Hari ini hujan turun. Namun, itu tidak membuat niat Diana yang ingin menjenguk Vidy luruh. Gadis itu sekarang sudah berada di rumah sakit. Diana mencoba membuat wajah yang ceria agar terlihat kuat di depan Vidy.
Kakinya berbelok, menaiki anak tangga yang lumayan menguras tenaga. Di tangan kanannya ada buah-buahan yang tadi ia beli di supermarket dekat dengan rumah sakit ini.
Diana akhirnya sampai di ruangan Vidy. Dia melihat Windy yang sedang melontarkan lelucon bersama Vidy. Setelahnya, mereka tertawa bersama.
"Misi, gue ganggu, nggak?" ucap Diana yang berada di ambang pintu.
Keduanya menoleh, lalu menjawab serentak. "Ganggu!"
Diana mengerucutkan bibirnya, kakinya ia hentakkan dengan kesal. Dia berpura-pura ingin pergi, namun suara Vidy langsung mengintruksinya.
"Eh, jangan! Bercanda Di, bercanda."
Windy tertawa melihat wajah panik abangnya. Dia menghampiri Diana dan langsung menarik tangan cewek itu untuk mendekat pada Vidy.
"Nih, ayang lo, gue bawain," ujar Windy kemudian melepas tangan Diana ketika sudah berada di dekat Vidy.
"Windy!" Suara Vidy meninggi untuk memperingati adiknya itu.
Windy hanya tertawa, lalu mengambil kantong kresek yang Diana sodorkan padanya. Cewek itu membukanya dan memilih buah apel, lalu meletakkan kantong kresek itu di atas nakas.
"Di, gue nitip Vidy, ya? Gue ada kelas 30 menit lagi. Kalo dia nyeselin, lo tonjok aja pelernya," kata Windy dengan enteng, lalu keluar bersama satu apel yang ia ambil tadi.
Mendengar ucapan Windy, kuping Vidy memanas. Ketika ingin melempar bantal yang sudah ada di tangannya, Windy sudah duluan pergi. Vidy malu, apalagi saat Diana menatapnya sambil menahan tawa.
"Peler, peler," gumam Diana sambil menarik kursi untuk duduk lebih dekat pada brankar Vidy.
Vidy memalingkan wajah mendengar gumaman Diana barusan. Dia benar-benar ingin mengutuk mulut kotor Windy.
Keduanya hening, terjadi keawkwardan di antara mereka.
"Gimana perasaan lo hari ini?" tanya Diana berusaha memecahkan kecanggungan.
Vidy berdeham, mengubah posisi duduknya untuk lebih enak berbicara dengan Diana. "Bagus, tapi nggak terlalu mungkin?"
Diana menghela nafas. Dia kembali terdiam, kali ini cukup lama. Dia hanya menatap jarum infus yang sudah terlepas dari tangan Vidy, dan kini tergantung di tiang infus.
Diana menoleh pada buah-buahan yang dia bawa, lalu mengambil satu buah jeruk. "Mau gue kupasin?" tanya Diana.
Vidy menoleh dan langsung mengangguk. Dia tidak banyak omong seperti dulu. Tapi, Diana bersyukur Vidy masih bisa mengobrol seperti dulu padanya.
Selama Diana mengupas kulit jeruk itu untuknya, dia sama sekali tidak memalingkan muka dari Diana. Dia masih tidak percaya, kalau cewek di depannya ini adalah cewek yang ia temukan dalam pertemuan yang tidak disengaja.
"Gue nggak akan kemana-mana, jadi berhenti liatin gue!" ucap Diana dan langsung membuat Vidy tersadar.
Vidy sontak memalingkan wajah. Dia berdeham untuk menetralkan rasa canggungnya.
"Nih." Diana menyodorkan jeruk yang sudah tidak berkulit, namun tidak kunjung di ambil oleh Vidy. "Kenapa? Mau buah yang lain?"
Vidy menggeleng, lalu dengan gerakan tangan Vidy meminta Diana untuk menyuapinya.
Diana menghela nafas pasrah. Kemudian menyodorkan satu ke arah mulut Vidy. "Aaaa..."
Vidy menerima dan langsung memakannya. "Kenapa harus, aaaa..., gitu?"
"Lo, kan, bayi kolot," jawab Diana.
"Enak aja!" Vidy mencebikkan bibirnya, tidak terima di bilang bayi kolot oleh Diana.
Diana hanya terkekeh mendengarnya. Di pandanginya wajah Vidy yang entah bagaimana bisa lebih kurus dari sebelumnya, tapi dia selalu memperlihatkan senyum yang sama di wajahnya.
Lalu pandangannya turun pada tangan Vidy yang banyak sekali bekas tusukan jarum. Bahkan ada yang terlihat masih baru. Tangan Diana terulur untuk menyentuh bekas tusukan jarum itu.
"Sakit?" tanya Diana dengan suara melemah.
Vidy menunduk menatap tangannya, lalu tak lama menggeleng. "Nggak sama sekali."
Bohong. Jelas saja itu sakit, bahkan sangat sakit menurut Diana. Dia menghela nafas panjang, mengusap-usap bekas tusukan itu dengan pelan.
"Gue nggak apa-apa sekarang, jangan khawatir," ucap Vidy.
"Lo baik-baik aja saat kita pertama kali jumpa. Tapi sekarang lo nggak baik-baik aja," balas Diana.
"Diana, percaya sama gue, gue nggak apa-apa sekarang."
Diana menggeleng dengan kuat. "Enggak! Lo ingat ucapan lo waktu itu? Bahkan, lo bilang lo baik-baik aja. Tapi, hati lo bilang enggak."
Vidy termangu mendengarnya. Bagaimana bisa Diana mengingat perkataannya waktu? Vidy sendiri saja tidak ingat kalau dia pernah mengatakan kalimat itu.
Vidy tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Diana. Bibirnya semakin tersungging melihat wajah kesal Diana.
Keduanya menoleh saat pintu ruangan ada yang membuka. Tidak lama, terlihat Amira dan Daris muncul.
Amira berjalan canggung mendekat pada Diana dan Vidy. Dia meletakkan bucket bunga yang dia bawa di pangkuan Vidy. "Buat lo."
Vidy menatap bucket bunga segar itu, lalu terkekeh. "Makasih, ya."
Sementara Diana, masih enggan berbicara dengan Amira. Dia sudah tidak marah, tapi dia tidak bisa seperti dulu lagi. Diana bangkit hendak pergi, namun tangannya langsung di tahan oleh Vidy.
"Mau kemana?"
"Keluar sebentar," jawab Diana, kemudian menyentuh tangan Vidy untuk melepaskan cekalan tangan cowok itu.
Diana menunjuk bucket bunga yang ada di pakuan Vidy. "Biar gue taruh di vas." Vidy memberikannya, lalu Diana berjalan keluar dari ruangan.
Amira hanya menatap kepergian Diana dengan sedih tanpa mengatakan apa-apa. Dia tidak bisa memaksa Diana untuk jadi seperti dulu lagi. Dia tau seperti apa perasaan Diana sekarang.
Kaki Diana membawanya ke toilet. Dia berdiri dengan diam di depan cermin dengan air keran yang sengaja ia hidupi. Bucket bunga tadi masih berada di tangannya. Dia meliriknya sekilas, lalu di remasnya dengan pelan.
Tiba-tiba dia merasa kesal melihat wajah Amira, dia juga tidak tau kenapa. Diana memijit kepalanya sedikit, berharap dia bisa melupakan semua kejadian yang pernah ia alami.
Diana menghembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya pergi untuk meminjam vas pada perawat dan meletakkan bunga-bunga itu.
-0-0-
Bentar lagi end yeayy☺️
Sad ending kah? i dunnojangan lupa vote dan komen yaa:))
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...