Diana mengambil keputusan yang tepat untuk kembali ke rumahnya. Dia langsung meminta Tisa untuk menceritakan semua yang tidak di ketahuinya selama ini.
"Maafin Mamah, Di. Mamah nggak berniat menutupinya dari kamu. Mamah pikir ini yang terbaik buat kamu. Mamah kandung kamu memang bukan Mamah, tapi Mamah udah nganggep kamu anak kandung Mamah sendiri."
Dengan air mata yang menyerebak di pipi, Diana menoleh pada Tisa. "Terus, Mamah kandung aku dimana sekarang?"
"Mamah kandung kamu udah meninggal saat ngelahirin kamu, Diana." Walaupun berat mengatakannya, tapi Tisa harus mengatakannya demi kebaikan Diana.
Penjelasan Tisa langsung membuat Diana histeris. Dia menutup wajahnya, bermaksud meredam suara teriakannya. Dia tidak kuat mendengar penjelasan Tisa lagi.
Diana kembali menoleh pada Tisa. "Apa karena itu Papah benci sama aku? Apa karena Mamah meninggal Papah benci sama aku?"
Tisa menggeleng kuat. "Enggak Di, enggak. Papah kamu sayang sama kamu."
"Bohong, kalian semua pembohong!"
Diana mendorong tubuh Tisa yang hendak memeluknya. Dia bangkit dan langsung berlari ke kamar mandi. Diana menghidupkan shower dan duduk di bawahnya, membiarkan air mengguyur tubuhnya yang lelah.
Diana menutup matanya. Bukan hanya ucapan Tisa kemarin yang membuatnya berpikir, tapi juga karena Amira dan juga Affan.
Diana benar-benar terpukul kemarin. Batinnya terguncang hebat setelah tau semua kebohongan orang-orang yang dia percaya akhirnya terungkap. Diana benar-benar tidak habis pikir kenapa semua itu terjadi pada dirinya.
Sepertinya tidak cukup dia menangis semalaman. Tapi, matanya sudah bengkak dan hidungnya mampet. Suaranya pun sudah tidak tersisa. Apalagi tenaga dan pikirannya yang terus-terusan dia ajak berpikir keras. Diana benar-benar lelah dengan semuanya.
Diana tersentak saat pintu kamarnya ada yang mengetuk dari luar. Diana semakin merapatkan selimutnya dan mencoba berpura-pura tidur.
"Diana..." Suara Tisa menyambut pendengarannya. Wanita itu berjalan masuk dan langsung terduduk di tepi tempat tidur Diana yang tengah tidur membelakanginya.
"Ada yang nyariin kamu dibawah," kata Tisa dengan suara sangat pelan.
Diana seolah menulikan pendengarannya. Dia tidak peduli apa yang Tisa katakan. Sayup-sayup Diana mendengar Tisa menghela nafas berat. Wanita masih di tempatnya sambil menatap punggung Diana.
Tempat tidur bergerak, Tisa bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar Diana dengan perasaan campur aduk. Tisa tau, Diana masih marah padanya. Tapi, Tisa takut Diana akan sakit jika terus seperti itu.
Sebenarnya, Diana tak ingin seperti ini. Dia sedikit merasakan perasaan bersalah pada Tisa. Tapi kembali lagi ke awal, rasa kecewa Diana pada wanita itu seolah menutupi rasa bersalahnya.
Diana keluar dari selimut dan langsung terduduk dengan kepala menyandar di sandaran tempat tidur. Pikirannya kosong, dan dia hanya menatap ke depan. Diana jadi teringat perkataan Tisa tadi kalau ada yang mencarinya. Apa mungkin itu Amira? Atau Affan? Diana tidak peduli, tapi Diana berharap itu bukan mereka.
Diana mulai menapakkan kakinya di lantai dan langsung berdiri tegap. Sudah seharian dia tidak pernah bangun dari tempat tidur dan terus berusaha memejamkan matanya.
Kakinya mulai berjalan ke arah pintu kamar, dan membukanya perlahan. Saat pintu sudah sepenuhnya terbuka, rasanya ia ingin kembali ke tempat tidur. Tapi, kakinya seolah bergerak sendiri membawa dirinya menuruni anak tangga.
Kakinya mendadak berhenti, menatap seseorang yang duduk seorang diri dengan wajah resah. Diana hanya terdiam dengan wajah datarnya. Diana saat ini tidak ingin bertemu orang itu.
Saat ingin berbalik dan kembali menuju kamarnya, suara seseorang itu mengintruksinya untuk berhenti. Seolah seperti di hipnotis, kaki Diana mendadak kaku untuk di jalankan. Dia hanya diam, menatap orang itu yang tengah tersenyum padanya.
Diana perlahan berjalan menghampirinya. Dia tau, alasan kenapa orang itu ingin bertemu dengannya.
"Hai Diana!" sapa Dyo sambil tersenyum canggung.
Diana tidak membalas sapaan Dyo. Cewek itu hanya tidak suka basa basi. "Ngapain lo di sini?" tanya Diana to the point.
Dyo menggaruk tengkuknya, mencoba mengurangi kegugupan pada dirinya. "Mmm... Anu, gue-"
"Kalo nggak ada yang penting, mending lo pulang!"
"Ada yang harus gue kasih ke lo." Dyo membuka totebag yang dia bawa, lalu memberikan sesuatu itu pada Diana. "Ini dari Affan, untuk lo."
Diana tidak ingin menerimanya. Diana menatap muak surat dan kotak kecil yang di ulurkan Dyo padanya.
Diana menatap Dyo kembali. "Sekarang lo jadi babunya, ya? Atau apa sekarang dia udah nggak punya muka?"
"Maksud lo, Di?" Dyo tidak mengerti apa yang di katakan cewek itu. Tapi, perkataannya cukup menyindirnya.
"Kenapa lo yang ngasih? Kenapa dia nggak kasih sendiri sama gue?"
"Affan tau, kalo dia yang kasih ke lo, dia yakin lo nggak mau ketemu sama dia, Diana." Dyo mendekat dua langkah dengan wajah yang terlihat ragu. "Sebenarnya Affan juga udah pindah."
Diana tercengang sebentar. "Pindah kemana?"
"Affan pindah ke Aussie." Dyo berkata dengan hati-hati sekali. Dia tidak ingin membuat Diana terkejut.
Hal pertama yang Diana lakukan adalah hanya diam mendengar ucapan Dyo. Diana tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Rasanya sangat sulit baginya untuk menjelaskan apa yang dia rasakan.
"Dyo, bisa lo jelasin semuanya sama gue?"
Dyo lama terdiam. Bukannya dia tidak ingin, hanya saja dia sudah berjanji pada Affan untuk tutup mulut sebelum Diana membuka surat yang dia beri.
"Pertanyaan lo akan terjawab di surat ini, Di."
-0-0-
Maaf update lama, lagi ngurus kuliah ehe☺️
Besok aku janji update lagi dehJangan lupa vote dan kome yaa:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...