang sudah berada di sampingnya. "Bener-bener kurang kerjaan, ya, tuh orang! Maunya apa, sih?"
Melihat temannya hanya diam tidak berkutik, Amira merampas surat itu lalu membukanya.
Sama seperti waktu itu, tidak ada apa-apa di dalamnya. Amira yakin, untuk menemukan isi surat itu, mereka harus kembali menggosoknya dengan uang logam.
Amira langsung mencari uang logam di saku celananya. Saat menemukannya, cewek itu langsung menggosok surat itu. Satu persatu kata muncul dan terlihat jelas. Setelahnya, Amira terkejut saat membaca tulisan dari surat itu. Ia langsung memberinya pada Diana yang sudah penasaran apa isinya. Dan benar, cewek itu juga sama terkejutnya seperti Amira.
"Ada tujuh miliar orang di dunia ini. Kenapa kamu biarkan salah satu dari mereka menghancurkan hidupmu?"
Diana benar-benar tidak habis pikir dengan orang yang memberinya surat ini. Siapa dia? Kenapa dua kali ini dia terus menemukan surat ini di lokernya? Apa ada hubungannya dengan Diana? Tapi, Diana tidak pernah membenci seseorang sebelumnya, kecuali sang mantan.
"Affan." Perkataan Amira membuat Diana menoleh pada cewek itu. "Seratus persen, gue yakin Affan!"
"Tap-"
"Gausah tapi-tapian deh, Di! Coba lo baca baik-baik, dia bilang lo biarkan seseorang ngancurin hidup lo. Dan yang buat lo begini, itu Affan!"
Ucapan Amira ada benarnya. Dia pun berpikir dari awal yang menerornya dengan surat seperti adalah Affan. Tapi kenapa hati kecilnya berkata tidak?
"Yaudah, tunggu apa lagi?"
"Hah?" Diana melongo, tidak paham apa maksud pertanyaan Amira.
"Ya, samperin Dianaaa. Lo mau terus-terusan di perlakuin kayak gini, di teror ngga jelas," dumel Amira, merasa gemas dengan reaksi Diana.
"Terus kalo gue samperin, gue mau ngomong apa? Sementara gue ngga ada bukti," ucap Diana yang merasa bingung.
Amira menepuk jidatnya, ingin rasanya dia mencuci otak temannya ini agar berpikir terbuka. "Bukti? Ini ngga cukup membuktikan semuanya?" Amira mengangkat surat itu ke depan wajah Diana.
"Tapi, Ra-"
"Nah, tuh, orangnya!" Amira menunjuk Affan yang sedang berjalan menuju gerbang kampus.
Kaki Diana terdorong untuk mengejar cowok itu. Kakinya perlahan mendekat pada Affan. Sementara, Amira hanya melihat dari kejauhan. Namun, belum juga ia memanggil Affan, sampai akhirnya...
"Mau ngapain?"
Tubuh Diana mendadak berhenti berjalan. Dia diam tidak berkutik saat Affan berbalik menghadapnya. Ia gugup setengah mati dipergoki seperti ini. Degup jantungnya kini berdetak hebat, ia menegakkan tubuhnya sambil memasang sikap santai, walau sebulir keringat baru saja meluncur dari pelipis.
"Lo ngikutin gue?" tuduh Affan.
Diana menelan ludahnya, mendengar gaya berbicara Affan yang sangat dingin padanya. Belum lagi tatapan menghunus cowok itu.
"G-gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Diana dengan gugup. Dia meremas ujung bajunya, berusaha mengurangi rasa gugupnya.
"lima menit," sahut cowok itu dengan bersedekap dada.
Mendengar ucapan Affan, Diana langsung mengeluarkan surat itu dari saku kemejanya. Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak tadi, Diana menunjukkan surat itu di depan wajah Affan, membukanya lebar-lebar sampai cowok itu sedikit tersentak dan memundurkan kepalanya.
"Ini 'kan lo yang selama ini ngasih surat aneh ke gue? Gue udah tau semua kebusukkan lo!" ucap Diana dengan lantang.
Bukannya marah atau menyangkalnya, Affan hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi. Itu cukup membuat Diana kalut karena tidak tau apa yang selanjutnya akan ia katakan. Diana menarik tangannya, matanya tidak berani menatap wajah Affan.
Lama tidak ada jawaban, akhirnya cowok itu menjawab, "buktinya kalo yang kasih surat itu gue, apa?"
Shit! Sudah Diana duga Affan akan bertanya tentang bukti. Seharusnya ia tidak mengikuti perkataan Amira tadi. Pertanyaan itu seperti menjadi boomerang bagi dirinya. Jika sudah begini, apa yang akan ia katakan pada Affan? Rasanya, Diana ingin mengusai jurus shunshin no jutshu jika sudah terjadi seperti ini.
Malu. Satu kata banyak arti. Apa gue harus pura-pura hilang ingatan?
Diana gelagapan. Otaknya terus bekerja untuk mencari jawaban yang pas agar tidak malu dan menjatuhkan harga dirinya di depan Affan.
"Y-ya... karena emang lo yang neror gue pake surat ini."
Affan berdecih, "Iya, buktinya mana?"
"Gue ngga ada buktinya. Tapi gue yakin itu LO!"
"Tanpa bukti itu di sebut hoax lho. Lo mau di sebut penyebar fitnah?" tuding Affan padanya.
Apa katanya tadi? Penyebar fitnah? Wajah Diana menatap Affan tidak percaya.
"Udah lewat lima menit. Lo udah buang-buang waktu gue." Affan berbalik ingin pergi. Namun, sebelum itu, ia kembali menoleh pada Diana yang terdiam mati kutu di tempat. "Surat itu bukan dari gue. Tebakkan lo ngga tepat sasaran."
-0-0-
Jadi kalo bukan Affan siapa dong? Hayooo
Jangan lupa Vote dan komen yaa:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...