"Diana, tungguin gue!" Amira terus mengejar Diana yang kini mempercepat langkahnya. Keinginan Diana untuk pulang kandas ketika tadi dosen tiba-tiba memanggilnya. Sekarang dia dan Amira hanya bisa pasrah melihat langit yang sudah menghitam, menandakan hujan yang sebentar lagi akan turun.
"Lo lama banget, sih! Udah mau hujan, tuh!" ucap Diana sambil menunjuk langit.
Amira hanya bisa nyengir, menampilkan deretan giginya. "Apa salahnya sih, hujan? Hujan itu kan rahmat."
Diana memutar bola matanya kesal. "Lo sih, enak, di jemput. Lah gue? Harus naik bus, terus jalan kaki lagi."
Mereka berdua sudah berdiri di halte. Sepi, tidak ada mahasiswa yang biasanya ramai mengisi halte untuk menunggu bus. Diana cukup panik, karena dia tidak tau apakah bus masih beroperasi atau tidak. Apalagi, sepertinya hujan akan turun dengan deras.
"Di, abang gue udah jemput." Diana menoleh pada Amira, lalu pada Daris yang menunggu di seberang jalan. "Lo mau gue tungguin?" tawar Amira.
"Ngga usah, deh. Kasian abang lo kalo harus nungguin gue lagi."
Amira mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti. "Yaudah, gue duluan ya. Nanti kalo lo udah sampe rumah, kabarin gue. Dadahh..." Amira pamit, dan tak berapa lama pergi bersama Daris.
Diana hanya bisa menghela nafas setelah kepergian Amira. Sekarang, dia benar-benar sendirian. Hari pun semakin sore, tapi tidak ada tanda-tanda bus akan datang. Apa dia pulang dengan taksi saja? Tapi, Diana harus berjalan lagi agar bertemu jalan raya. Dan dia masih trauma dengan kejadian beberapa orang yang akan menculiknya waktu itu.
Saat sedang merenungi nasibnya, tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan halte. Diana refleks menoleh dan terkejut melihat orang itu.
"Lo ngapain di sini? Kok belum pulang?" tanya orang itu, yang tak lain adalah Vidy.
"Seharusnya yang nanya itu gue, kok lo di sini?" tanya Diana balik.
"Kelas gue baru bubar," jawab Vidy, sambil turun dari motornya.
Diana manggut-manggut mengerti. Dia menatap Vidy yang berjalan ke arahnya.
"Kenapa natap gue kayak gitu? Suka?" goda Vidy dengan seringai yang muncul di bibirnya.
Diana melotot, lalu mengalihkan tatapannya. "Siapa yang suka, emang ngga boleh lihat?" Sambil misuh-misuh, Diana menggeser tubuhnya ketika Vidy berdiri di sampingnya.
Vidy tertawa. Tangannya bergerak membekap tubuhnya sendiri ketika angin yang cukup kencang menerpanya. Sweater yang dia gunakan tidak cukup mampu menghalau udara dingin yang menusuk ke kulit.
Merasakan pergerakan Vidy yang terus mengusap tubuh, Diana menoleh pada cowok itu. Mata Diana membelalak ketika melihat bibir Vidy yang membiru dan wajahnya yang sangat pucat.
"Lo ngga apa-apa?" tanya Diana dengan panik. Tangannya menyentuh jemari Vidy yang sudah sangat dingin. Dia cukup terkejut merasakan suhu tubuh Vidy yang menurun. "Dingin banget." Diana menarik tangannya lagi, lalu menatap Vidy dengan khawatir.
Vidy tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
Diana teringat sesuatu. Dia membuka tas miliknya, lalu mencari barang yang pernah ia bawa. Cukup lama mengobrak-abrik tasnya, akhirnya Diana menemukan barang itu. Syal rajut tua yang pernah di berikan Papahnya waktu kecil. Diana dengan cepat melilitkannya pada leher Vidy. Entah itu cukup membantu atau tidak, tapi Diana tidak tega melihat Vidy terus menggigil kedinginan.
"Udah hangat?" tanya Diana masih dengan wajah panik.
Vidy terkekeh. Dia mengangkat tangannya, lalu meletakkannya dia kepala Diana. "Gue ngga apa-apa."
Diana menahan tangan Vidy yang hendak melepas syal itu di lehernya. "No! Jangan di lepas!" Wajahnya terlihat seperti memohon agar tidak melepas syal itu.
Vidy tertegun melihat reaksi Diana. Dia menatap tangan Diana yang masih memegang tangannya. Jantungnya tiba-tiba mengambil kesadaran Vidy. Dia tidak bereaksi dan hanya mengerjabkan matanya beberapa kali.
"Di-Diana... boleh gue peluk lo lagi?" Entah kenapa perkataan itu tiba-tiba keluar dari mulut Vidy. Dia langsung membekap mulutnya dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Diana tersentak, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Vidy. Senyuman di bibir Diana muncul dan matanya menunjukkan kira-kira yang indah.
"Vidy..." Tubuh Diana langsung menabrak tubuh Vidy dan memelukkannya dengan erat. "Boleh! Lo boleh peluk gue lagi! Kalo lo kedinginan, kalo lo minta di peluk, bilang! Vidiot! Gue khawatir lo kenapa-kenapa! Dari tadi lo cuma diem, gue takut lo sakit! Gue ngga tau harus berbuat apa. Lo bilang lo ngga apa-apa, tapi badan lo dingin banget! Vidiot, Vidiot, Vidiot! Gila lo!" Nafas Diana naik turun. Dia merasa legah setelah mengakhiri ucapannya.
Namun, setelah itu Diana merasa ada yang aneh. Dia tidak merasakan Vidy membalas pelukannya. Diana mengangkat kepalanya menatap Vidy. Cowok itu terlihat membekap mulut untuk mencoba menahan tawanya. Diana terperangah melihat itu. Dia menjauhkan tubuhnya dan menatap Vidy tidak percaya.
"Loh, kok pergi?" tanya Vidy yang masih menahan agar tidak tertawa.
Wajah Diana berubah kesal. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Dia seperti di permainkan oleh Vidy. "Bajingan sialan!" geram Diana sambil menghentak-hentakkan kakinya.
Pertahanan Vidy runtuh, dia langsung tertawa. Cowok itu bahkan tidak peduli jika asap keluar dari hidung Diana yang kembang kempis. "Aduh, perut gue."
Diana malu. Rasanya ia ingin menangis sangkin jengkelnya pada cowok di depannya. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca melihat tawa Vidy yang tak kian berhenti. Diana berjongkok, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Eh, kok?" Vidy langsung diam. Dia ikut berjongkok di depan Diana yang kini sudah menangis. "Jangan nangis. Maafin gue, Di." Vidy panik melihat tangis Diana yang semakin menjadi. Tangannya jatuh di kepala Diana, dan dia terus mengatakan kalimat yang sama. "Jangan nangis. Maafin gue, Di."
Diana membuka wajahnya, menatap Vidy yang menunjukan ekspresi bersalah yang besar. Melihat wajah Vidy, seketika tangis Diana kembali lagi. Dia langsung memeluk tubuh Vidy dan menangis sejadi-jadinya. Vidy membalas pelukan cewek itu. Tangannya menepuk-nepuk pelan bahunya, mengusap lembut rambutnya, agar Diana tenang.
"Gue hangat sekarang. Gue udah ngga apa-apa, Di. Jangan nangis lagi, ya?"
Bertepatan dengan itu, hujan turun dengan deras, di selingi angin yang cukup kencang.
"A-anginnya kencang. Nanti... lo kedinginan lagi," ucap Diana dengan nafas tersenggal-senggal.
Vidy tersenyum hangat. Dia tidak tau, kenapa Diana sekhawatir itu padanya.
Dari kejauhan dari tempat mereka, berdiri seseorang yang memegang payung untuk memayungi dirinya sendiri, dan memegang payung lain yang masih terlipat di tangannya yang lain. Dia menatap Vidy dan Diana dengan ekspresi yang sulit di artikan.
Affan menunduk, menatap payung yang ia bawa. Lalu kembali menatap ke arah mereka. Affan membuang nafas pelan, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
-0-0-
Maaf baru bisa update😢 Ada masalah di RL😥
Terima kasih juga udah mu nungguin update❣❣Jangan lupa vote dan komen yaa💙💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...